"Silahkan dicium kening istrinya," ucap penghulu setelah Dea dan Rama resmi dinyatakan sebagai suami istri dalam mata agama, diiringi derai tepuk tangan para tamu yang hadir.
Dea berusaha memasang ekspresi bahagia meskipun rasanya sangat susah apalagi saat Rama memegang kedua belah pipi Dea, membekapnya sambil mendekatkan wajahnya sendiri. "Hai, istriku sayang." Setelah mengucapkan kalimat itu Rama mengecup lembut dan cukup lama dahi Dea. Dea merasakan mukanya panas dan memerah. Jelas saja bukan karena dia memiliki perasaan pada setan berwajah malaikat itu melainkan cara Rama menciumnya yang sungguh lembut, benar-benar membuat Dea terlena. Dea bersyukur pada posisinya dan Rama yang duduk sehingga posisi mereka yang menghadap ke para saksi menutup bagian tubuh ke bawah mereka. Maka Dea melancarkan aksi tendangan mautnya ke tulang kering Rama agar cowok itu melepaskan ciuman di dahinya.
---
Di lain tempat seorang wanita yang baru saja merasakan hatinya hancur berkeping-keping hanya bisa menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya makin berdarah itu dalam diam. Dia tidak menangis, wanita itu terlalu gengsi untuk menitikan mata. Tidak saat ada lelaki berkulit putih dan berwajah dingin bertitle Tora Abian ada di sampingnya. Tora sudah dikenalnya empat tahun yang lalu saat wanita itu masih menjadi kekasih Rama. Tentu saja, berkali-kali Tora sempat menemaninya berbelanja saat Rama sibuk—sibuk dengan kekasihnya yang lain—tetapi tentu saja mereka masih tidak cukup dekat karena Tora itu seperti freezer berjalan berbentuk manusia yang kebetulan saja berparas cukup tampan.
Sharon—wanita yang sedang patah hati itu berjengit saat sebuah benda dingin menyentuh pipinya. Sebuah gelas berisi soda disodorkan Tora tanpa repot-repot pria itu bersuara. Sharon menghela tangan Tora menjauhkan gelas itu dari wajahnya dan menatap murung kearah pelaminan dimana Dea dan Rama sedang melakukan prosesi suap-suapan. Hatinya semakin sakit dan kalau tubuhnya transparan orang akan muntah melihat hatinya yang kini mungkin saja sudah bernanah.
"Lo tuh ya selalu aja ngerusak rencana gue, Tora!" entah kenapa Sharon butuh sekali pelampiasan dari rasa sakit hatinya. Ia butuh seseorang yang harus disalahkan atas hatinya yang patah dan orang yang paling berpotensi saat ini adalah Tora.
Sharon kini membalik tubuhnya menghadap Tora. Mereka berdua duduk di tempat yang cukup dekat dengan pelaminan namun terlindung dari mata para tamu undangan jadi aman bagi Sharon kini untuk melayangkan pukulan di d**a Tora toh lelaki itu hanya diam saja datar tak bereaksi.
"Seharusnya gue yang diri di sana!"
"Rama bilang dia cinta banget sama gue!"
"Gue selalu jadi tempatnya balik, setelah dia coba sama cewek-cewek lain!"
"Gue selalu nerima dia walaupun dia udah nyelingkuhin gue dengan banyak cewek karena gue yakin pada akhirnya dia selalu ngutamain gue!"
"Dia—dia mutusin gue karena gak mau berkomitmen, tapi sekarang dia malah udah nikah sama cewek antah barantah! Semuanya itu karena lo, Tora!"
Tora tidak mengerti kenapa dirinya menjadi penyebab Sharon dicampakan, tetapi Tora tau jika dia protes saat ini cewek itu justru akan semakin emosi dan bisa-bisa mengamuk karena saat ini emosi cewek itu sedang tidak stabil. Jadi meminimalisir kemungkinan Sharon membuat keributan saat bosnya sedang berpesta diatas pelaminan sana, Tora pasrah tubuhnya menjadi samsak hidup untuk Sharon. Toh pukulan Sharon tidak—PLAK. "Aduh!" sejak tadi hanya diam itulah suara pertama yang dikeluarkan Tora dan berhasil membuat Sharon berhenti dari aksi anarkisnya memekuli Tora. Sebenarnya bukan suara Tora yang akhirnya menghentikan Sharon tetapi tangan Tora yang memegangi tangan Sharon berhasil membuat diam cewek itu.
"To—Tora..."
"Gue rese kalau lagi laper” ucapnya mengikuti nada salah satu iklan di televisi. “cari makan yuk."
Sebelum Sharon sempat menolak, ia sudah ditarik oleh Tora.
---
Setelah paksaan Rama, akhirnya Dea mau tidak mau terjun ke lantai dansa. Saat ini sudah banyak pasangan dari berbagai kalangan usia sudah saling berpelukan dan berputar-putar mengikuti irama musik romantis yang mengalun.
Sebenarnya Dea sangatlah malas untuk berdansa, dia sejak tadi sudah sangat ngiler melihat jajaran makanan yang tersedia dan bersumpah akan mencoba semuanya, tetapi Rama—yang terpaksa harus Dea akui sebagai suaminya sekarang—memaksanya berpelukan ditengah lantai dansa.
Bukan karena lelaki itu ingin berdansa tetapi hanya ingin pamer seberapa indahnya—mahal—gaun hasil desainer kenamaan di Indonesia yang Dea kenakan kepada para tamu secara dekat. Tentu saja ingin menunjukkan berapa banyak uang yang sudah Rama buang hanya untuk gaun yang akan terpakai satu kali itu. Ck dasar sombong.
Ini bukan pertama kalinya Dea berada dalam dekapan lelaki, tetapi saat ini terasa berbeda karena lelaki yang mendekapnya itu bukanlah lelaki yang dia bayangkan akan menyandang status sebagai suaminya. Hanya status, tidak ada perasaan apapun. Dea hanya membiarkan dirinya dipeluk lelaki yang mencintai dan dicintainya, seperti kata Tiara dan Bella. Dea itu cewek baik-baik.
Dekapan Rama semakin mengerat hingga kini tubuh Dea dan Rama sudah seperti roti isi tanpa isi—entahlah, mereka terlalu dempet tanpa jarak sejengkalpun dan itu membuat para undangan memberikan spot cukup luas untuk mereka, tepatnya agar mereka bisa menganggumi sepasang anak adam itu saling mengayun mengikuti irama musik tanpa tau keduanya sedang berbisik 'mesra'.
"Gue kira pinggang lo itu kecil, tetapi ternyata kecil banget-banget. Liat aja lengan gue ini bahkan bisa meluk lima sampai enam pinggang seukuran sama pinggang lo sekaligus."
Mereka berputar kekiri.
Dea ingin sekali menendang tulang kering Rama atau setidaknya menginjak Rama dengan heelsnya yang lancip, tetapi dia tau saat ini dia harus benar-benar menjaga emosinya yang sebenarnya mudah sekali tersulut sejak bertemu Rama. "Plis ya, gue itu langsing."
"Ceking lebih pas buat lo daripada langsing."
Dea menggeram, bagaimana bisa dia berpelukan dengan orang yang terang-terangan menghinanya ini. "Gue ini seksi," bisik Dea dan Rama justru tertawa lalu menghadiahi Dea kecupan dibahunya yang terbuka. Untuk pemandangan orang, itu sangatlah romantis tetapi orang lain tentu tidak tau jika mereka sebenarnya sedang perang kata.
"Gue jadi pengen tau deh kalo seksi aja kayak lo yang ceking kayak apa? Korek kuping?"
"Aduh, penganten baru mesra banget!" seorang wanita tua yang kebetulan berdansa didekat Dea dan Rama sudah tidak bisa lagi menahan kekagumannya akan keromantisan pasangan pengantin ini tidak perduli jikalau dia menginterupsi percakapan 'mesra' mereka.
Dea sudah akan melepas pelukan Rama darinya untuk menanggapi pujian wanita tua itu tetapi Rama justru melekatkan pelukannya. "Oh Oma Desi, maaf karena gelombang cinta kita terlalu kuat sehingga merusak dansa Oma sama Opa Haris." ucap Rama yang berhasil membuat perut Dea mual. Gombal. Ewh.
Oma Desi mengibaskan tangannya. "Gak merusak kok, kami justru senang melihatnya. Dari cara kamu memeluk istri kamu, kamu tuh sungguh terlihat tergila-gila sama dia!"
Rama tertawa mendengar penilaian Oma Desi akan dirinya terhadap Dea, sedangkan Dea hanya tersenyum palsu. Tergila-gila untuk membuat gue tersiksa, iya.
Rama mengusap punggung Dea yang terbuka lalu dia mengecup pelan ubun-ubun Dea. "Aku sangat mencintainya, meskipun dia tidak secantik atau se-seksi gadis lain, aku tetap mencintainya."
Dea ingin sekali berseru dan bertepuk tangan untuk bakat akting Rama yang setara artis hollywood pemenang oscar. Sempurna. Sempurna membuatnya mual. Dea tidak heran kalau lelaki itu bisa digilai banyak cewek, lihat dan dengar saja ucapannya yang sangat manis itu yang nyaris membuat Dea diabetes kalau saja Dea tidak tau itu semua hanya akting.
"Awh such a sweet husband! I wish I were you, Dea!"
I hope your wish will come true, mam. Ingin sekali Dea berkata demikian namun yang ia lakukan hanya tersenyum sambil berucap thanks dengan lembut. Sepertinya bakat akting Rama sudah menular padanya.
Kini seorang wanita berpakaian cukup heboh dan glamor yang gantian menghampiri Dea dan Rama. Dari caranya memandang, wanita itu tidak datang untuk memuji kemesraan Dea dan Rama melainkan gaun yang Dea kenakan. "Aduuh, gaunnya cantik banget." Ucap wanita itu sambil menyentuh sekilas gaun Dea. Rama kini melepaskan pelukannya. "Iyalah, gue harus nyiapin gaun yang setara dengan istri gue. Sama-sama cantik. Meskipun istri gue jauh lebih cantik sih dibanding gaun ini."
"Ah Rama! Dasar cowok gombal b******k! Mbak Dea, lo beruntung dapetin si kaya ini!" ujar si wanita itu lagi. Dea tertawa dibuat-buat. Beruntung? Ini namanya kesialan berlipat ganda, mbak!
"Gue yang beruntung dapetin dia, Clar."
Wanita bernama Clarissa itu memutar malas bola matanya. Sepertinya dia tidak tersentuh dengan kata-kata gombal Rama seolah dia sudah biasa akan kata-kata semacam itu. "Suami lo ini banyak omong banget Dea! Oh ya, kemana kalian bulan madu?"
Dea tertawa, sepertinya Clarissa tidak tertarik dengan Rama. Dea melirik Rama sekali dan tersenyum penuh arti. "Suami gue emang begitu, mbak, eum katanya dia udah nyiapin trip bulan madu ke Maldives."
"Wow! Asyik banget tuh. Kayaknya ada maksud terselubung deh dia bawa lo kesana, dia pasti sejak lama berfantasi ngeliat Dea pake bikini sambil berlarian di pantai."
"Gue bahkan ngebayangin Dea telanjang di atas pasir pantai Maldives yang hangat, Clar."
Dea melotot kaget. Bagaimana bisa Rama bicara sevulgar itu dengan wanita lain di pesta pernikahannya. Sialan.
"Pervert! Emangnya lo rela dia jadi tontonan orang lain?"
nah. Dea setuju. Biarpun itu hanya khayalan mana ada suami yang rela istrinya ditonton orang banyak saat telanjang. Ah Dea lupa kalau mereka ini bukan suami istri sebenarnya.
Rama tertawa meledek, sebelah alisnya naik terkesan meremehkan. "Yaelah, Clar, nanti gue booking satu resort atau kalo perlu satu pulau biar gue bisa berduaan sama Dea." Nah kalau itu sukses membuat Dea menjerit dalam batin. KAMPRET DIA TERNYATA SE-KAYA ITU!!!
Clarissa memutar matanya kesal. "Terserah lo lah!" lalu setelah menyentuh bahu Dea dan berpamitan wanita cantik dan glamor itu berlalu pergi dari hadapan Dea dan Rama ke arah meja minuman.
"Dia siapa, sih?" tanya Dea penasaran karena dari cara Clarissa dan Rama mengobrol mereka terlihat akrab.
"Mantan pacar gue."
Ucapan Rama berhasil membuat Dea menatapnya takjub. Dea lalu mulai berfikir di antara banyaknya tamu, ada berapa mantan Rama yang hadir, mengingat hari ini dia sudah bertemu dari dua orang diantaranya. Yang satu nekat dan tidak terima sedangkan yang satu lagi nampak masa bodo. Dari gosip yang Dea dengar, Rama itu adalah seorang playboy dan Dea jadi penasaran tipe-tipe seperti apalagi yang pernah Rama kencani.
Rama terkekeh melihat Dea yang mulai memerhatikan sekitar, mengira-ngira mana cewek yang pernah dikencani Rama. Dan Rama tertarik membantu istrinya itu. Rama merangkul Dea dan menunjuk ke arah jarum jam angka delapan. Di dekat meja dessert berdiri seorang wanita bertubuh molek dengan gaun seksi berwarna merah darah berpotongan sangat rendah sampai-sampai payudaranya yang sintal seperti akan tumpah keluar. Oh-oh pasti pemandangan kesukaan Rama. Dea membatin.
"Nah, itu juga mantan gue."
Dea memicingkan matanya untuk melihat wanita itu lebih dekat. Wanita itu terlihat sangat cantik tetapi juga sangat dewasa. Mungkin efek dandanan dan pakaiannya membuat cewek itu terlihat seperti wanita tiga puluhan. Atau emang udah tiga puluhan?
"Janda, anak satu." Seperti bisa mengerti pikiran Dea, Rama menjawab tanpa ditanya. Dan jawabannya sukses membuat Dea menganga. "Hah?"
"Yang diri di sampingnya itu, yang pake gaun babydoll sambil megang gelas jus. Itu anaknya."
Dea semakin menganga. Bahkan anak wanita itu sudah remaja! Dengan gayanya yang imut dan manis mungkin cewek itu berusia sekitar tujuh atau delapan belas!
Rama lalu menambahkan. "Dia juga mantan pacar gue." Rasanya Dea ingin menembakkan dirinya dengan bom atom. Bagaimana bisa dia menikahi Rama yang—entahlah. Dea tidak tau kata apa yang tepat untuk mendeskripsikan lelaki yang sialnya kini sudah jadi suami sahnya itu. Bahkan kata playboy terlalu biasa untuk lelaki macam Rama. Bagaimana bisa dia mengencani ibu dan anak?!! Dasar gila!
"Ibu--Ayah selamatin Dea!"