Bab 10 Tidak Bisa Jauh

984 Words
Nindy meremas kedua sisi laporan tersebut setelah mendengar ucapan menusuk Billy. Dia sadar kalau dia sudah membuat kesalahan, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Billy memberikan waktu yang sangat terbatas padanya. Jadi, dia membuatnya dengan terburu-buru. “Maaf, Pak." “Seharusnya kamu bilang dari awal kalau kamu gak bisa membuat laporan itu. Jadi, saya nggak perlu membuang waktu saya yang berharga hanya untuk memeriksa laporan sampah kamu.” Rasanya ada ribuan jarum yang menusuk tepat di hatinya usai mendengar perkataan Billy. “Maaf, Pak.” Suara Nindy terdengar bergetar. Namun, ekspresi wajahnya terlihat biasa. “Perbaiki lagi. Saya tunggu sebelum jam makan siang.” Nindy tidak menjawab, dia bergegas keluar dari sana menuju toilet. Air mata yang sejak tadi dia tahan langsung meleleh begitu tiba di toilet. Usai membasuh wajahnya, Nindy kembali ke ruangannya untuk memperbaiki laporan tadi. Tepat 10 menit sebelum jam makan siang, Nindy memberikan laporan tersebut pada Billy. Kali ini, Billy menerimanya tanpa berkomentar apa pun. Jam makan siang, Nindy tidak keluar dari ruangannya, dia hanya meminta OB untuk membelikannya makanan di kantin. Dia memilih makan di ruangannya sekaligus beristirahat. Semenjak kedatangan Billy dan tim dari pusat, dia sudah pernah lagi bisa bersantai seperti sebelumnya. Tidak sampai 15 menit, makanan yang dipesan Nindy tiba, dia langsung menyantapnya seperti orang kelaparan. Di dalam ruangan itu hanya ada dia sendiri, kebiasaan karyawan di sana, mereka selalu makan di luar ataupun di kantin saat jam makan siang. “Kenapa kamu makan di sini?” tanya Denis pada Nindy setelah memasuki ruangan. “Males keluar.” Denis tersenyum, lalu menghampiri meja kerja Nindy. “Ini buat kamu. Aku beli lebih tadi, lagi ada promo.” Denis meletakkan es coklat di meja kerja Nindy usai mengatakan itu. “Makasih.” Nindy tersenyum senang mendapatkan minuman gratis kesukaannya. “Nin, kalau ada yang perlu aku bantu, bilang saja. Aku lihat kamu kayaknya sibuk banget, nggak waktu buat istirahat,” ucap Denis setelah menarik kursi Nuri dan duduk dekat meja Nindy. “Iya. Tenang aja, aku masih bisa handle sendiri, kok,” ujar Nindy sambil tersenyum pada Denis setelah meminum es coklatnya. “Sebenarnya, aku dan Bayu udah nawarin diri buat bantu kamu, tapi dilarang sama pak bos.” Nindy sedikit terkejut mendengar itu. Dia pikir hanya Dewi yang dilarang untuk membantunya, ternyata Bayu dan Denis juga dilarang. Sepertinya Billy masih marah padanya. Hanya saja, Nindy tidak habis pikir, kenapa Billy sampai melakukan itu. Sedendam apa pria itu padanya, hingga ingin melihatnya menderita. “Nggak apa-apa. Aku juga masih bisa ngerjain sendiri.” “Hheeemm!” Terdengar suara dehaman dari arah pintu dan ketika keduanya menoleh, terlihat Billy sedang berada di pintu bersama Angga. “Ikut saya ke ruangan meeting,” titah Billy. Usai mengatakan itu, dia langsung pergi dari sana bersama Angga. Nindy menghela napas panjang. Meskipun dia kesal pada Billy, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena ini menyangkut pekerjaan. Pada akhirnya, dia hanya bisa bersabar menghadapi sikap menyebalkan Billy. “Udah pergi sana, nanti dimarahin lagi sama pak bos,” ujar Denis ketika melihat Nindy belum juga bergerak dari tempatnya. “Iya.” Berhubungan 5 menit lagi jam makan siang berakhir, Nindy segera menyusul ke ruangan meeting. Ternyata di sana sudah berkumpul tim audit, dua orang pusat, Pak Edwin, Angga serta Billy. “Duduk di sini.” Billy menujukkan kursi yang tepat di sebelahnya. Nindy pun tanpa banyak protes duduk bersebelahan dengan mantan kekasihnya itu. Sepertinya biasa, debaran jantungnya kembali memaju cepat saat berada di dekat Billy. Karena merasa tidak nyaman duduk terlalu dekat dengan Billy, Nindy diam-diam menggeser kursinya sedikit demi sedikit menjauh dari pria itu, tapi ternyata Billy menyadarinya. Dengan gerakan cepat dia menarik kursi Nindy ke arahnya hingga kursi dan bahu keduanya bertabrakan dengan pelan. Wajah Nindy tiba-tiba memanas dan tubuhnya seketika berdesir ketika bahu keduanya menempel. “Diam di sini. Saya nggak bisa jauh-jauh dari kamu.” Tatapan keduanya bertemu dengan jarak yang sangat dekat. Debaran jantung Nindy semakin tidak terkendali saat Billy menatapnya dengan lekat. "Haaah?" Ekspresi Nindy tampak melongo. "Saya nggak bisa awasin pekerjaan kamu kalau kamu duduk jauh dari saya." “Iya,” ucap dengan wajah memerah. Bisa-bisanya dia merasa salah tingkah hanya karena ucapan Billy tadi. Padahal, Billy mengatakan itu karena ada hal yang ingin pria diskusikan dengannya. Maka dari itu, mereka harus berdekatan. “Bantu saya urutkan data ini.” Billy menggeser 5 tumpukan berkas yang tadi pagi dia berikan pada Billy. “Baik, Pak.” Nindy pun menormalkan kembali debaran jantungnya, setelah itu menampilkan ekspresi biasa. “Nindy, apa kamu butuh bantuan?” tawar Angga yang duduk bersebrangan dengan Billy dengan senyuman jailnya. “Awasi saja bawahanmu, jangan mengurusi hal lain,” sahut Billy dengan wajah tegasnya. Angga terkekeh mendengar itu. Mungkin karena mereka sudah dekat sejak dulu, jadi keduanya terbiasa berbicara tanpa basa-basi. “Aku cuma merasa kasihan dengan Nindy. Memangnya tidak boleh membantunya? Aku tetap bisa mengawasi bawahanku sambil membantu Nindy.” Meskipun mereka sangat dekat, tapi jika masih masih berada di ruang lingkup kantor atau pada saat jam kerja, keduanya akan berbicara dengan formal. “Apa kamu ingin dimutasi ke sini dan turun jabatan?” ujar Billy dengan ekspresi datarnya. Nindy berserta yang lainnya hanya diam, mendengarkan permbicaraan Billy dan Angga sambil mengerjakan pekerjaan mereka. “Ancamanmu apa nggak ada yang lain? Kamu ini posesif sekali dengan Nindy. Seperti nggak rela Nindy didekati orang lain.” Semua yang ada di ruangan itu diam-diam melirik pada Nindy, kemudian beralih pada Billy setelah mendengar ucapan Angga. Sementara Nindy sendiri menulikan telinganya. Berpura-pura tidak mendengar ucapan Angga karena takut dia akan terlihat salah tingkah. “Jangan bicara omong kosong yang bisa menimbulkan gosip yang nggak perlu,” kata Billy dengan wajah tidak senang. Angga mencebik dan tidak lagi membalas ucapan Billy. Pandangannya sekarang beralih pada Nindy. “Nin, pria yang bersamamu tadi, apa hubunganmu dengannya? Apa kalian berpacaran?” Ditanya seperti itu oleh Angga, mendadak lidah Nindy menjadi kelu. Terlebih ketika mendapatkan lirikan tajam dari Billy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD