7. Seducing You

1896 Words
--- Bau asin laut yang menyegarkan, suara ombak berdebur beriringan dengan kicauan burung yang berterbangan menghiasi langit biru dilengkapi dengan angin pantai yang menyegarkan membuat Rama tersenyum puas dari atas balkon tempatnya memandang hamparan laut biru itu. Pemandangan yang sudah cukup lama tidak dia temui itu kini menyegarkan pikirannya setelah hari yang melelahkan di Jakarta kemarin. "Dasar b******k! Lo bilang lo itu kaya banget sampe-sampe lo bisa nyewa satu pulau Maldives!" seru Dea dari tempatnya duduk.  Ya, Dea kini sedang duduk sambil bersedekap di atas sofa di dekat balkon. Rambutnya yang panjang kini sudah dipotong pendek, dia juga mengenakan floral fever chiffon dress—summer dress keluaran Forever 21 dan kacamata yang sengaja dia siapkan untuk menghindari teriknya cuaca Maldives. Tapi yang dia dapati sekarang adalah dirinya berada disalah satu villa pinggir pantai pribadi milik Rama di Anyer. Astaga! Bahkan keluarganya juga masih mampu untuk membiayai liburannya jika hanya ke Anyer. "Uang warisan belom turun, lo kira gue mau ngeluarin duit pribadi gue untuk membiayai liburan impian lo itu? Emangnya lo siapa?" Dea melepas kacamatanya dan menatap Rama tidak percaya. "Apa lo bilang? Terus gimana caranya lo membiayai pesta pernikahan mewah kemaren?" Dan lo bilang gue siapa? GUE ISTRI LO SIALAN! "Oh, itu pakai uang gue lah. Tapi bakal langsung diganti saat uang warisan itu udah cair. Gue gak mau keliatan miskin, masa iya seorang Rama Baskoro nikahannya sederhana. Bukan gue banget lah." Dea memejamkan matanya frustasi. Selain b******k Rama juga sangat pelit dan sombong. Pelit dalam artian menggunakan uang pribadinya dan sombong untuk pamer kepada orang banyak betapa kayanya dia tetapi menggunakan harta keluarganya. "Terus gimana sama koper gue? Kenapa gue gak liat koper gue daritadi? Gue mau berenang, nih!" tanya Dea karena sejak dia menginjakkan kaki di coutage milik Rama itu dia sama sekali tidak menemukan koper pinknya. Rama berjalan ke dalam kamar dan menutup pintu balkon di belakangnya. "Oh, udah dibuang. Sebentar lagi orang suruhan gue akan nganterin pakaian-pakaian baru buat lo." "Oh—APA? DIBUANG?" Rama menatap Dea dengan alis terangkat sebelah. "kenapa? Tenang aja sih, gue gantiin kok barang-barang murahan lo sama yang lebih mahal," ucap Rama asal dan hal itu berhasil membuat Dea semakin naik pitam. "MURAHAN? LO PASTI GILA! LOUIS VOUITON, GUESS, GUCCI, CHANEL, CHOCO, VICTORIA SECRET GUE!!!" Dea meremas rambutnya frustasi. "Gue gak pernah ya beli barang kw atau gak bermerk untuk pakaian-pakaian gue meskipun artinya gue harus bekerja sampai larut dan mengirit cuma makan indomie karena harus nabung buat beli semua barang itu. Dan lo ngebuang barang-barang berharga gue?" Rama sebenarnya tau kalau isi koper Dea dipenuhi barang-barang bermerk. Tentu saja dia tau, mengingat latar belakang Dea sebenarnya adalah orang cukup berada dan keluarganya mengalami bangkrut baru lima tahun belakang ini. Terlebih Dea memiliki hobi—kecanduan—belanja dan menghabiskan uang hanya untuk barang-barang berbau fashion. Bahkan meskipun keluarganya sudah bangkrut, Dea masih sesekali menyalurkan hobinya itu. Tentu saja setelah bekerja keras dan menabung serta mengirit. Jadi tidak heran isi koper Dea semuanya pakaian bermerk. Rasanya Dea ingin menangis. Barang-barang itu akan lebih berguna jika harus dijual daripada dibuang begitu saja. Barang-barang itu dibeli Dea dengan uang Ayahnya sebelum beliau bangkrut, sisanya memang sih ada yang Dea beli dengan hasil menabung. Intinya barang-barang itu semua sangat berharga untuk Dea. Mungkin Dea akan lebih rela jika barang-barang itu dijual, tetapi ini, DIBUANG. Meskipun Rama memastikan akan menggantinya dengan barang-barang lebih bermerk tetapi tetap saja dia tidak rela. Dan tanpa Dea sadari matanya menitikkan air mata. Rama memang tidak mendengar Dea terisak. Dia hanya heran kenapa Dea tiba-tiba terdiam setelah menyumpah serapahinya seperti biasa dan tangan gadis itu bergerak-gerak seolah menyeka sesuatu di pipinya. Tentu saja Rama langsung tau Dea menangis meskipun istrinya itu membelakanginya. "Lo nangis?" tanya Rama geli. "Diem, lo!" Balas Dea ketus dan justru membuat Rama semakin ingin menggodanya. Rama mendekati Dea yang kini sedang duduk diatas kasur membelakanginya lalu mencolek kepalanya. "Heh, lo beneran nangis, De?" tanyanya lagi yang sudah jelas membuat Dea semakin kesal. Dan Rama memang sengaja ingin Dea kesal. "Gue bilang diem, sial!" ucap Dea sambil masih menyeka air mata yang terus-terusan mengalir. Dia ingin berhenti menangis tetapi otaknya tidak sejalan dan memerintahkan matanya terus mengalirkan cairan bening yang menunjukkan kelemahannya didepan Rama. Dan Dea benci itu. "Gadis serampangan semacam lo bisa nangis juga, ternyata." "Diam atau gue robek mulut lo itu." Rama justru tertawa mendengarnya dan semakin gencar mencolek kepala Dea dan meledeknya. "Oh jadi benar lo nangis, uuu Dea nangis." Dea tidak tahan dan meledak saat itu juga. Dia menarik Rama hingga terjengkang ke tempat tidur dan menindih lelaki yang secara agama dan hukum sudah menjadi suaminya itu di atas perutnya. Dengan brutal Dea jambak rambut cokelat Rama membuat lelaki yang tidak siap akan serangan itu mengerang kesakitan. "Aduh sakit! Dea, Ya, lepasin tangan lo, De!" Dea tidak berhenti bahkan sampai ada ketukan dipintupun, Dea masih tidak perduli dan tetap menjambak Rama sekuat tenaga. "Dea, lepas!!" "Ma—maaf mas, mbak, kami kesini untuk mengantarkan koper mas dan mbak..." Dea langsung bangkit dari tubuh Rama dan berdiri canggung. Dia tidak sadar kalau empat orang pelayan kini sudah berdiri gugup di dekat pintu yang terbuka. Sedangkan Rama langsung mengusap-usap bekas jambakan Dea tanpa perduli dengan kehadiran para pelayannya yang pasti sudah berfikiran macam-macam. "Taruh aja di sana dan cepat pergi!" keempat pelayan itu membungkuk hormat dan segera pergi setelah meletakkan dua koper besar berwarna hitam dan ungu metalic di dekat pintu dan menutupnya. "Kenapa lo canggung gitu hah?" tanya Rama sambil menatap Dea yang masih kikuk di sisi tempat tidur. "Si—siapa yang canggung?" tanya Dea tidak terima. Namun jelas-jelas kalau dia memang canggung. Rama lalu tersenyum miring. "Pasti pelayan-pelayan itu akan bergosip di bawah dan ngomongin 'istri Mas Rama itu ternyata ganas dan nafsuan ya bahkan di siang hari bolong' hahaha!" Dea melempar guling yang terjangkau tangannya tepat mengenai wajah Rama membuat lelaki itu terdorong sedikit kebelakang. "Dasar otak bokep!" Dea lalu berlalu dan segera menghampiri koper barunya. Dan Rama cukup takjub akan pergantian emosi gadis itu yang sangat cepat. Beberapa menit yang lalu gadis itu menangisi kopernya kemudian mengamuk dan sekarang tampak excited dengan koper barunya. Ckck. Ajaib banget ini cewek. Dea berjongkok untuk mengecek isi koper barunya, namun sebelum itu Rama menahan tangan Dea dan memutar tubuhnya agar mereka saling berhadapan. Rama tampak memegang sebuah kotak dan Dea memperhatikan sambil menunggu. Dalam semenit, sebuah jam tangan cantik dari deLaCour sudah melingkar di pergelangan tangannya. Dea nyaris melongo. Dea pernah melihat jam itu di website. Harganya bahkan lebih dari seharga mobil. Untuk Dea yang bukan dari keluarga tajir melintir seperti keluarga Baskoro tentunya hal ini baru baginya. For the first time in forever, deh! Rama tersenyum miring. “Jadi istrinya Rama Baskoro berarti lo harus kelihatan mahal dari ujung kepala sampai kaki. Nggak boleh bikin gue malu.” Ucapnya sambil melepaskan tangan Dea. Dea mendengus. Namun tak urung dia tersenyum juga sambil melihat jam super mahal dan cantik di pergelangannya tersebut. Namun masih enggan berterima kasih kepada Rama tentunya. Dea lalu beralih ke koper-koper baru yang tadi dibawakan dan seketika menjerit kesal saat melihat hampir setengah isi kopernya diisi lingerie dan bikini. Bahkan lengkap dengan bra tanpa tali dan g-string. "INI PASTI ULAH LO KAN, RAM?" teriak Dea sambil melemparkan salah satu bra bermotif leopard ke wajah Rama. Rama tidak menampik dan justru menangkapnya dan tersenyum nakal. "Nice choice." Dea menghentakkan kakinya kesal. "Kenapa isinya jadi kayak gitu semua?!!" jerit Dea lagi karena Rama tidak menanggapinya serius. Meskipun Dea juga melihat beberapa summer dress bagus di dalam sana tetapi keberadaan pakaian dalam dan renang yang vulgar itu membuatnya emosi. "Kenapa? Tenang aja, pantai ini private, jadi gak akan ada orang luar kecuali staff coutage yang bekerja sama gue yang akan ngeliat lo berbikini. Atau kalau perlu gue akan nyuruh semua staff cowok pulang ke paviliun mereka supaya lo nyaman." Dea memejamkan matanya dan mencoba mengontrol emosinya, setidaknya Rama cukup memperdulikan Dea walaupun sedikit. Tetapi masalahnya bukan itu tentu saja. "Bukan itu, anjir! Eugh, maksud gue kenapa lo masukin barang-barang kayak gitu sih? Lo kan yang bilang sendiri gue ini gak seksi!" "Pfft" Rama menutup mulutnya untuk menahan tawanya yang siap meledak. "Pake bikini gak bakal bikin lo seksi, Dea. Hahaha. Gue beliin itu sengaja karena tau lo bakal kesel kalo gue beliin gituan!" Dea menganga. Sebegitu senangkah Rama membuatnya kesal? Ck! Dea lalu memincingkan matanya dan mengangguk-angguk. "Ok, fine then, gue akan pake semua ini dan membuat lo narik semua kata-kata penuh penghinaan lo itu nanti!" ujar Dea sambilmenyambar sebuah bikini dan membawanya ke dalam kamar mandi. Namun sebelum pintu kamar mandi ditutup Dea dapat mendengar Rama berseru sambil tertawa meledek. "Jangan terlalu berusaha, Ya, meskipun lo bugil depan gue juga gue gak bakal tergoda buat nidurin lo!" dan Dea langsung membanting pintu kamar mandi sekencang-kencangnya. --- Jauh dari tempat Rama dan Dea berada, Tora sedang duduk di kursi tunggu Bandar Udara Internasional Ibrahim Nasir menunggu pengurusan bagasi. Dia di sini karena harus mengurus koper Rama dan Dea yang sudah lebih dulu sampai sedangkan kedua majikannya justru tidak jadi berangkat, sebenarnya ini semua tidak disengaja dan mendadak saat salah satu orang suruhan Tora melaporkan kalau Sharon juga mengambil flight yang sama dengan Rama dan Dea menuju Singapore untuk melanjutkannya ke Maldives, jadilah Rama membatalkan niatnya ke Maldives dan membawa Dea ke Anyer. Jadi, sebenarnya Rama sudah membohongi Dea soal alasannya mengajaknya ke Anyer dan kopernya yang dibuang. Tentu saja alasan semua kebohongannya itu karena, Rama kan hanya ingin membuat Dea kesal. Dan Rama sengaja membiarkan Sharon benar-benar mengejarnya ke Maldives. Tetapi sepertinya Tora justru tidak terlalu tega membiarkan Sharon sendirian benar-benar mengejar sampai Maldives untuk hanya mendapati kekecewaan. Maka Tora dengan senang hati menggantikan ‘bulan madu’ Rama dan Dea di sana. Tentunya Tora tidak ingin melepaskan kesempatan liburan mewah sambil beristirahat dari kepenatannya bekerja sebagai asisten seorang Rama Baskoro. Sharon tercengang saat menemukan Tora sudah bertengger di pintu kedatangan sambil merangkul seorang gadis bule dengan pakaian santainya dan kacamata hitam bertengger di hidungnya—gaya yang sama sekali tidak pernah dipakai Tora selama Sharon mengenalnya. Tora selalu berpakaian formal saat bekerja untuk Rama bahkan di hari Minggu lelaki itu berkeliaran di rumah dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana bahannya lengkap dengan sepatu kulit hitam dan ikat pinggang. Dan Sharon tidak menyangka Tora bisa berada didepannya kini dengan kaos polo dan celana jeans. Bukan gayanya Tora banget. "Kenapa lo ada di sini?" tanya Sharon sambil melepas pasminah yang sejak tadi dia kenakan untuk menutupi kepalanya. Matanya terlihat sembab, mungkin karena gadis itu baru bangun tidur. “Bulan madu, lah!” Sharon berdecih sambil melirik wanita bule berpakaian terbuka di samping Tora. Sharon tau gadis itu bukanlah istri Tora. Tora itu jomblo! "Lo pasti tau rencana gue!" "Gue tau, makanya gue yang sekarang ada di sini." Ucap Tora menyeringai. “Gue nggak tega ngebiarin lo sendirian di sini, makanya dengan berbaik hati menemani lo. Berhubung paket honeymoon tuan Rama dan istrinya nggak kepakai, mendingan lo join sama gue. Kita ‘bulan madu’.” Mata Sharon membulat. "Apa?!" Sharon langsung menyadari jika ada yang tidak beres. Dia langsung menatap pintu kedatangan dan seharusnya Rama dan Dea keluar dari pintu yang sama dengannya. Sharon menatap Tora dengan tajam. "Tora, kemana Rama sama cewek perebut pacar orang itu sebenarnya pergi?" Tora yang semula tersenyum jahil tiba-tiba berubah menjadi ekspresi datar dan perlahan dia melangkah lebih dekat ke arah Sharon lalu melepas kacamatanya dan membalas tatapan Sharon sama tajamnya. "Sharon, you should give up."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD