Bab 9 Idaman Banyak Wanita

1160 Words
Tidak ingin Dewi curiga, secepat kilat Nindy berpikir. “It-itu … aku nggak sengaja denger obrolan Pak Edwin sama Pak Billy waktu aku dipanggil ke ruangannya.” “Oohh, aku kira kamu pernah satu kampus sama Pak Billy.” Nindy langsung menggeleng kuat untuk menyanggahnya. Dia sengaja berbohong karena tidak ingin ditanya macam-macam oleh Dewi. “Nggak. Aku, kan, kuliah di Bandung, bukan di Jakarta.” “Oh, ya, aku lupa.” Dewi terkekeh, kemudian pandangannya beralih pada Billy yang nampak masih bercengkrama dengan Pak Edwin dan wanita yang Dewi ketahui bernama Sinta. “Kata Pak Edwin, Pak Billy menyelesaikan pendidikan sarjananya di Jakarta, terus ngelanjutin Pascasarjananya di Singapore, habis itu kerja di perusahaan asing di sana.” Nindy pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Ternyata Billy menepati ucapannya ketika dia bilang ingin kuliah sampai S2 di Singapura. Dulu, mereka berdua pernah berjanji akan melanjutkan S2 di sana bersama-sama. Namun nyatanya, Nindy hanya menyelesaikan S1 saja dan memilih untuk langsung bekerja setelah lulus. Selesai sarapan, Nindy kembali ke ruangannya bersama Dewi, ketika memasuki ruangan, beberapa wanita sedang membicarakan Billy. Nindy memilih hanya diam sambil mendengarkan pembicaraan mereka. “Duuuh, semakin hari, Pak Billy makin ganteng aku aja liat,” ucap Nuri heboh. “Iyaa, meleleh aku dibuatnya," sahut Desi tidak kalah heboh. "Liat dia pake kemeja press body gitu, bawaannya pengen meluk aja," timpal Nuri dengan senyum genitnya. "Iya, dari luar aja keliatan kalau dadanya bidang. Pasti otot perutnya kayak roti sobek, ngebentuk kotak-kotak gitu," sahut Maya. "Duuh ... jadi, pengen jadi bajunya deh," sahut Maya. Mendengar itu, wajah Nindy seketika memerah, tiba-tiba saja ingatannya kembali pada kejadian malam itu. Malam yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya, di mana dia melihat dengan jelas penampakan tubuh polos Billy yang mendekati kata sempurna. Tubuh yang menjadi idaman banyak wanita. “Kalau aku sih pengen jadi gulingnya biar bisa dipeluk setiap malem," timpal Sari sambil menatap ke atas. Sepertinya, dia sedang membayangkan apa yang baru saja dia ucapkan. “Aku sih maunya jadi istri,” timpal Dini. "Biar bisa milikin dia seutuhnya." “Jangan mimpi deh. Pak Billy mana mau sama kamu." Kali ini karyawan bernaman Dea yang menyahut dengan senyuman mengejek. "Pak Billy pasti lebih memilih aku, dilihat dari mana pun cantikan aku daripada kamu. Lihat aja body sama muka aku, semuanya perfect.” Dea memang memiliki wajah terbilang cantik. Selain itu, dia juga terkenal memiliki kepercayaan diri yang tinggi hingga membuatnya terlihat lebih bersinar daripada yang lain. Namun, karena sikap sombong dan angkuhnya, banyak yang tidak menyukainya. “Nggak usah sok cantik, Dea. Di atas langit, masih ada langit. Lagian menurut aku masih cantikan Nindy daripada kamu,” sahut Nuri dengan wajah tidak senang. “Iyaa, benar itu.” Dini membenarkan ucapan Nuri. "Kamu sama Nindy, itu jauh banget. Ibarat langit dan bumi. Nindy dandan natural aja udah kebanting kamu, apalagi kalau dandan cetar, terhempas ke jurang kamu." Tidak terima dibandingan dengan Nindy, mata Dea tampak melotot dan wajah memerah. “Mata kalian buta, ya? Udah jelas cantikan aku.” Nindy hanya diam sambil mendengarkan perdebatan mereka. Dia sengaja tidak menyahut karena tidak ingin berdebat dengan Dea, meskipun sejak tadi namanya terus disebut. “Diih, nggak tahu diri,” sahut Dini dengan wajah mencibir. "Justru cuma orang buta yang bilang kamu lebih cantik dari Nindy. Sudah jelas udah banyak yang akuin kecantikan Nindy, masih aja nggak terima." Dea yang merasa tersaingi oleh Nindy seketika melemparkan tatapan menusuk padanya. “Eeh, Nin, ingat ya, pak Billy itu incaran aku, jangan sekali-kalinya kamu bersaing sama aku, ya. Inget itu!” Nindy hanya melirik sekilas pada Dea dengan senyuman sinisnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Dea kalau sampai dia tahu kalau dirinya pernah menjalin hubungan dengan Billy. Bahkan, dia menjadi wanita pertama bagi pria itu. “Aduuuh, makin banyak aja nih saingan aku,” ucap Dewi dengan wajah lesunya. Nindy tersenyum tipis, kemudian beranjak dari sana. Dia harus kembali ke ruangan penyimpanan dokumen untuk melanjutnya pekerjaannya. ****** Tok. tok. tok! Setelah mendengar suara ketukan itu, Nindy segera menoleh ke pintu dan melihat Billy sedang berdiri di pintu. “Tinggalkan dulu berkas itu. Bantu saya kerjakan sesuatu,” titah Billy dengan wajah datarnya. Belum juga Nindy memberikan jawaban, Billy sudah berlalu dari sana hingga membuat Nindy merasa kesal. "Astaga, kenapa dia berubah nyebelin banget sih," gerutu Nindy, kemudian bangkit dari duduknya, mengibaskan tangannya ke seluruh tubuh untuk membersihkan debu yang menempel di pakaiannya, lalu berjalan ke luar ruangan. Sebelum ke ruangan Billy, Nindy pergi ke toilet untuk merapihkan rambut serta merapihkan penampilannya. Dia melakukan itu bukan untuk menarik perhatian Billy, melainkan tidak ingin terlihat berantakan di depan atasannya. Dia harus tetap terlihat rapi di lingkungan kantor setiap saat. “Duduk.” Billy mengedikkan dagunya ke arah kursi yang ada di depannya setelah melihat Nindy memasuki ruangan. Wajahnya terlihat datar. Ekspresi itulah yang kini sering Nindy lihat. Padahal dulu, Billy tidak pernah sekali pun menampilkan wajah seperti itu di depannya. Pria itu selalu tersenyum lembut dan menatapnya penuh cinta. 'Penuh cinta? Sepertinya aku salah mengartikan tatapannya. Jika dia memang mencintaiku, tidak mungkin dia ....' Ketika mengingat alasan kenapa dia mengakhiri hubungannya dengan Billy, Nindy seketika menunduk dengan wajah lesu sambil menghela napas panjang. 'Ah, sudahlah. Semua sudah terjadi, setidaknya dia lebih banyak memberikan kenangan manis, meskipun pada akhirnya aku tahu apa alasan dibalik sikap manisnya itu.' "Buat laporan ini sesingkat mungkin. Saya tunggu jam 11." Billy melemparkan map ke meja dan langsung diambil oleh Nindy tanpa banyak bertanya. Dia menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dengan dahi berkerut. "Kenapa? Nggak bisa?" tanya Billy ketika melihat Nindy terdiam. "Bisa." Nindy segera bangkit dari duduknya, lalu berkata, "kalau begitu saya permisi." Sejujurnya, Nindy tidak yakin bisa menyelesaikannya pukul 11 siang karena hanya tersisa setengah jam lagi untuk menyelesaikan laporan itu. Dia terpaksa menyanggupi karena tidak ingin diremehkan oleh Billy. Sepertinya pria itu memang berniat untuk menyiksa dan membuatnya menderita. Itu sebabnya dia sengaja memberikan waktu yang sebentar padanya. Pukul 11 lewat, Nindy kembali masuk ke ruangan Billy dengan membawa laporan yang sudah dia buat. Ketika memasuki ruangannya, Billy terlihat sudah menunggunya. "Kamu terlambat 15 menit," ucap Billy setelah menatap jam rolex miliknya. Dia sedang duduk bersandar sambil menatap datar pada Nindy. "Maaf, Pak. Saya butuh waktu lebih untuk mengecek ulang agar tidak ada kesalahan dalam laporan ini." "Bawa kemari." "Ini, Pak." Billy meraih berkas itu ketika Nindy menyodorkan padanya. "Kamu tunggu di sana," tunjuk Billy pada sofa yang ada di ruangannya tanpa menatap ke arah Nindy. Lima belas menit berlalu, Billy meminta Nindy mendekat. "Apa kamu yakin sudah memeriksanya dengan benar sebelum diserahkan kepada saya?" Dahi Nindy terdiam selama beberapa detik setelah mendengar pertanyaan Billy. "Sudah, Pak." Billy meleparkan berkas itu dengan kasar ke meja kerjanya. "Cek lagi yang sudah saya coret." Nindy melangkah maju, kemudian mengambil laporan itu dan memeriksanya. Dia langsung terdiam setelah melihat laporan tersebut. "Maaf, Pak. Nanti saya perbaiki lagi." "Buat laporan yang mudah saja kamu nggak bisa. Sebenarnya kamu bisa kerja nggak?" ujar Billy dengan nada yang sedikit meninggi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD