Mereka semua langsung menatap Pak Darmo kaget, ketika penolakan tersebut terlontar dari mulutnya. Bahkan wajah Raka sudah mulai menegang dan jantungnya semakin berdebar- debar.
“Kenapa nggak setuju?” Akhirnya Viona angkat bicara setelah beberapa detik terdiam. Namun bukannya menjawab, ayahnya itu malah berdehem dengan keras sambil menarik- narik kulit lehernya. Seolah sedang berusaha menstabilkan suaranya sebelum bernyanyi.
“Tak segampang itu, kau menjadi menantuku. Tak segampang itu, kau menemukan sosok seperti anakku, cinta. Kau tahu betapa besar harapan kita padanya. Mengapa kau memilih untuk menikah ...”
Nah kan, benar. Bukan Pak Darmo namanya, jika tidak bernyanyi. Apapun permasalahannya, bernyanyi solusinya. Viona heran, kenapa dia bisa sepercaya diri itu? Padahal suaranya juga tidak bagus- bagus amat. Masih mending suaranya Aldi Taher.
Viona memutarkan bola matanya malas. Kali ini lagu berjudul ‘Tak Segampang Itu’ yang menjadi korban dari kerandoman pria tua itu.
“Pak Darmo yang serius napa, sih,” kesal Viona yang mulai muak dengan kelakuan ayahnya.
“Pak, serius, Pak. Ini Dosen, loh. Bukan preman komplek,” tegur Emma.
Seketika Pak Darmo langsung mengubah raut wajahnya menjadi serius. Kemudian sebelum berbicara, ia menegakkan tubuhnya terlebih dahulu, supaya terlihat tegas dan berwibawa.
“Jadi begini, Pak Dosen. Saya ini bukannya nolak anda. Tapi sebagai Ayah sambung yang ikut merawat Viona dari kecil, tentunya saya sedikit keberatan kalau tiba- tiba ada orang yang mau menikahi anak saya. Saya belum kenal anda. Saya belum tau sifat dan watak anda. Saya belum tau latar belakang hidup anda. Meskipun anda ini Dosen, nggak menutup kemungkinan toh, kalau anda ini sebenarnya orang jahat? Nah, maka dari itu, sebelum hubungan ini berlanjut lebih jauh, alangkah baiknya kalau kita saling mengenal terlebih dahulu. Masalah nikah mah gampang. Dua tahun lagi juga masih bisa. Toh, Viona juga masih kecil. Goreng telur aja belum bisa,” cerocos Pak Darmo.
“Masalahnya, saya udah dipaksa orang tua saya buat menikah tahun ini, Pak,” balas Raka.
“Kalian udah pacaran berapa lama, toh?” tanya Pak Darmo. Membuat Viona dan Raka refleks saling pandang.
“Nggak pacaran,” jawab Viona. Membuat kedua orang tuanya langsung menatapnya terkejut.
“Kok bisa? Terus gimana ceritanya, kok tiba- tiba mau nikah?” tanya Emma.
“Sekarang udah nggak zaman pacar- pacaran. Kalau ada yang mau serius, ya langsung gas aja. Kan menikah itu lebih baik dari pada berpacaran,” jawab Viona sok bijak. Membuat kedua temannya hampir saja ingin tertawa.
Dalam hati teman- temannya pasti berkata, “Sok iye banget lo.”
“Gini, Vi. Orang tua kamu kan bukan Ayah sama Mama aja. Masih ada Papa sama Mami kamu juga. Kamu diskusikan dulu sama mereka. Kalau mereka setuju, InsyaAllah Ayah sama Mama juga setuju. Iya kan, Ma?” tutur Pak Darmo, sambil bertanya pada sang istri.
“Mama masih mau pikir- pikir dulu. Mama nggak bisa, ngelepas anak Mama begitu aja,” sahut Emma. Membuat Viona langsung menghela napasnya kasar.
“Ya sudah, Pak, Bu. Sepertinya saran Bapak memang bagus. Sebaiknya kita saling mengenal dulu, sebelum hubungan saya dan Viona masuk ke jenjang yang lebih serius. Nanti saya coba buat silaturahmi ke rumah orang tua Viona yang satunya juga,” ujar Raka. Yang langsung diangguki oleh Pak Darmo dan mamanya Viona.
“Saya pamit dulu ya, Pak, Bu. Ini ada sedikit bingkisan buat Bapak sama Ibu,” ucapnya lagi seraya menyerahkan beberapa kantong paper bag pada Mama Viona.
“Eh ... nggak usah repot- repot, atuh,” ujar Emma sambil menerima paper bag tersebut dengan senyuman yang lebar. Mulutnya sok menolak, padahal dalam hatinya juga senang banget. Maklum yah, namanya juga emak- emak.
“Nggak papa. Saya pamit, ya. Assalamualaikum ...” pamit Raka.
“Waalaikum salam ...” sahut mereka semua dengan kompak.
***
Malam harinya, Viona bersama kedua temannya sedang asik nongkrong di Cafe sambil mengerjakan tugas kuliahnya. Biasanya, ia selalu dibantu dan ditemani oleh Bobby ketika sedang mengerjakan tugas di Cafe. Tapi entah kenapa, akhir- akhir ini lelaki itu jarang menghubunginya lagi.
“Lemes amat, Vi,” komentar Shafa.
“Kepikiran calon suaminya, kali,” sahut Sinar.
“Bukan. Kepikiran Bobby, gue,” sanggah Viona.
“Lah, iya ya. Biasanya lo ditemenin Bobby kalau ngerjain tugas,” ucap Sinar.
“Udah tiga hari ini, dia nggak hubungin gue.” Viona berkata dengan raut wajah yang sangat lemas sambil mengaduk- aduk minumannya dengan sedotan.
“Lo kalau masih suka sama Bobby, jangan terima lamaran Pak Raka, Vi. Nanti makin rumit masalahnya,” tutur Shafa.
“Gue sayang Bobby, tapi gue juga suka duit Pak Raka,” ucapnya. Membuat kedua temannya langsung menghela napasnya kasar.
“Lo kenapa mata duitan banget, sih? Bapak lo kaya, emak lo banyak duit. Kenapa masih ngejar- ngejar duniawi sampai rela ninggalin orang yang lo sayang?” omel Shafa yang sudah mulai kesal.
“Kalau lo nikah sama Pak Raka demi duit, percaya sama gue, pernikahan lo nggak bakal lama. Emang lo siap jadi janda?” sahut Sinar yang mulai ikut kesal. Membuat Viona langsung memutarkan bola matanya malas.
“Jadi, lo berdua ini sebenarnya dukung gue sama Bobby atau sama Pak Raka?” tanyanya.
“Bobby sih kalau gue,” jawab Shafa.
“Iya. Meskipun orangnya agak nyebelin, tapi dia kelihatan banget kalau sayang sama lo,” sahut Sinar.
“Emang Pak Raka nggak kelihatan kalau sayang sama gue?” tanya Viona.
“Jangankan sayang, suka aja nggak kelihatan,” celetuk Shafa. Yang langsung diangguki oleh Sinar.
“Tau, ah. Gue bingung,” ujar Viona yang terlihat mulai frustasi.
“Dipikir- pikir aja, dulu. Sambil dilihat, siapa yang makin ke sini makin baik sama lo,” tutur Sinar.
“Iya. Selama proses penyeleksian, gue sama Sinar bakal bantu ngawasin mereka berdua. Kalau ketahuan ada yang ganjen sama cewek lain, langsung blacklist aja,” ucap Shafa.
“Yang nggak gue suka dari Bobby itu, dia orangnya nggak tegas, nggak bisa kasih kepastian ke gue. Jadi kesannya kayak main- main aja,” ujar Viona.
“Siapa tau kalau udah lulus kuliah, lo langsung dilamar. Kan dia sekarang udah mulai skripsi,” balas Sinar.
“Iya. Biarin fokus dulu sama skripsinya,” sahut Shafa.
“Masa iya, gue harus batalin rencana gue sama Pak Raka, sih? Mana udah terlanjur bilang mau, lagi.”
“Ya itu terserah lo, Vi. Cuma lo yang tau, mana yang terbaik buat diri lo sendiri. Kita sebagai teman cuma bisa kasih saran dikit- dikit,” ujar Sinar.
“Pikirin dulu secara baik- baik. Ini menyangkut masa depan lo,” timpal Shafa.
Viona menghela napasnya kasar. Kepalanya mendadak pusing memikirkan masalah ini. Ia juga bingung kepada dirinya sendiri, kenapa begitu mudahnya menerima ajakan Raka hanya karena uang.
Tak lama kemudian, terdengar suara yang tidak asing sedang memanggil namanya.
“Vi ....”