Keegoisan Bobby

1153 Words
Senyuman Viona langsung merekah ketika melihat Bobby yang sudah berdiri di depannya dengan membawa tas keramatnya. “Lah, baru juga diomongin. Udah nyampe sini aja,” celetuk Shafa. Bobby tersenyum simpul. Kemudian ia mendudukkan dirinya di samping Viona yang kebetulan masih ada bangku kosong. “Kok tau kalau gue lagi di sini?” tanya Viona. “Dikasih tau Mama kamu,” jawab Bobby. “Tadi ke rumah?” tanya Viona lagi. “Iya. Mau ngantar ini, tapi orangnya nggak ada.” Bobby menunjukkan satu gelas minuman boba yang masih berada di dalam kantong putih, dan hal tersebut berhasil membuat Viona langsung kegirangan, karena minuman tersebut adalah minuman favoritnya yang sudah lama tutup gerainya. “Kok bisa? Beli di mana?” tanya Viona heboh, sembari merebut kantong tersebut dari tangan Bobby. “Abangnya buka lagi,” jawab Bobby. Melihat Viona yang kesusahan menusuk penutup gelasnya dengan sedotan, Bobby pun lantas mengambil alih minuman tersebut sekaligus sedotannya. Lalu dengan sekali tusukan saja, sedotannya langsung menancap di dalam gelas. Viona tertawa cengengesan dengan wajah yang tersipu malu. “Maklum, ya. Gue kan cewe lembut, jadi nggak bisa nusuk sedotan,” ucapnya manja. Membuat kedua temannya refleks langsung bergidik ngeri. Sedangkan Bobby hanya tertawa kecil menanggapinya. Ia sudah terbiasa menghadapi tingkah Viona yang di luar nalar. “Dasar pick me,” cibir Shafa. “Sirik aja lo, jomblo,” balas Viona sewot. Membuat Shafa langsung menatapnya tajam. “Bob, gue boleh kasih saran, nggak?” tanya Sinar. Menyela pertengkaran mulut antara Shafa dan Viona. Bobby hanya mengangguk. Kemudian Sinar langsung berujar, “Kalau lo beneran sayang sama Vio, kasih dia kepastian sekarang.” Bobby dan Viona refleks saling pandang. Kemudian Viona menundukkan kepalanya, ia tidak mau menyahuti ucapan Sinar. Ia memilih untuk mendengarkan balasan Bobby saja. “Kepastian apa lagi? Semua orang juga tau, kalau hubungan gue sama Viona lebih dari seorang teman. Menurut gue, status itu nggak perlu. Yang penting setia dan bisa menjaga komitmen.” “Yah ... batu banget nih bocah. Dikasih tau malah ngeyel. Awas ya, jangan nyesel kalau suatu saat Viona direbut sama orang lain,” omel Shafa yang terlihat sangat gemas dengan balasan Bobby. *** Jakarta 05. 30 Pagi ini, Raka memulai kegiatan di pagi harinya dengan membantu sang Papi yang sedang sibuk menanam bunga di halaman belakang rumahnya. Hari ini ia tidak memiliki jadwal mengajar, jadi ia berniat untuk berkunjung ke rumah orang tua Viona yang satunya setelah gadis itu pulang dari kuliah. “Om, Raka!” Ponakannya yang masih berumur lima tahun berlari menghampirinya dengan membawa mainan robot- robotannya. Raka menghentikan kegiatannya. Kemudian menarik tubuh sang keponakan ke atas pangkuannya. “Kenapa?” tanyanya. “Kakak cantik yang waktu itu main ke sini itu siapa?” tanya bocah itu. “Calon Tante kamu. Kenapa?” “Namanya siapa?” “Tante Viona.” Bocah itu mengangguk- anggukkan kepalanya sembari ber-oh ria. “Kenapa emang?” tanya Raka lagi. “Waktu itu, Rega dikasih permen enak banget. Rega pengen nanya, permennya beli di mana, soalnya Rega suka.” “Oh, yaudah nanti Om tanyain.” “Nanti Kakak cantiknya main ke sini lagi, nggak?” “Iya, nanti kalau mau. Kenapa? Rega pengen main sama Kakak cantik?” Sambil tersenyum malu- malu, bocah itu pun menganggukkan kepalanya. Membuat Raka langsung tertawa seraya mengacak- acak rambut bocah itu. “Ayo. Mau ikut Om, nggak?” tawar Raka. “Ke mana?” “Nyamperin Kakak cantik.” “Mau!” serunya dengan semangat. Membuat Raka langsung tertawa kecil. “Yaudah, sana mandi dulu.” Dengan begitu semangat, Rega langsung berlari masuk ke dalam rumah. Hanya dengan sebuah permen saja, Viona berhasil mengambil hati bocah itu. Padahal biasanya bocah itu tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Jangankan dengan orang lain, dengan saudara sepupunya sendiri saja, Rega kadang tidak mau berteman. *** Pukul sebelas siang, Raka dan Rega baru sampai di Kampus. Bukan karena terjebak macet ataupun mobilnya mogok, tapi karena mereka memang baru berangkat. Rega yang memang sudah siap sejak tadi pagi tentu saja sempat marah dan kecewa pada Raka, karena omnya itu tak kunjung mengajaknya untuk bertemu dengan Kakak cantiknya. Tapi setelah berbicara dengan Viona lewat telepon, akhirnya bocah itu berhenti merajuk. Sambil menunggu jam kelas Viona selesai, Raka mengajak Rega untuk mampir ke kantin terlebih dahulu. Ia ingin mencoba mengenalkan makanan- makanan yang belum dicoba oleh bocah itu, seperti ketoprak dan lain- lain. “Kakak cantik masih lama ya?” tanya Rega. “Iya, sini makan dulu.” Raka menuntun bocah itu untuk duduk di kursi. Kemudian ia mulai menyuapkan ketoprak yang ia beli ke dalam mulut bocah itu. “Enak?” tanya Raka. Bocah itu menganggukkan kepalanya sembari mengacungkan jempol kanannya. Sedangkan Raka hanya tersenyum simpul menanggapinya. Dari kejauhan, ada beberapa Mahasiswa yang memperhatikan mereka sambil berbisik- bisik dengan temannya. Karena ini adalah pertama kalinya Raka membawa Rega ke Kampus, jadi wajar jika banyak orang yang membicarakannya. Mungkin mereka mengira jika Rega ini anaknya, karena dari segi wajah, mereka memang sedikit mirip. Tak lama kemudian, Raka melihat kedua teman Viona berjalan memasuki kantin, tapi gadis yang sedang ditunggunya belum juga terlihat. Ingin bertanya pada Sinar dan Shafa, tapi masih banyak orang saat ini sedang memperhatikannya. “KAKAK CANTIK!” tiba- tiba Rega berteriak sambil melambai- lambaikan tangannya ke arah Viona yang saat ini sedang berjalan memasuki kantin sambil mencari sesuatu di dalam tasnya. “KAKAK CANTIK, REGA DI SINI!” teriak Rega lagi. Bahkan bocah itu sampai naik ke atas kursi sambil terus melambai- lambaikan tangannya, supaya terlihat oleh Viona. Viona langsung menghentikan langkahnya. Ia melirik Rega sekilas, kemudian melirik orang- orang yang saat ini sedang menatapnya. Tak mau menjadi pusat perhatian, Viona pun lantas berjalan menghampiri kedua temannya yang sedang mengantre makanan. Tidak peduli jika Rega terus memanggilnya, ia memilih untuk pura- pura tidak tahu saja. Ia belum siap untuk menjadi bahan perbincangan orang- orang di Kampus ini. “Samperin dulu, sana! Kasihan manggil- manggil terus,” bisik Sinar. “Nggak mau. Banyak yang lihatin,” balas Viona. Di saat Viona akan membuka ponselnya untuk mengirim pesan pada Raka, tiba- tiba ia merasa ada seseorang yang memeluk kakinya. Viona menoleh ke bawah, menatap wajah imut bocah lucu yang saat ini sedang memeluknya dengan wajah yang cemberut. “Kakak kenapa cuekin Rega?” tanya bocah itu. Viona panik. Ia menoleh ke kanan kiri, semua orang saat ini sedang menatapnya sambil berbisik- bisik. Sedangkan Om dari bocah ini malah asik memakan makanannya dengan santai, tanpa memedulikan dirinya yang sedang kebingungan saat ini. “Rega ... Kakak cantik mau pesan makan dulu. Nanti aja ya, kita ngomongnya. Sekarang Rega balik dulu ke Om Raka.” Viona mencoba untuk memberi pengertian pada bocah itu. Tapi namanya juga anak- anak, pasti sedikit susah untuk dibujuk. “Nggak mau. Rega mau sama Kakak aja.” Viona menghela napasnya. Tak lama kemudian, Raka bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri mereka berdua. “Ayo. Ikut saya,” ujar Raka seraya menarik tangan Rega sekaligus tangan Viona.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD