“Bapak ... jangan marah dong,” rengek Viona, seraya membuntuti Raka yang akan masuk ke dalam mobilnya.
Saat ini, mereka berdua memang sedang berada di parkiran Kampus. Dan untungnya, suasana saat ini sedang sepi. Jadi Viona berani membuntuti lelaki itu sampai ke dalam mobilnya.
“Turun, nggak?!” geram Raka, seraya menatap Viona tajam.
Viona menggelengkan kepala dengan bibir yang mengerucut kesal. Membuat Raka langsung menghembuskan napasnya kasar.
“Saya mau ada seminar, Viona. Sana balik ke kelas,” ujar Raka, berusaha untuk tetap bersabar.
“Maafin saya dulu.”
“Iya, saya maafin. Lain kali jangan diulangi lagi. Sana, balik ke kelas. Nanti sore saya mau ke rumah kamu.”
“Ngapain?”
“Ya mau ngomong sama orang tua kamu.”
“Orang tua saya ada empat. Kalau Bapak mau izin nikahin saya, harus datangin empat- empatnya,” ujar Viona.
Raka melongo kaget. Namun ia tetap mengangguk- anggukkan kepalanya untuk mengiyakan pemintaan Viona.
“Mama saya nggak suka dibawain martabak. Jadi bawain holland aja,” celetuk Viona lagi, yang berhasil membuat Raka semakin terheran- heran. Baru kali ini, ia menemukan seorang wanita yang jauh sekali dari kata ‘jaim’. Biasanya, para wanita sering menolak jika ditawari sesuatu oleh kaum pria. Lah ini malah request sendiri.
“Emang siapa yang mau bawain martabak?” gumam Raka. Mana mungkin seorang Crazy Rich seperti dirinya datang meminta anak orang dengan membawa martabak. Yang benar saja. Paling tidak ya, membawa buket dolar.
“Saya boleh ikut Bapak, nggak?” tanya Viona.
“Ikut ke mana?”
“Seminar.”
“Nggak,” ketus Raka. Membuat Viona langsung mengerucutkan bibirnya kesal.
“Bodo amat. Saya tetap ikut. Saya nggak mau turun dari mobil,” kekeh Viona. Membuat Raka langsung menghembuskan napasnya kasar.
Kemudian tanpa basa- basi, Raka langsung melajukan mobilnya keluar dari area kampus.
***
Sesampainya di Hotel, tempat ia akan mengisi acara seminar, Raka langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Hal itu tentu saja membuat Viona kesal. Bisa- bisanya ia ditinggal begitu saja di mobil sendirian. Jika itu bukan dosennya, mungkin sudah Viona timpuk pakai sepatu conversenya.
“Ada ya, orang kayak begitu? Nggak ada manis- manisnya sama sekali. Digandeng kek setidaknya. Bukan malah ditinggal di mobil sendirian. Haduh Vi ... bisa- bisanya lo mau diajak nikah sama modelan kulkas rusak kayak dia. Bisa darah tinggi lo lama- lama,” gerutu Viona, seraya keluar dari dalam mobil.
Sedetik kemudian, ia langsung terperanjat kaget saat tubuhnya hampir saja menubruk tubuh tinggi Raka. Ternyata lelaki itu masih berdiri di samping mobil, dan sepertinya lelaki itu mendengar semua gerutuan Viona, karena terlihat dari ekspresinya yang datar tapi menyeramkan.
“Siapa yang kamu maksud kulkas rusak?” tanya Raka ketus.
“Hah? I-itu, s-saya lagi latihan akting buat drama musikal. Iya, drama musikal!” balas Viona gugup, seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Tidakkah Raka tau? Jika tatapan tajamnya mampu membuat Viona ketakutan sampai ingin buang air kecil. Rasa malu, gugup, dan takut bercampur menjadi satu dipikirannya.
“Nggak jelas kamu,” ketus Raka seraya berjalan pergi meninggalkannya.
Viona pun langsung berlari membuntuti Raka. Keduanya masuk ke dalam hotel dan naik ke aula lantai tiga, tempat seminar diadakan.
Dalam ruangan tersebut, sudah banyak sekali peserta yang datang. Para panitia juga mulai terlihat sangat sibuk. Sementara itu, Raka langsung berjalan ke atas panggung. Meninggalkan dirinya yang masih berdiri di dekat pintu sambil plonga- plongo seperti bocah hilang.
“Ini gue harus duduk di mana? Kursi udah pada penuh, anjir,” gerutu Viona kesal. Tau gitu, ia tidak akan ikut Raka ke sini.
Karena acara sudah dimulai dan Viona tak kunjung mendapatkan tempat duduk, gadis itu memutuskan untuk berdiri di pojok ruangan sambil bersandar di dinding. Tentunya dengan mulut yang terus menggerundel, karena kakinya pegal, perutnya keroncongan, dan matanya mulai mengantuk.
Hingga pada akhir acara, Viona yang hampir terjatuh karena mengantuk pun langsung terkejut, ketika Raka menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam ruangan yang terdapat banyak makanan.
“Siapa, Bro?” tanya lelaki berkacamata pada Raka, sambil menunjuk Viona dengan dagunya.
“Asisten pribadi,” jawab Raka sekenanya.
Mendengar itu, tentu saja hati Viona langsung tersinggung. Kenapa harus bilang Asisten pribadi? Kenapa tidak jujur saja, jika dirinya ini calon istrinya? Menyebalkan sekali memang.
“Vi, kenapa melamun?” tanya Raka sedikit ketus.
“Ah, iya kenapa?” sahut Viona gelagapan.
“Sana, makan! Kamu lapar, kan?”
Viona mengangguk seraya tersenyum canggung. Kemudian ia lantas berjalan ke arah meja prasmanan, dan mengambil semua makanan yang ia suka. Masa bodoh, jika orang- orang menganggapnya rakus. Ia benar- benar lapar saat ini.
***
Malam harinya, di kediaman orang tua Raka.
Lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi itupun langsung berjalan menuruni tangga, menghampiri kedua orang tuanya yang sudah menunggunya sedari tadi di ruang keluarga.
Sore tadi, ia tidak jadi bersilaturahmi ke rumah Viona. Lantaran kedua orang tua Viona yang sedang tidak ada di rumah, dan Papa kandungnya juga sedang ada jadwal penerbangan. Jadi, ia akan mengundurnya sampai besok malam. Karena besok pagi sampai sore, ia tidak mempunyai waktu luang untuk ke rumah gadis itu.
“Kenapa?” tanya Raka, ketika sudah duduk di hadapan orang tuanya. Sambil terus mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk.
“Kamu yakin, mau nikahin Mahasiswa kamu itu?” tanya Erwin, Papi Raka.
”Iya. Kenapa emang? Kan ini kemauan Papi,” balas Raka.
“Tapi kamu udah yakin belum, sama pilihan kamu? Papi takut kamu nyesel nantinya,” ucapnya lagi, membuat Raka langsung menghembuskan napasnya kasar.
“Raka nggak punya pilihan lain. Diantara banyaknya anak didik Raka, cuma dia yang paling menarik di mata Raka,” ungkap Raka.
“Emang teman- teman kamu nggak ada yang menarik? Bukannya masih banyak yang lajang ya?”
Raka menundukkan kepala sambil meremas tangannya kuat. Setelah beberapa detik terdiam, ia kembali bersuara lagi.
“Raka nggak mau. Semua teman Raka, teman Esther juga,” ucapnya. Membuat kedua orang tuanya langsung menghela napasnya kasar.
“Mami tau, kamu melakukan ini secara terpaksa. Mami sama Papi nyuruh kamu nikah juga buat kebaikan kamu sendiri. Umur kamu udah 28 tahun, teman- teman kamu udah banyak yang punya anak. Bahkan adik kamu sendiri anaknya udah dua. Terus mau sampai kapan, kamu nungguin Esther bangun? Ini udah tiga tahun, Raka. Mami sama Papi udah semakin tua, udah sakit- sakitan. Mami takut nggak bisa nemenin kamu sampai ke pelaminan,” cerocos Ratna, maminya.
“Kalau kamu udah yakin sama pilihan kamu sendiri, lakukan pernikahan ini dengan hati ikhlas. Jangan ada bayang- bayang Esther lagi di kepalamu. Papi bakal malu, kalau sampai pernikahan kamu ini gagal,” tutur Erwin.
“Maaf, Pi. Kalau itu, Raka nggak bisa. Raka udah terikat janji sama Esther. Jadi kalau suatu saat Esther bangun dari koma, Raka bakal tetap milih Esther.”