Sebuah alasan

1244 Words
Saat ini, Raka dan Viona sedang berada di tempat kuliner dekat taman kota. Setelah terciduk oleh para Dosen tadi, mereka berdua langsung pamit pulang lebih dulu. Mereka takut ditanya lebih jauh lagi, karena tadi mereka tidak menjawab dengan jujur. Raka bilang, jika mereka berdua adalah saudara sepupu. Setelah membeli beberapa makanan dan minuman, mereka langsung mencari tempat duduk lesehan yang ada di dalam taman. Untungnya masih ada tempat yang kosong. Jadi Viona langsung berlari ke sana, dan mendudukkan dirinya di atas tanah yang ditumbuhi oleh rumput- rumput kecil. Diikuti oleh Raka yang duduk di sampingnya. “Saya masih penasaran, deh. Kenapa Bapak tiba- tiba ngajak saya nikah? Emang Bapak nggak punya cewek?” tanya Viona, sambil menikmati cilok yang dibelikan oleh Raka tadi. “Kalau saya punya cewek, nggak mungkin saya ngajak kamu nikah,” balas Raka sedikit ketus. “Lah, berarti selama ini jomblo dong? Nggak laku apa gimana?” celetuk Viona, membuat Raka langsung menatapnya sinis. “Bukan nggak laku, tapi emang nggak jualan. Saya itu cowok mahal.” “Ah, masa? Kalau emang cowok mahal, kenapa malah saya yang diajak nikah? Kan bisa tuh, Bapak nikahin cewek- cewek Kampus yang lebih cantik dan lebih berprestasi dari saya. Atau cewek- cewek yang setara sama Bapak.” “Saya tertariknya sama kamu,” ujar Raka, membuat Viona langsung tersipu malu. Sa ae nih, Babang tampan. “Emang apa yang menarik dari saya? Pintar, enggak. Aktif, enggak. Famous, juga enggak. Paling cuma menang cantik doang.” “Kamu itu mood maker orangnya. Saya butuh istri yang bisa menghibur saya setiap hari.” “Lah, kalau gitu mah cari istri pelawak aja, Pak. Kalau saya cuma bisa buat darah tinggi doang soalnya,” celetuk Viona. “Nggak juga. Saya terhibur kok sama kamu,” balas Raka, membuat Viona langsung memutarkan bola matanya malas. “Jujur, deh. Ini masih nggak masuk akal loh, Pak. Sampai sekarang, saya masih mikir kalau ini tuh cuma prank. Atau jangan- jangan, Bapak lagi taruhan sama orang buat dapetin saya, ya?” tuduh Viona, membuat Raka langsung menatapnya sinis. “Ngaco kamu! Emang saya segabut itu, sampai harus taruhan?” “Ya lagian aneh banget. Nggak ada angin, nggak ada hujan, nggak ada petir, tiba- tiba ngelamar saya. Padahal sebelumnya nggak pernah dekat, nggak pernah ada momen berdua, jarang berinteraksi juga. Jujur ya, Bapak itu Dosen yang paling saya benci loh,” cerocos Viona, membuat Raka kembali menatapnya sinis. “Kalau gitu, kenapa kamu mau saya ajak nikah?” “Karena banyak duit. Saya nggak munafik, Pak. Saya itu matre orangnya. Saya butuh duit yang banyak buat gaya hidup saya yang lumayan tinggi.” “Berarti kamu rela, nikah sama orang yang kamu benci demi uang?” “Ya nggak gitu juga. Dilihat- lihat dulu, gimana orangnya. Siapa sih, yang nggak mau sama Bapak? Udah ganteng, pintar, kaya raya lagi. Bibit bebet bobotnya itu udah terlihat jelas, jadi orang tua saya juga nggak bakal nolak kalau dapat menantu kayak Bapak. ” “Tapi katanya kamu benci saya? Terus gimana kita menjalani rumah tangga, kalau kamu sendiri nggak suka sama saya? Berantem dong tiap hari.” “Ya makanya, Bapak jangan terlalu galak sama saya. Biar saya nggak benci ke Bapak. Cewek tuh suka kalau dilembutin, disayang- sayang, dikasih duit, diajak shopping, diajak jalan- jalan, dibeliin mobil, diajak nonton konser, dibel- Seketika Viona langsung terdiam, saat mulutnya disumpal dengan cilok oleh Raka. Dengan wajah yang cemberut, Viona pun lantas mengunya cilok tersebut dan menelannya sampai habis. “Cepat habisin ciloknya. Jangan banyak omong,” tegur Raka. Membuat wajah Viona semakin merengut kesal. Menyebalkan memang. Padahal tadi ia belum selesai berbicara. *** Keesokan harinya, Viona kembali menjalankan aktivitasnya sebagai seorang Mahasiswa di Kampus swasta. Ketika Viona baru saja masuk kelas, dirinya langsung dikeroyok oleh ketiga temannya yang kemarin melihat kejadian saat ia dilamar oleh Dosen galaknya. “Eh, gimana? Lo beneran dilamar apa cuma diprank?” tanya wanita berambut pendek yang bernama Shafa. “Lo kemarin diajak ke mana? Lo nggak diapa- apain, kan?” Wanita berhijab yang bernama Sinar itu pun menyahuti. “Dia bercanda doang atau gimana, sih?” sahut wanita berkacamata yang bernama Niki. Viona berdecak kesal. Ketiga temannya itu menghujaninya pertanyaan secara bersamaan. Membuat kepala Viona langsung terasa pusing seketika. “Satu- satu kek, kalau nanya,” kesal Viona. “Jawab pertanyaan gue dulu, lo beneran dilamar apa cuma diprank?” tanya Shafa, mendahului kedua temannya yang ingin bertanya juga. “Beneran. Tapi belum ke rumah gue,” jawab Viona. “Lo kemarin diajak ke mana?” kini giliran Sinar yang bertanya. “Diajak ke rumahnya. Ketemu Bokap sama Nyokap dia,” jawab Viona lagi. “Serius?” tanya Sinar yang tak menyangka. “Iya,” jawab Viona dengan wajah malasnya, membuat Shafa dan Sinar langsung tersenyum menggoda. “Dia itu lagi mabuk apa gimana, sih? Maksudnya, kayak aneh banget gitu, tiba- tiba ngelamar Viona. Padahal Viona bukan termasuk Mahasiswa yang menonjol. Nggak terkenal juga, dikalangan para Dosen. Kalian juga ngerasa aneh nggak, sih? Kan masih banyak cewek- cewek yang lebih cantik dari Viona gitu,” sahut Niki berkomentar. Membuat Viona dan kedua temannya langsung menatapnya tak suka. Dari tatapan mereka bertiga, seolah- olah berkata, “Apa sih, cringe banget.” “Ya terus kenapa? Orang dia tertariknya sama gue,” balas Viona sewot. “Ya nggak papa, sih. Cuma nggak nyangka aja, kalau seleranya Pak Raka itu rendah,” cetus Niki, membuat Viona semakin naik darah. Niki memang terkenal bermulut pedas. Tetapi baru kali ini, wanita itu berani merendahkan Viona di depan orangnya langsung. “Anj- Belum sempat Viona berkata kasar, tapi Sinar sudah membekap mulutnya terlebih dahulu. Kemudian tanpa di suruh, Niki langsung berjalan pergi meninggalkan Viona dan kedua temannya. “Sabar Vi, sabar. Dia emang kayak gitu orangnya,” ujar Sinar, berusaha menenangkan Viona. “Gue paling nggak suka kalau direndahin, Nar,” kesal Viona. “Iya, gue tau. Tapi kalau lo ladenin dia, nanti lo malah diajak berantem. Lo tau sendiri, kan? Dia orangnya nggak mau kalah,” tutur Sinar. “Dia iri sama lo, Vi. Udah, biarin aja. Dari pada ngeladenin orang kayak dia, mending lo panas- panasin aja. Biar makin kebakar dia,” sahut Shafa, yang langsung diangguki oleh Sinar. Viona menghembuskan napasnya kasar. Tak lama setelah itu, Raka masuk ke dalam kelas dengan ekspresi wajah yang seperti biasanya, datar dan tanpa ekspresi. “Selamat pagi,” sapa Raka. “Pagi Pak,” sahut semua Mahasiswa. ”Siapa yang bertugas presentasi hari ini?” tanya Raka. “Viona sama Samuel, Pak,” sahut lelaki berkacamata, yang bertugas sebagai penanggung jawab kelas. “Kok makalahnya belum dikumpul ke saya, ya?” tanya Raka lagi, membuat Viona langsung melongo kaget, seraya menepuk keningnya keras. “Kan udah saya peringatkan berkali- kali. Makalah harus dikumpul dua hari sebelum presentasi. Kalian ini lupa ngirim, atau emang belum ngerjain?” Samuel pun menatap Viona bingung. Pasalnya dari tiga hari yang lalu, ia sudah menyuruh wanita itu untuk mengumpulkan makalah mereka ke email Dosen galak itu. “M-maaf Pak. Saya lupa,” cicit Viona, membuat Samuel langsung menghembuskan napasnya kasar. Kalau sudah seperti ini, bisa dipastikan Raka akan mengamuk. “Oh, jadi kalian berdua tidak niat presentasi? Ya sudah kalau begitu, saya keluar saja.” Nah kan, hati Raka itu sangat sensitif dan kesabarannya setipis tisu dibagi dua. Masalah sepele seperti ini saja dia langsung merajuk. Tak heran, jika banyak yang menyebutnya Dosen galak. Di saat semua teman- temannya sedang ricuh. Viona memilih untuk berlari mengejar lelaki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD