Dingin malam terasa semakin mencekam. Agil dan Kianara masih berada di luar, sedang Gharal masih mematung di dekat jendela seakan mengawasi gerak-gerik mereka.
“Agil kayaknya tambah dingin, ya. Kita masuk, yuk. Udah makin larut juga, lebih baik istirahat.”
Agil tersenyum, “Kamu udah kenyang belum?”
Kia tertawa pendek. “Aku udah kenyang, tenang aja.”
Mereka pun beranjak dan berjalan beriringan memasuki vila. Setiba di depan pintu kamar masing-masing, Agil melirik Kia dan senyum lembut terulas dari kedua sudut bibirnya.
“Selamat malam, Kia, selamat istirahat. Moga nyenyak tidur.”
Kia mengangguk dan tersenyum sekali lagi.
“Makasih, Gil. Kamu juga, ya.”
Kia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu pelan. Dia melihat Selia tengah duduk berselonjor sembari memainkan smartphone-nya. Selia melirik Kia sejenak lalu membuang muka. Kia melepas kerudungnya dan duduk di sebelah Selia. Selia menoleh ke Kia. Dia tak menyangka Kia memiliki rambut yang begitu indah. Rambut panjang itu berwarna hitam legam, tebal, lurus, dan terlihat begitu lembut. Selia begitu menginginkan rambut seperti milik Kia karena rambutnya sedikit rusak di bagian ujung akibat sering diwarnai.
“Rambut lo bagus. Kenapa harus ditutup kerudung? Orang-orang jadi nggak bisa lihat kan?”
Pertanyaan Selia membuat Kia sedikit kaget. Hanya dua orang yang pernah memuji rambutnya, almarhumah ibunya dan Santika, sepupu sekaligus teman kuliahnya. Dia juga tak pernah menduga bahwa pertanyaan seperti ini akan keluar dari bibir Selia yang terlihat merah menyala dengan olesan lipstick.
“Rambut ini termasuk aurat, karena itu harus ditutup. Kamu pasti sudah tahu, kan? Muslimah dilarang menampakkan auratnya di depan non-mahram.”
Selia mengangguk, “Ya gue tahu. Meski gue bukan orang yang religius, gue tahu ada aturan berhijab. Cuma gue nggak siap. Gue merasa gue belum jadi orang bener. Gue bukan orang yang baik. Gue belum pantas buat pakai jilbab.”
Kia tersenyum. Banyak orang mengidentikan hijab dan akhlak adalah dua hal yang sama. Padahal keduanya berbeda.
“Selia, namanya jilbab itu bukan masalah pantas atau nggak, baik atau nggak, siap atau nggak. Ini soal kewajiban. Muslimah yang baligh diwajibkan untuk menutup auratnya. Jika ada wanita berkelakuan jelek sedang dia mengenakan hijab, maka jangan salahkan hijabnya. Menutup aurat itu wajib entah muslimah itu baik atau nggak, nggak peduli dia seorang mahasiswi, penjual sayur, dokter, guru, ibu rumahtangga, bahkan wanita yang menjajakan tubuhnya sekalipun dikenai kewajiban menutup aurat. Akan lebih baik lagi kalau kewajiban menutup aurat ini beriringan dengan belajar untuk memperbaiki akhlak.” Binar mata Kia terlihat begitu menyejukkan.
Melihat Selia yang memasang ekspresi bingung, Kia mencoba menjelaskannya lagi.
“Jadi jilbab itu bukan berarti menunjukkan kita sudah sempurna. Contohnya aku pribadi, ya. Aku berjilbab tapi aku juga masih punya banyak kekurangan. Banyak hal yang harus kuperbaiki termasuk akhlakku. Setidaknya dengan berjilbab aku sudah melaksanakan kewajibanku dan jilbab sendiri menjadi motivasi untuk terus belajar memperbaiki diri. Kayak semacam filter gitu. Jadi misal, saat aku tergoda melakukan hal yang nggak baik, dalam hati aku bicara, ‘kamu sudah pakai jilbab, masa kelakuan masih begitu? Apa nggak malu?’, ya seperti itu gambarannya. Mudah-mudahan kamu bisa memahami penjelasanku.”
Selia tercenung. Matanya menerawang ke langit-langit lalu kembali tertuju pada layar smartphone-nya meski arah pandangnya tak bermuara di sana.
“Mama gue juga pakai jilbab. Tapi waktu muda, dia nggak pakai. Mungkin gue makainya nanti kalau udah merit.” Selia bergumam, sesekali matanya menerawang ke langit-langit.
Kia tersenyum, “Kalau umur kamu nggak sampai ke sana gimana?”
Selia menoleh Kia dan menatap gadis mungil itu tajam. Lidahnya serasa kelu untuk sekadar menjawab.
“Kita nggak akan pernah tahu sampai di mana umur kita, kan?” tanya Kia sekali lagi.
Melihat Selia yang hanya terdiam, Kia buru-buru mengalihkan pembicaraan.
“Udah malem, lebih baik kita tidur.”
“Tunggu, Kia. Gue sebenarnya penasaran awal mula lo bisa nikah sama Gharal? Agil cuma cerita kalau kalian dijodohkan.” Selia mengernyitkan alisnya.
Kia menghela napas. Haruskah ia menceritakannya pada Selia?
“Kenapa kamu ingin tahu?” Kia menatap Selia dengan tatapan yang selalu meneduhkan.
“Gue penasaran aja. Setahu gue, tipikal cewek yang Gharal suka bukan yang kayak lo. Gharal juga menyukai Fara. Karena itu gue heran, kenapa Gharal menerima perjodohan kalian.”
Kia memejamkan mata sejenak. Setiap kali mengingat kecelakaan itu, ada rasa perih yang tiba-tiba menyergap. Kia ikhlas menerima cobaan ini. Kia sudah bisa berdamai dengan kondisi kakinya yang cacat, tapi entah, selalu saja ada sisi rapuh dalam dirinya yang tiba-tiba menguat. Butuh usaha mati-matian dari dalam untuk kuat bercerita dengan senyum, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Gharal pernah menabrak aku hingga kakiku patah tulang parah. Inilah sebab kenapa jalanku terpincang-pincang. Setelah aku pulih, Gharal dan orang tuanya datang untuk melamar. Aku berpikir, Gharal mau menikahiku karena semata tanggung jawab atas kecelakaan itu.”
Selia sempat mengira bahwa cacat di kaki Kia adalah cacat bawaan, ternyata itu semua karena kecelakaan. Ditatapnya gadis itu begitu menelisik. Di balik tubuhnya yang kurus dan mungil, dia memiliki ketegaran yang luar biasa.
“Apa lo mencintai Gharal?”
Pertanyaan Selia kali ini begitu sulit untuk Kia jawab. Dia menunduk lalu kembali menatap Selia.
“Aku juga nggak tahu. Mungkin aku sedang belajar untuk mencintainya. Tapi kadang aku merasa, aku mungkin sudah mulai menyukainya. Dia sudah menjadi suamiku. Dan aku berharap suatu saat akan ada cinta dalam pernikahan kami.”
Selia tertegun. Ia bisa melihat ketulusan di wajah polos Kia.
“Apa lo yakin suatu saat Gharal bisa mencintai lo? Jangan terlalu polos, Kia. Gharal bukan orang yang mudah jatuh cinta. Dia juga kasar, cuek dan seringkali dingin sama cewek kecuali orang yang dia kenal. Misal kayak gue dan Fara. Karena kami udah kenal, dia ramah, tapi ke cewek lain belum tentu. Kalian ini kayak bumi dan langit. Karakter dan sifat kalian beda banget. Lo nggak harus maksain diri lo untuk terus mempertahankan pernikahan kalian. Setiap orang berhak, kan buat bahagia?”
Kia mengangguk.
“Kamu benar Selia, semua orang berhak bahagia. Dan aku akan bahagia jika melihat ayahku bahagia. Ayah adalah orang yang paling berbahagia menyambut pernikahanku dan Gharal. Aku tahu Ayah sedih saat melepasku. Tanggungjawabnya sudah beralih pada Gharal. Tapi dia juga merasa lega dan bahagia, karena ada seseorang yang akan melindungi, menjagaku dan mencintaiku. Ayah percaya, Gharal adalah pemuda yang baik. Kalau aku mundur, itu artinya aku menghancurkan kebahagiaan Ayah.”
Hening sesaat, seakan kedua wanita itu tengah bergelut dengan pikiran masing-masing.
“Lo sayang banget sama Ayah lo?” Selia menyipitkan matanya.
Kia mengangguk, “Setiap anak pasti sayang ayahnya kan?”
Selia tersenyum getir, “Nggak semua. Gue bahkan nggak tahu gimana cara menyayangi Ayah. Dia ninggalin gue dan Mama dari gue umur sepuluh tahun. Dia orang yang kasar dan suka mukulin Mama. Gue bersyukur dia nggak balik lagi. Kalau dia balik, Mama pasti bakal menderita lagi.”
Kia termenung. Di luar sana banyak anak yang bahkan tidak bisa merasakan hangatnya cinta seorang Ayah. Banyak anak yang tak menemukan sosok pahlawan ada pada Ayah mereka. Ayah, entah fisik atau kasih sayangnya terkadang seperti puing fatamorgana yang seolah tampak begitu nyata, tapi ketika didekati, semua semakin jauh dan hilang. Kia bersyukur karena memiliki seorang Ayah yang begitu menyayanginya dan selamanya sosok pria paruh baya itu akan menjadi pahlawan di hatinya.
“Ayah lo pasti sayang banget sama lo? Mata lo berkaca, Kia.”
Kia tersenyum dan mengangguk seiring dengan bulir bening yang lolos tanpa mampu ia bendung.
“Iya, dia sayang banget sama aku. Rasanya aku kangen banget sama ayahku, Sel. Sejak Ibu meninggal, Ayah berusaha sekuat tenaga untuk mengisi peran seorang Ibu juga. Dia membuatkan sarapan untukku, menjahit bajuku yang robek. Dia mendengarkan semua curhatanku meski dia lelah seharian bekerja tapi dia selalu meluangkan waktu untuk mendengarku. Dia Ayah terbaik. Dia selalu menasehatiku untuk menjadi istri yang salihah.”
Selia menyunggingkan senyumnya. Gadis yang beberapa jam lalu begitu jutek dan ketus pada Kia, sekarang terlihat lebih bersahabat.
“Lo beruntung, Kia. Banyak yang bilang keluarga adalah harta yang paling berharga, anugerah terindah dari Allah. Itu memang benar adanya. Gue selalu merindukan potret keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi gue tahu, itu nggak mungkin. Ayah gue udah nikah lagi. Ya seenggaknya gue masih punya Mama yang sayang sama gue.”
Kia tersenyum, “Aku kehilangan ibu untuk selamanya. Rasanya sangat menyakitkan ketika kerinduan kita nggak akan pernah menemukan obatnya. Karena satu-satunya obat dari rasa rindu itu adalah bertemu dengan orang yang dirindukan. Aku nggak akan bisa lagi bertemu ibu. Kamu harus bersyukur karena kedua orangtuamu masih hidup. Meski ayahmu meninggalkanmu, setidaknya dia masih hidup. Jalan orang juga nggak akan pernah tahu, kan? Bisa saja suatu saat ayahmu berubah menjadi orang yang lebih baik.”
Selia menunduk dan tersenyum kecut.
“Entahlah. Gue nggak yakin dia bisa berubah. Gue benci dia.”
“Aku tahu mungkin kamu begitu sakit hati. Tapi kamu harus ingat, saat menikah nanti, ayahmu-lah yang akan menjadi walimu. Memaafkan mungkin begitu sulit, tapi dengan itu, kamu bisa menghilangkan kebencian dan rasa sakitmu.”
Selia membisu, tak menanggapi apa pun.
“Ya udah kita tidur, yuk. Udah larut.”
Selia mengangguk. Mereka pun terpejam dengan selimut hangat menutup hingga ke d**a.
******
Sayup-sayup azan Subuh dari Masjid yang lokasinya dekat vila terdengar begitu merdu. Kia yang memang sudah bangun melangkah menuju pintu. Ia membuka kenop pintu lalu berjalan menuju kamar sebelah di mana Agil dan Gharal beristirahat.
Kia mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Kia mencoba mengetuk kembali.
“Gharal ..., Gha ....”
Tidak ada yang menyahut. Kia mengetuk sekali lagi.
“Gharal udah azan, subuhan dulu ....”
Tidak ada jawaban juga.
“Gharal bangun, udah Subuh.”
Tiba-tiba pintu terbuka. Sosok Gharal yang terlihat masih mengantuk berdiri di balik pintu dengan mengucek kedua matanya.
“Lo ganggu banget, sih. Gue masih ngantuk.”
“Udah azan, Gha. Kamu mesti salat dulu. Ada Masjid di sekitar sini. Paling cuma jalan sebentar. Habis sholat kamu bisa tidur lagi.” Kia tahu, tidak baik tidur lagi setelah Subuh. Tapi dia juga tahu, membujuk Gharal itu sulit sekali. Gharal terbiasa clubbing dan bersenang-senang. Ibadah menjadi sesuatu yang tidak ia prioritaskan. Satu hal yang membuat Kia bertanya-tanya, kedua orangtua Gharal rajin beribadah dan baik, tapi mengapa Gharal bisa sebengal ini. Dia masih labil dan belum menyadari benar kewajibannya sebagai seorang Muslim.
“Lama-lama lo kayak nyokap ya, cerewet banget soal bangunin Subuhan.” Gharal mendelik.
“Gue mau salat, tapi di sini aja. Di luar dingin, males ke Masjid.” Gharal kembali menutup pintu dengan keras hingga suaranya seolah menggetarkan wajah Kia.
Kia membiarkannya. Gharal sudah mau salat saja, Kia sudah merasa senang. Ia kembali ke kamarnya untuk mengambil wudu di kamar mandi dan salat Subuh.
Jam tujuh pagi, mereka berempat duduk-duduk di gazebo pinggir kolam. Kia membuatkan empat gelas teh manis. Di dapur disediakan teh, gula dan kopi. Pengurus vila mengantarkan dua box sarapan pagi. Baskoro memesan vila untuk dua orang, karena itu paket sarapan yang memang menjadi salah satu fasilitas vila juga hanya ada dua box.
“Yah sarapannya cuma ada dua box, apa kita bagi-bagi menjadi empat nih?” Gharal menatap dua box itu.
“Udah buat Gharal dan Kia aja. Ini kan sebenarnya honeymoon kalian. Gue ama Selia bisa nyari sarapan di luar.”
“Atau masak sendiri aja kali, ya? Tadi habis Subuh, aku sempat keluar. Aku lihat ada penjual sayuran di dekat vila. Di sebelahnya ada penjual martabak juga. Sebelum aku selesai masak, kalian bisa ngemil martabak dulu.” Kia tersenyum cerah. Matanya seakan berpendar begitu bercahaya.
“Emang Kia bisa masak?” Agil menaikkan alisnya.
“Aku suka masak. Sejak Ibu meninggal, aku getol banget belajar masak. Lama-lama jadi terbiasa masak,” jawab Kia penuh semangat.
“Wah boleh juga, tuh. Penasaran juga pengin nyicipin masakan Kia.” Agil tersenyum lebar.
“Martabaknya beli juga ya, Kia, gue suka martabak,” ucap Selia.
Kia mengangguk.
“Oh, ya, kamu udah ada uang belum? Pakai uang aku aja, ya.” Agil mengeluarkan dompetnya.
Mata Gharal membulat.
“Lo apaan, sih ngasih Kia duit? Gue yang harusnya ngasih dia duit.” Gharal mengambil dompet di sakunya dan mengeluarkan selembar seratus ribu rupiah.
Gharal menyodorkan uang itu pada Kia tanpa menolehnya, “Cukup nggak?”
Kia menerima uang itu. Nafkah pertama? Entah nafkah atau bukan, tapi Kia merasa speechless menerima uang itu.
“Insya Allah cukup,” jawab Kia singkat.
“Apa gue aja yang belanja, Kia?” Agil menawarkan bantuan.
“Nggak apa-apa, aku aja.”
“Eh mending kita bareng-bareng ke warung sayur itu. Gue pengin lihat-lihat pemandangan.” Selia menangkup kedua pipinya dan menatap Agil dengan tampang cute-nya.
“Boleh,” tukas Agil.
Gharal yang sebelumnya tak berminat keluar vila akhirnya ikut berjalan keluar bersama Kia dan kedua temannya.
Agil berjalan bergandengan dengan Selia di depan, sedang Gharal berjalan beriringan dengan Kia. Gharal menjaga jarak untuk tidak begitu dekat dengan Kia. Sesekali Gharal menyaksikan cara berjalan Kia yang terpincang-pincang. Dia berjalan lebih lambat dibanding dirinya.
Saat berpapasan dengan orang-orang yang berlalu-lalang, Gharal merasakan tatapan mereka tertuju pada Kia lalu beralih menatapnya. Gharal berpikir mungkin dalam hati mereka heran kenapa bisa orang seganteng dirinya mendapatkan pasangan begitu dekil, jelek dengan cara berjalan yang tidak sempurna. Gharal melangkah lebih cepat dan meninggalkan Kia di belakang. Ia merasa risi dengan tatapan-tatapan itu. Dia juga malu beristrikan seorang yang sama sekali tak menarik di matanya.
Agil menoleh ke belakang. Matanya membulat menyaksikan Gharal tega membiarkan Kia berjalan seorang diri.
“Ya ampun Gharal, kenapa lo ninggalin Kia? Temenin dia.”
Gharal tetap saja berjalan, “Ah dia jalannya lama.”
Agil dan Selia berhenti sejenak dan menunggu Kia sampai bisa menyusul mereka. Sebagai perempuan yang ditakdirkan memiliki perasaan yang lebih peka dibanding laki-laki, tentu ada rasa sakit di hati Kia karena Gharal masih saja tak menganggapnya. Gharal bahkan malu jika harus berjalan beriringan dengannya.
Setiba di warung sayur, Kia memilih beberapa sayuran dan daging ayam. Kia berencana memasak capcay dan ayam goreng. Dia juga membeli bumbu-bumbu yang diperlukan. Agil dan Selia membeli martabak di sebelah warung sayur. Gharal mengedarkan pandangannya ke sekitar dan menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskan pelan. Udara di sini jauh lebih segar dibanding di kota yang sudah tercemar polusi.
Dalam perjalanan pulang, kaki Kia terkilir hingga ia terjatuh. Rasanya begitu sakit sampai-sampai ia kesulitan untuk bangun. Agil mendekat ke arah Kia.
“Kia, kamu kenapa?” Agil mengambil alih kantong belanjaan yang digenggam Kia.
Kia meringis kesakitan. Agil berniat membantu membangunkan, tapi dia tahu Kia tidak mau bersentuhan dengan laki-laki non-mahram.
“Gharal, istri lo jatuh gini, lo diem aja? Ayo bantu dia bangun. Atau digendong, kek.” Agil berkacak pinggang dan menatap Gharal sambil menggeleng. Gharal cuek saja melihat Kia kesakitan.
“Manja amat, sih. Suruh aja bangun sendiri.” Gharal menatap Kia ketus.
“Ya Allah tega bener lo. Kalau gue boleh nyentuh, gue bakalan gendong. Gue bukan mahram dia. Udah cepet gendong Kia. Kasihan dia, kakinya pasti sakit banget.” Agil manatap Gharal tajam.
Dengan terpaksa Gharal membantu Kia bangun dengan memapahnya. Kia masih saja meringis kesakitan. Akhirnya Gharal menggendongnya. Surprise untuk Gharal, tubuh Kia ringan sekali.
Kia mengalungkan tangannya ke leher Gharal. Rasanya begitu gugup dan deg-degan, tapi dia merasa nyaman digendong oleh suaminya. Kia seperti melihat sisi lain seorang Gharal yang ternyata masih sedikit peduli padanya.
“Beratmu nggak nyampai 40, ya? Ringan banget.” Gharal bertanya dengan ketus.
“Entah berapa sekarang. Udah lama aku nggak nimbang. Setahun yang lalu emang nggak nyampe 40, sih,” jawab Kia. Entah mengapa dia merasa senang Gharal bertanya sesuatu tentangnya.
Gharal terdiam, tak merespons apa pun. Di tengah jalan ia kembali berpapasan dengan orang-orang. Gharal merasa tak nyaman. Ia mempercepat langkahnya agar cepat tiba di vila. Agil dan Selia mampir membeli gorengan di pinggir jalan.
Setiba di vila, Gharal masuk ke kamar Kia dan menghempaskan tubuh Kia ke ranjang dengan kasar. Kia tersentak. Untung saja spring bed yang digunakan begitu empuk jadi Kia tak merasa sakit. Namun tetap saja dia begitu kaget diperlakukan sedemikian kasar oleh Gharal.
“Lo nggak usah manja gitu, ya ama gue. Jangan anggap apa yang gue lakuin tadi karena gue care ama lo. Nggak usah ke-geer-an. Lo pura-pura jatuh, kan biar gue simpati ama lo?”
Kia merasa sakit hati dituduh berpura-pura jatuh hanya untuk mencari simpati. Kakinya memang benar-benar terkilir.
“Aku nggak pura-pura. Aku beneran terkilir. Kamu kayak nggak ikhlas banget gendong aku. Kita suami istri, Gha. Emang udah seharusnya kita saling care.” Kia menggerakkan badannya dari berbaring beralih ke posisi duduk.
“Pernikahan kita hanya sebatas status, Kia. Jangan berharap lebih pada pernikahan ini.” Nada bicara Gharal masih terdengar begitu ketus.
“Bagiku pernikahan adalah jalan untuk ibadah. Suami dan istri punya hak dan kewajiban masing-masing.” Kia menatap Gharal tajam.
“Oh jadi sekarang lo ngomongin hak dan kewajiban. Itu artinya lo nuntut gue buat menjalankan kewajiban gue?”
Kia terdiam tapi mata itu masih menatap Gharal lekat. Gharal mendorong tubuh Kia hingga terbaring kembali. Gharal menindihnya. Ada gemuruh dalam d**a yang begitu mendebarkan, di sisi lain Kia merasa sedikit takut kala ia menemukan bara amarah dan kebencian menyatu di kedua bola mata Gharal.
“Lo pingin gue melakukan kewajiban gue kan? Ngasih lo nafkah? Termasuk nafkah batin? Tunggu aja sampai Agil dan Selia balik ke Bandung. Nanti sore mereka balik. Dan malamnya gue bakal ngasih malam pertama terburuk dalam hidup lo.” Gharal mengatur deru napasnya yang tak stabil karena emosinya naik.
Mata mereka beradu. Jarak mereka begitu dekat. Kia merasa gugup, di saat yang sama ada perasaan takut. Entah malam pertama terburuk seperti apa yang akan Gharal berikan. Wajah Gharal tampak merah padam karena amarahnya. Apakah sebegitu besar perasaan benci Gharal terhadapnya?
Gharal menatap detail wajah Kia. Ini pertama kali untuknya memerhatikan wajah Kia yang menurutnya begitu buruk. Setelah diperhatikan lebih rinci, Kia tak terlihat buruk di matanya. Dia memiliki mata tajam yang indah dengan bulu mata yang lentik. Kia terlihat tenang, padahal dia sudah mengancamnya. Kadang dia berpikir, bagaimana wanita ini bisa sedemikian tenang menghadapinya? Kia sama sekali tak marah meski Gharal sadar benar, caranya memperlakukan Kia begitu kasar.
Gharal berpikir mungkin jika dia menyentuh wajahnya, Kia akan menolak dan marah padanya. Gharal menelusuri garis pipi Kia dengan jari-jarinya. Kia terdiam. Ia tetap terlihat tenang meski jauh di lubuk hatinya, Kia merasa begitu deg-degan. Gharal menyentuh pipinya dalam keadaan sadar, tidak lagi mabuk seperti waktu itu.
Gharal terpaku sejenak kala ia mendapati kedua mata Kia seolah mengembun. Mata indah itu terlihat berkaca. Apa Kia hendak menangis? Perlakuannya kali ini membuat Kia sedih? Gharal tak habis pikir. Saat dia berlaku kasar padanya, Kia terlihat biasa saja dan tenang, tapi ketika dia menyentuh pipi istrinya lembut, Kia justru bereaksi seperti hendak menangis. Atau mungkin Kia takut Gharal akan melakukan kewajibannya saat ini juga?
Tanpa Gharal tahu, hati Kia begitu tersentuh. Perasaannya begitu peka dan lembut. Sentuhan lembut Gharal di pipinya membuatnya bahagia karena merasa dianggap sebagai istri.
Tawa Agil dan Selia yang terdengar sayup membuat Gharal menghentikan aksinya. Dia beranjak dan berjalan keluar kamar tanpa mengucap sepatah katapun.
Kia duduk termenung memikirkan apa yang terjadi barusan. Senyum tipis melengkung di bibirnya. Kia sadar benar, perasaan cinta mulai menyusup ke dalam hati, begitu menggetarkan dan degup jantungnya masih saja berpacu hebat kendati sosok itu telah berlalu dari hadapannya.
******