Selia masuk ke dalam kamar untuk melihat kondisi Kia.
“Kaki lo masih sakit? Kalau masih sakit, nggak usah masak aja. Gue dan Agil tadi beli gorengan juga, nggak perlu makan nasi juga udah kenyang.” Selia memerhatikan kaki Kia yang terbalut kaus kaki.
“Udah nggak sakit, kok. Aku bakal tetap masak. Kemarin aku bawa beras juga, jadi sekalian masak nasi. Di dapur juga disediakan magic com.” Kia mengerlingkan senyumnya.
“Oh, ya udah kalau gitu.”
Kia memasak di dapur, sementara Gharal, Agil dan Selia menonton televisi sambil ngemil martabak dan gorengan. Aroma masakan Kia begitu menggugah selera. Agil melangkah menuju ke dapur, penasaran dengan menu yang dimasak Kia.
“Masak apa, Kia? Kayaknya enak banget, nih.”
Kia menoleh ke Agil yang mematung di sebelahnya.
“Masak capcay sama ayam goreng, Gil. Itu ayam gorengnya udah matang. Udah aku sajikan di meja.”
Agil melirik sepiring ayam goreng di atas meja. Dari penampilannya saja sudah membangkitkan selera.
“Kamu pintar masak, ya?” Agil kembali melirik cara Kia mengaduk-aduk capcay yang ia masak dengan sutil.
Kia tersenyum. “Aku nggak pinter, kok, cuma suka masak. Mungkin ini tuntutan juga buat aku. Sepeninggal Ibu, aku jadi banyak belajar untuk melakukan pekerjaan rumah tangga termasuk masak.”
“Kamu jadi belajar mandiri, ya. Zaman sekarang banyak perempuan yang malas masuk dapur. Sebenarnya Gharal beruntung mendapatkanmu.”
Mata mereka beradu. Kia mengalihkan pandangannya kembali pada masakannya. Agil menatapnya lekat dan membuat Kia salah tingkah, merasa tak nyaman diperhatikan sedemikian intens oleh Agil.
Agil tahu Kia adalah istri sahabatnya. Namun, ia tak bisa menyembunyikan ketertarikan dan kekagumannya pada gadis berhijab itu. Kia sungguh berbeda dari gadis-gadis lain yang pernah ia kenal. Kia tipe perempuan yang kuat memegang prinsip di saat banyak perempuan yang tak sungkan lagi menggadaikan tubuhnya atas nama cinta semu atau materi. Kia tahu cara berinteraksi dengan orang lain yang berbeda prinsip dengannya, tanpa harus menjauh atau menghakimi.
Derap langkah Gharal mengagetkan Agil yang tengah terpaku menatap Kia.
“Lo ngapain lama-lama di sini?” Gharal menatap Agil dengan tatapan tertajamnya. Dia tak suka melihat Agil menjalin keakraban dengan Kia. Bukan karena dia cemburu, tapi baginya, Agil mendekati Kia hanya kerena modus tertentu. Dia berpikir, Agil pastilah mengincar keperawanan Kia. Entah ada perasaan atau tidak, sebagai suami tentu dia tak rela istrinya disentuh laki-laki lain. Apalagi dia juga belum pernah menyentuhnya.
Agil merasa tak enak juga kepergok Gharal tengah memerhatikan Kia. Dia melangkah berbalik menuju ruang tengah. Gharal beralih menatap Kia yang hanya terdiam melihat suaminya bersedekap mengawasinya.
“Lo nggak usah sok kecakepan jadi cewek. Lo sengaja mancing-mancing Agil buat merhatiin lo, 'kan?”
Kia mematikan kompor lalu mengambil piring besar dan menuang capcay yang sudah matang di atasnya. Selanjutnya Kia meletakkan piring berisi capcay itu di atas meja.
Gharal semakin geram karena Kia tak menanggapi ucapannya. Dicengkeramnya lengan Kia begitu kuat hingga Kia meringis kesakitan.
“Kenapa pertanyaan gue nggak ditanggapi?” Gharal menatap Kia dengan begitu emosional.
Wajah Kia terlihat tenang.
“Bagaimana bisa aku menanggapi, kamu menuduh aku mancing-mancing Agil untuk memerhatikanku. Apa untungnya buat aku?” Kia menjawab datar.
