9. Drowning, CPR and Kiss

1387 Words
Rama menggeliatkan tubuhnya untuk merilekskan otot-otot tubuhnya yang kaku setelah tidur cukup panjang. Matahari bersinar cerah dan bau air laut yang asin menghampiri penciumannya saat dia keluar dari pintu balkon menuju kolam renang. Rama memincingkan mata saat cahaya matahari yang cukup terik menyerbu penglihatannya dan saat matanya menemukan objek yang sejak tadi dia cari, otomatis bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Dea sedang berenang dengan lincah dari ujung kolam yang satu ke ujung yang lain dalam waktu cukup cepat, fokusnya terhadap kolam membuatnya tidak sadar dia sedang dijadikan objek tontonan oleh suaminya sendiri. Senyuman Rama semakin lebar saat mendapati Dea mengenakan salah satu bikini yang dia belikan. Padahal semalam Dea yang bersumpah tidak akan mengenakan pakaian menggoda iman itu setelah insiden di kamar mandi. Rama jadi terkekeh sendiri sampai tidak sadar dia berdiri terlalu dekat dengan kolam. