Sudah hampir satu jam, Viona berada di dalam kamar untuk merias diri dengan dibantu oleh Sinar dan juga Shafa. Ya, siang ini Raka akan datang ke rumahnya untuk berkenalan dengan orang tuanya, sekaligus membicarakan mengenai keinginannya untuk menikahi Viona.
Sebenarnya Viona tidak mau berdandan rempong seperti ini. Tapi karena dipaksa oleh kedua temannya, jadi ia hanya pasrah saja.
“Diam, Vi! Jangan kedip- kedip mulu. Nanti kecolok mata lo,” kesal Sinar. Lantaran Viona tidak bisa diam sedari tadi.
“Ih, gue nggak suka pakai celak mata, Nar! Kayak Mbak kunti,” protes Viona.
“Ini gue pakaiin eye shadow, bukan celak mata!”
“Ck. Padahal pakai lipstik aja gue udah kelihatan cantik,” gerutu Viona.
“Biar tambah cantik, Vi. Nanti Pak Raka makin tergila- gila sama lo,” sahut Shafa, membuat Viona langsung mencebikkan bibirnya kesal.
“Pokoknya gue nggak mau terlalu menor, ya! Awas aja.”
“Iya, Viona Sayang! Ini gue make- upin natural, kayak ciwi- ciwi Korea,” ucap Sinar sedikit geregetan.
“Diam aja napa, sih. Komen mulu dari tadi,” ketus Shafa yang mulai ikutan kesal. Sembari fokus melukis alisnya di depan kaca.
“Dah. Mau dipakaiin softlens juga, nggak?” tawar Sinar.
“Nggak! Gini aja gue udah risih,” balas Viona sedikit ketus. Ia bukan cewek tomboy, hanya saja tidak terlalu suka dengan make- up. Karena ia merasa sudah cantik natural.
“Eh, gue jadi ngebayangin Bobby deh. Gimana ya perasaan dia, kalau tau si Vio mau nikah,” ujar Shafa.
“Sakit hati sih, pastinya. Crush yang selama ini disayang- sayang, direbut sama Dosen sendiri,” sahut Sinar.
“Salah sendiri, ngegantungin gue selama bertahun- tahun. Dipikir gue nggak butuh kepastian, gitu? Gue cape dibaperin mulu, tapi nggak ditembak- tembak,” ujar Viona.
“Iya sih, gue juga kesel lihatnya. Gak gentle banget jadi cowok,” sahut Shafa.
“Padahal tinggal nembak aja, apa susahnya ya? Orang udah sama- sama suka gitu,” ujar Sinar.
“Dia teguh pendirian sama prinsipnya, Bestie!”
“Prinsip apaan?” tanya Sinar.
“Nggak mau pacaran, sebelum lulus kuliah. Soalnya udah terlanjur janji sama Almarhum ibunya,” jelas Viona.
“Kalau gitu sih harusnya jangan deket- deket sama cewe. Buat apa baperin anak orang, kalau nggak mau tanggung jawab?” ujar Shafa.
Viona mengendikkan bahunya. Ia sendiri juga tidak paham dengan jalan pikiran Bobby.
“Agak lain emang si Bobby,” celetuk Sinar.
“Guys ...” panggil Viona.
“Hmm?” sahut Shafa dan Sinar.
“Sebenarnya gue nggak yakin tau,” ucapnya.
***
Di sisi lain, saat ini Raka sedang berada di rumah sakit tempat Esther dirawat. Selama tiga tahun lebih, wanita itu masih betah tertidur nyenyak diatas ranjang pasien tersebut.
Terkadang Raka berpikir, apa wanita itu terlalu lelah dengan urusan dunia? Hingga memilih untuk beristirahat selama tiga tahun lamanya.
“Siang, tea. Aku datang bawa diffuser kesukaan kamu,” ujar Raka seraya meletakkan kantong yang ia bawa ke atas meja. Lalu ia menarik kursi untuk duduk di samping ranjang wanita itu.
Estea adalah panggilan kesayangan yang ia sematkan pada Esther ketika mereka masih berpacaran dulu. Hal itu dikarenakan Esther sangat menyukai apapun minuman yang terbuat dari teh.
“Betah banget tidurnya. Kamu nggak pengen bangun?” tanya Raka, seraya mengusap lembut tangan wanita itu.
Raka menghembuskan napasnya. Kemudian tangannya beralih untuk mengusap pipi Esther yang terlihat sangat kurus.
“Aku udah nunggu kamu selama tiga tahun, tapi kamu nggak ada perubahan sama sekali. Mami sama Papi udah desak aku buat nikah. Jadi aku nggak punya pilihan lain selain ninggalin kamu. Aku minta maaf. Tapi suatu saat kalau kamu udah bangun, aku bakal nepatin janji aku. Kamu tenang aja,” ujar Raka, diakhiri dengan mengecup lembut tangan Esther.
***
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, kini Raka sudah berada di rumah Viona dengan membawa beberapa paper bag yang berisi barang dan makanan.
Raka mengetuk pintu rumah tersebut hingga berkali- kali. Namun belum ada satupun orang yang menyahutnya. Ia juga sudah mengucapkan salam dan memanggil- manggil nama Viona, akan tetapi belum ada tanda- tanda orang akan muncul dari dalam rumah tersebut.
Hingga tak lama kemudian, Pak Darmo datang dari luar rumah sambil berlari kecil menghampiri Raka.
“Pegawai Bank, ya? Sini masuk, istri saya lagi di belakang kayaknya, hehe,” ujar Pak Darmo seraya tertawa kecil.
Raka tentu saja terkejut. Apa yang salah dari tampilannya hari ini? Sampai dikira Pegawai Bank oleh Ayah Viona. Sungguh, hal seperti ini tidak pernah terbayangkan dalam otak Raka. Ia kira dengan berpenampilan rapi seperti ini, kedua orang tua Viona akan kagum kepadanya. Tetapi malah dikira Pegawai Bank. Nasib, nasib...
Raka menghela napasnya sembari geleng- geleng kepala. Ia kesal, namun di sisi lain ia juga ingin tertawa. First impression yang ia lihat dari Ayah Viona adalah, orangnya lucu dan terlihat sangat ramah.
“Duduk dulu. Saya ambilkan minum,” ujar Pak Darmo.
Raka mendudukkan dirinya di sofa sambil melihat- lihat isi rumah Viona. Ia juga sudah mengirim pesan pada gadis itu, agar segera menemuinya di ruang tamu.
“Sebenarnya, istri saya itu nggak mau hutang di Bank. Tapi ya mau gimana lagi? Namanya juga mau buka usaha baru, pasti butuh modal banyak,” cerocos Pak Darmo, seraya meletakkan beberapa air mineral di depan Raka.
Sementara itu, Raka hanya menanggapinya dengan senyuman simpul. Biarkan saja, pria itu mengira dirinya ini Pegawai Bank. Nanti juga tahu sendiri.
“Usaha apa, Pak?” sahut Raka meladeni.
“Ikan arwana sama ikan cupang. Rencananya, mau sekalian bisnis ikan laut. Tapi ya pelan-pelan dulu, hehehe.”
Raka mengangguk- anggukkan kepalanya. Lalu tak lama kemudian, Viona datang bersama kedua temannya.
“Heh, panggil mamamu sana! Pegawai banknya udah datang,” suruh Pak Darmo pada Viona. Membuat gadis itu langsung menatapnya sinis.
“Enak aja, Pegawai Bank. Itu Dosen Vio!” sewot Viona.
Seketika Pak Darmo langsung tercengang. Kemudian setelah beberapa detik terdiam, pria itu langsung tertawa terbahak- bahak sampai mengeluarkan air mata. Bahkan dengan kurang ajarnya, tangannya juga memukul- mukul bahu Raka sambil terus tertawa. Hingga membuat Raka ikut tertawa juga.
“Saya kira Pegawai Bank,” ucapanya. Disela- sela tawanya yang tak kunjung berhenti.
Viona memutarkan bola matanya malas. Ayah tirinya itu selalu saja melakukan hal- hal di luar nalar. Hingga membuat Viona sering geregetan sendiri.
“Eh, ada tamu ternyata,” ujar Emma─ Mama Viona, yang tiba- tiba muncul dari dalam rumah.
“Dosennya Viona,” sahut Pak Darmo, memberi tahu sang istri.
“Loh loh loh, ada apa? Viona buat kesalahan di Kampus?” tanya Emma heboh, sembari mendudukkan dirinya di samping Viona.
Raka tersenyum simpul sembari menggelengkan kepala. Kemudian ia melirik Viona sekilas, memberi kode pada gadis itu, jika ia akan berbicara sekarang juga. Sedangkan Viona hanya menganggukkan kepalanya saja.
Raka menegakkan tubuhnya. Kemudian ia menarik napas dan ia hembuskan secara perlahan, berusaha untuk mengontrol dirinya yang mendadak grogi.
“Ehm. Jadi gini, kedatangan saya ke sini itu untuk meminta izin kepada Bapak dan Ibu. Saya ingin menikahi Viona tahun ini juga” ujar Raka tanpa basa basi. Membuat kedua orang tua Viona langsung membulatkan matanya kaget.
Suasana berubah menjadi hening seketika. Baik Emma maupun Darmo, belum ada yang membuka suara. Mereka berdua masih tercengang sekaligus bingung. Sedangkan Raka masih berusaha untuk mempertahankan sikap tenangnya, meskipun jantungnya sudah mulai berdisko.
“NGGAK! SAYA NGGAK SETUJU!” seru Pak Darmo dengan lantang. Hingga membuat mereka semua langsung tersentak kaget.