“Emang kenyataannya gitu, 'kan? Lo pikir gue bakalan cemburu lihat kedekatan kalian?” Gharal terus mencecar. Rasanya dia begitu marah dan benci pada Kia.
Kia menghela napas. Ia balas menatap suaminya dengan mata sendu tetapi terlihat begitu tajam dan menghunjam.
“Kalau kamu memang nggak cemburu, kenapa kamu marah?”
Gharal mengendurkan cengkeramannya. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia bisa begitu marah.
“Aku sadar benar posisiku seperti apa. Meski kamu nggak pernah menganggap aku, aku akan tetap menjaga diri dan kehormatanku sebagai istrimu. Aku nggak pernah menggoda atau memancing perhatian laki-laki lain.” Kata-kata Kia meluncur dengan tegasnya. Mata itu masih tajam menelisik pahatan wajah Gharal yang begitu sempurna di matanya.
Gharal melepaskan cengkeramannya. Kia selalu saja tenang menghadapinya, sebesar apa pun kebencian dan amarah yang ia tunjukkan.
“Masakan sudah matang, lebih baik kita makan dulu.” Kia melewati suaminya begitu saja lalu melangkah menuju ruang tengah untuk mengajak Agil dan Selia makan.
Mereka duduk mengitari meja makan dan fokus dengan piringnya masing-masing. Selia menyuapkan sesendok capcay buatan Kia ke mulutnya.
“Wah, masakannya enak banget, Kia. Lo punya bakat masak.” Selia tersenyum dan matanya berbinar.
Agil menggigit ayam goreng lalu mengunyahnya antusias.
“Ayam gorengnya juga enak.” Agil semakin kagum pada Kia yang begitu terampil memasak. Mantan-mantannya termasuk Selia tak ada yang pintar memasak. Di matanya, perempuan yang pintar masak itu memiliki nilai plus tersendiri.
Kia senang mengamati ekspresi wajah Selia dan Agil yang begitu lahap menyantap masakannya. Hal berbeda ditunjukkan Gharal. Air mukanya terlihat datar, tapi dia tak menolak untuk memakan masakannya.
Gharal akui masakan Kia memang enak. Tapi dia tak mau membuat Kia berada di atas angin jika dia memujinya.
“Alhamdulillah kalau kalian suka. Ayo nambah lagi.” Kia menatap Selia dan Agil bergantian dengan senyum yang tak lepas.
Seusai makan, Selia dan Agil membereskan barang-barang mereka karena akan kembali ke kota sore ini. Namun bisa jadi mereka akan kembali lebih cepat karena Agil sudah menghubungi sopir pribadi keluarganya untuk menjemputnya dan Selia. Saat datang ke vila ini mereka menaiki mobil milik Marcell, tidak membawa kendaraan sendiri.
Gharal duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas mengawasi sahabatnya yang tengah memasukkan kamera ke tasnya.
“Lo beneran mau balik hari ini? Nggak mau jalan-jalan dulu ke objek wisata di sini?”
Agil melirik Gharal dan tersenyum.
“Ini kan moment honeymoon lo sama Kia. Gue dan Selia nggak mau ganggu.”
Gharal menyeringai, “Ganggu apanya? Gue dan Kia juga tidur terpisah, nggak ngapa-ngapain, jadi lo dan Selia sama sekali nggak ganggu, kok. Gue malah bingung kalo lo berdua pergi. Apa yang mesti gue lakuin di liburan yang menjenuhkan ini? Gue nggak tahu mesti ngapain ama cewek jelek itu.”
Agil terkekeh, “Lo mesti ngapain? Masa gitu aja lo nanya ke gue. Ya sewajarnya honeymoon, lo seneng-seneng aja sama Kia.”
Gharal membuang muka.
“Gue kan udah bilang, gue nggak tertarik sama dia, gimana mau seneng-seneng?”
Agil bersedekap dan menatap Gharal serius.
“Yakin lo nggak tertarik? Di mata gue, Kia itu menarik. Terlepas dari kondisi kakinya, gue rasa dia nggak sejelek seperti apa yang ada di pikiran lo. Gue suka senyumnya, selalu tulus dan manis. Gue suka cara dia berpakaian, yang meski nggak seksi tapi dia terlihat begitu elegan. Dia nggak dekil, dia manis, dia cute dan dia smart. Lihat dia dengan mata hati lo.”
Gharal terpekur. Ia bisa melihat sepertinya Agil memang benar-benar tertarik pada Kia.
“Gue ngomong kayak gini nggak bermaksud apa-apa, Gha. Gue cuma mencoba memberi penilaian gue tentang Kia dari perspektif gue sebagai laki-laki. Penilaian yang jujur dan nggak mengada-ada.”
Gharal terdiam. Tetap saja rasa benci, dendam dan amarah pada gadis mungil itu sudah sedemikian mengakar sejak hari pernikahan mereka.
“Lo mesti ingat satu hal, Gha. Lo yang nyebabin kakinya cacat. Harusnya lo bersyukur karena dia maafin lo dan bahkan mau menikahi lo.”
Gharal tercekat dan ingatannya melayang pada kecelakaan naas itu. Dia berharap jika bisa memutar waktu, dia akan melakukan apa saja untuk mencegah kecelakaan itu agar tidak terjadi.
Agil menatap Gharal dengan lebih tajam.
“Gue berharap bisa bertukar tempat ama lo, Gha. Karena gue pikir, cowok yang mendapatkan Kia itu begitu beruntung.”
Gharal berdiri dan menatap Agil tajam.
“Lo terang-terangan ngungkapin ketertarikan lo sama Kia. Lo pingin mendapatkan hati dia? Dia udah jadi istri gue, Gil. Meski gue nggak cinta sama dia, tapi gue juga nggak suka lo melakukan serangkaian pendekatan sama dia. Gue tahu lo pasti ngincer keperawanan dia, kan? Lo mau ngajak dia tidur?”
Agil tertawa kecil, “Kenapa lo nuduh gue sebejat itu? Gue sungkan untuk macam-macam sama Kia. Dia wanita yang begitu menjaga diri. Gue suka dengan keteguhan dia memegang prinsip. Kalau lo terus nyakitin dan nyia-nyiain dia, gue mau kok menerima dia apa adanya. Sorry kalau gue akhirnya jadi frontal kayak gini. Gue cuma pengin lo sadar. Mungkin lo nggak pernah nganggep Kia berarti, tapi di luar sana bisa jadi ada banyak cowok yang berharap ada di posisi lo, termasuk gue. Maaf kalau gue harus jujur. Gue mengagumi Kia.”
Gharal tercenung. Agil seolah menabuh genderang perang terhadapnya. Namun tetap saja, dia menilai Agil menginginkan untuk bisa membawa Kia ke tempat tidur. Gharal paham benar sifat Agil yang cenderung senang berganti pacar dan teman tidur.
“Gue tahu gimana playboynya lo. Lo nggak usah berharap banyak. Sebelum lo berhasil ngrayu dia, gue bakal memiliki Kia seutuhnya.” Kali ini tatapan Gharal jauh lebih serius dibanding sebelumnya.
Agil memang tertarik dan mengagumi Kia. Tapi tentu dia tak akan mengkhianati sahabatnya sendiri. Dia hanya ingin mata hati Gharal terbuka dan memperlakukan Kia dengan baik. Gharal baru akan merasa terancam jika ada sesuatu yang memancing egonya sebagai laki-laki. Tentu dia tak akan diam saja jika ada yang terang-terangan mengatakan ketertarikan pada istrinya. Agil paham benar seperti apa watak Gharal. Karena itulah dia sengaja memancing reaksi Gharal. Agil yakin, jauh di lubuk hati Gharal, ada sedikit ketertarikan pada Kia. Agil berharap Kia bahagia dan tak tersakiti dengan perlakuan Gharal yang begitu kasar dan menyakitkan.
Agil tersenyum, “Tentu lo bisa memiliki dia seutuhnya, Gha. Lo berhak atas dia.”
******
Jam setengah tiga sore, sopir pribadi keluarga Agil datang menjemput. Selia dan Agil berpamitan sembari meminta maaf karena merasa telah menganggu honeymoon Gharal dan Kia.
“Kenapa harus minta maaf? Kalian sama sekali nggak menganggu. Aku senang berbincang dengan kalian. Hati-hati di jalan, ya.” Kia menatap Agil dan Selia bergantian.
“Kamu juga hati-hati. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi aku atau Selia,” ujar Agil seraya melirik Gharal.
“Lo pikir gue mau ngapa-ngapain Kia? Mau bikin dia susah?” Gharal tersinggung dengan ucapan Agil.
Agil menyeringai, “Ya nggak gitu, Gha.”
Agil dan Selia masuk ke dalam mobil. Tatapan Kia masih terus tertuju pada laju mobil yang kian menjauh. Kia hendak masuk ke dalam, tapi Gharal berdiri di belakangnya dengan menatapnya tajam.
“Lo kayaknya kehilangan Agil banget, ya?”
Kia terpaku sejenak. Ia tak mengerti mengapa Gharal sedari pagi selalu membahas Agil.
“Minggir, Gha, aku mau masuk,” ucap Kia datar.
Gharal semakin emosi karena pertanyaannya tak dijawab Kia. Gharal menarik tubuh Kia hingga masuk ke dalam. Gharal menutup pintu itu rapat. Selanjutnya dia mendudukkan Kia di sofa dengan kasar.
“Kenapa lo nggak jawab? Lo suka Agil?”
Kia memegangi lengan kanannya yang baru saja dicengkeram Gharal dengan kuat.
“Kenapa kamu menanyakan hal ini? Aku menyukainya sebagai teman.” Kia menjawab dengan begitu tenang, tanpa terpancing oleh intimidasi Gharal.
“Dengar, ya, Kia, jangan mempermalukan gue. Gue paling nggak suka kalau ada orang lain merebut apa yang gue punya, meski dia adalah sahabat gue.”
Kia tertegun. Dipandangnya Gharal yang masih menatapnya dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. Kia bertanya-tanya tentang arti dari sikap Gharal. Dia cemburu atau hanya terobsesi karena tak mau dikalahkan orang lain? Kia memang merasakan ada yang berbeda dari cara Agil menatapnya. Namun ia sadar benar, dia sudah menikah dan dia tak akan membuka hatinya untuk siapa pun kecuali untuk Gharal.
Sore ini Gharal menghabiskan waktu dengan berenang di kolam renang yang terletak di halaman belakang. Air itu terasa begitu dingin, tapi Gharal tetap saja berenang karena jernihnya kolam seakan memanggilnya untuk menceburkan diri ke dalamnya. Renang adalah salah satu olahraga favorit Gharal.
Kia duduk di bangku yang memanjang di tepi kolam. Ia menyaksikan gerakan Gharal yang begitu lincah berenang dari ujung kanan ke ujung kiri. Dulu Kia juga bisa berenang. Namun sejak kecelakaan itu, Kia tak bisa lagi berenang karena kesulitan menggerakkan kakinya yang cacat.
Gharal menepi ke pinggir kolam lalu duduk di atasnya. Kedua kakinya menyibak air di dalam kolam. Kia mengambilkan satu kotak jus kemasan untuknya.
“Diminum dulu, Gha.”
Gharal menatap Kia yang tersenyum lembut ke arahnya. Dia menerima kotak jus itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Malamnya mereka makan malam dengan dua bungkus nasi goreng yang Gharal beli di sekitat vila. Entah kenapa rasa nasi goreng itu terasa berkali lipat lebih enak. Udara dingin memang bisa meningkatkan selera makan.
Malam ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Kia bahkan mengenakan tiga lapis pakaian untuk menghangatkan tubuhnya. Gharal menggesekkan kedua telapak tangannya lalu meniupnya. Dingin ini begitu melumpuhkan. Mereka yang tengah duduk di ruang tengah sembari menikmati hangatnya cokelat panas, untuk sesaat saling menatap. Gharal menelisik wajah Kia yang entah kenapa terlihat lebih manis dari biasanya. Ditambah Kia tak mengenakan kerudung. Dia baru menyadari rambut istrinya begitu indah dan hitam mengkilau. Ditatap sedemikian intens oleh Gharal membuat Kia gugup dan getaran itu kembali merasuk hatinya. Ada debaran dan desiran yang seakan bersahutan dan saling berkejaran.
“Kia ....”
Kia tercekat. Dia menoleh ke suaminya.
“Ada apa, Gha?”
“Menurut lo definisi honeymoon itu seperti apa?”
Pertanyaan Gharal begitu sulit untuk Kia jawab. Bukan malu karena ia tak mengerti definisinya, tapi menurutnya, bulan madu itu sesuatu yang intim antara pasangan suami istri, bukan sekedar liburan semata.
“Ehm, kamu pasti sudah tahu definisinya kan? kenapa harus bertanya?”
Gharal menatap Kia lekat, “Gue pingin tahu pendapat lo.”
Kia menghela napas sejenak. Ada semburat merah menyapu wajahnya.
“Bulan madu itu semacam liburan pasangan suami istri setelah menikah.” Kia mengakhiri penjelasannya dengan nada bicara yang menggantung, seakan masih ada ucapan lain yang ingin ia katakan.
“Terus?” Gharal berusaha memancing Kia. Entah kenapa malam ini dia menginginkan sesuatu yang lebih intim bersama Kia. Dia ingin membuktikan pada Agil bahwa dia bisa memiliki Kia seutuhnya.
“Ehm, biasanya bulan madu menjadi moment romantis suami istri untuk bisa lebih intim satu sama lain ....” Kia melirik Gharal yang masih menatapnya lekat-lekat. Entah kenapa Kia merasa semakin gugup.
“Moment intim seperti apa?” tanya Gharal lagi.
Kia terdiam.
“Kenapa diem? Lo malu ngejelasin? Atau gue yang mesti ngejelasin?” Tatapan Gharal begitu menghunjam. Dia selalu bisa menahan diri dari godaan Fara atau wanita lainnya. Namun dia tak mengerti kenapa gadis kurus mungil di depannya ini, yang tidak cantik menurutnya, jauh dari kesan seksi, bisa dengan mudahnya membangkitkan gairahnya. Atau karena mereka sudah menikah?
Lagi-lagi Kia membisu. Ia bahkan tak berani menatap Gharal.
“Gue bakal jelasin. Tapi bukan di sini, di kamar,” tandas Gharal dengan seringai penuh arti.
Kia mendongakkan wajahnya. Dia semakin deg-degan dan ia bisa mudah menebak ke arah mana pembicaraan Gharal barusan.
Gharal menarik tangan Kia dan menggandengnya ke dalam kamar. Kia merasa cemas, deg-degan tak karuan tapi jauh di lubuk hati dia pun menginginkan moment romantis bersama Gharal.
Gharal mendorong tubuh Kia hingga terhempas di ranjang. Gharal menindihnya dengan menyisakan celah agar Kia bisa bernapas dengan mudah. Gharal kembali menelisik setiap jengkal wajah Kia. Tak begitu jelek, pikirnya. Memang tidak secantik Fara, tapi Gharal cukup tergoda juga untuk memberi kecupan di bibir tipis Kia.
Cup...
Gemuruh dalam d**a Kia semakin tak beraturan. Tak ada satupun kata yang mampu menjelaskan apa yang dirasakan saat ini. Ini bukan ciuman pertamanya dan Gharal. Gharal pernah menciumnya saat dia pulang dalam keadaan mabuk. Namun, kali ini rasanya sungguh berbeda karena Gharal melakukannya dengan sadar.
Gharal kembali mengulang kecupannya. Kali ini dilanjutkan dengan pagutan yang lebih dalam. Suara kecapan mendominasi, mencairkan kebekuan malam. Tangan Gharal mulai menyusup ke dalam sweater yang dikenakan Kia. Tangan Kia refleks melingkar di leher suaminya. Surprise untuk Gharal, Kia bisa membalas ciumannya.
Ciuman itu terlepas, kedua mata itu saling beradu. Masing-masing berusaha menstabilkan napas. Hembusan napas Gharal terasa begitu lembut menyapu wajah Kia.
“Apa lo pernah ciuman sebelumnya?”
“Aku cuma pernah berciuman sama kamu.” Kia menatap wajah Gharal yang berjarak begitu dekat dengan wajahnya. Debaran itu masih terasa begitu hebat.
“Gue butuh kehangatan ... dan gue pingin kehangatan dari tubuh lo.” Cara menatap Gharal sudah berubah menjadi tatapan m***m.
“Sebelum melakukannya, sebaiknya kita berdoa dulu, Gha,” ucap Kia masih dengan napas yang tersengal-sengal.
“Gue nggak hafal doanya.”
Kia menuntun Gharal untuk melafalkan doa sebelum berhubungan intim.
Selanjutnya Gharal melepas sweater yang dikenakan Kia. Dinginnya udara begitu menusuk. Namun, Kia pasrah saja ketika Gharal melucuti semua pakaiannya. Kia mengenakan tiga lapis pakaian. Untuk membuatnya sediki hangat, Gharal menutup tubuh mereka dengan selimut. Gharal yang sudah tak bisa menahan gairahnya turut membuka semua pakaiannya. Ini pertama kali bagi keduanya tampil polos di hadapan lawan jenis. Tentu saja moment seperti ini sudah bukan lagi dosa karena keduanya sudah menikah. Ada perasaan malu dan tersipu menguasai perasaan Kia, tapi perlahan semua larut menjadi sebuah keagresifan ketika Gharal mencium bibir dan sepanjang lehernya dengan gairah meletup-letup, begitu rakus seakan setiap jengkal tubuh Kia tak lolos dari ciuman dan sentuhannya.
******
Kedua sejoli itu tidur saling memunggungi dengan selimut membungkus tubuh mereka. Kia mengerjap. Ia melirik jarum jam yang tergantung di dinding kamar. Jam empat pagi. Kia membalikkan badannya. Dia menatap punggung suaminya yang penuh dengan tanda merah karena cakarannya. Semalam adalah moment paling menakjubkan dan mendebarkan yang pernah Kia lalui selama menjadi istri seorang Gharal Adhiaksa. Mengingatnya saja sudah menerbitkan rasa gugup dan tersipu. Meski seks pertama terasa begitu aneh dan menyakitkan untuknya, tapi dia begitu bahagia karena semalam dia telah menjadi milik Gharal seutuhnya.
Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibir Kia mengingat betapa liarnya sentuhan Gharal di setiap jengkal tubuhnya. Ia merasa begitu diinginkan. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan, seakan terbang ke langit ke tujuh tatkala Gharal menghujaninya dengan ciuman panasnya. Rasanya begitu berdebar bagai moment paling dramatis yang pernah ia lalui sepanjang hidupnya tatkala melepaskan sesuatu yang sangat berharga yang sudah ia jaga selama ini. Sesuatu yang mengantarkannya menjadi wanita Gharal seutuhnya karena Gharal lah yang telah merenggutnya dengan jalan yang halal.
Gharal mengerjap, mengucek kedua matanya lalu memposisikan tubuhnya menjadi telentang. Dia melirik Kia yang tengah tersenyum memandangnya. Tentu Gharal tak lupa akan moment panas mereka semalam. Benar-benar pengalaman luar biasa untuknya.
“Apa tidurmu nyenyak?” Kia membuka percakapan. Sepertinya Gharal terlalu sungkan untuk memulai obrolan.
Gharal menatap Kia tajam.
“Tolong jangan salah mengartikan apa yang gue lakuin semalam. Gue ngelakuinnya bukan karena gue cinta sama lo. Ini sebatas kewajiban untuk ngasih lo nafkah lahir dan batin. Dan kalau kejadian kayak gini terulang lagi untuk ke depannya, jangan dibuat baper. Nikmati aja, tapi jangan libatin perasaan lo. Karena dari awal gue udah bilang, gue nggak cinta sama lo, Ki.”
Kata-kata Gharal begitu menusuk dan menyakiti perasaan Kia. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu sakral bagi Kia dianggap sebagai sesuatu yang biasa untuk Gharal, tak meninggalkan kesan apa pun. Kia yakin Gharal juga baru pertama kali melakukannya, tapi dia tak mengerti kenapa Gharal tak bergetar sedikitpun dengan moment romantis yang baru saja terbangun semalam.
“Aku melakukannya dengan segenap perasaanku, Gha, dengan cinta.”
Gharal menyeringai, “Laki-laki bisa melakukannya dengan siapa pun tanpa cinta, Ki. Jangan terlalu polos. Semalam gue ngelakuinnya karena nafsu, bukan karena cinta.” Gharal memunguti pakaiannya, lalu mengenakannya. Dia melangkah keluar kamar tanpa menoleh Kia kembali.
Kia tercekat. Ada rasa begitu sakit dan perih. Bukan hanya hatinya saja yang bergerimis, kedua matanya pun sudah membasah. Pertahanan Kia roboh. Air matanya tumpah dan ia terisak dalam benaman luka.
******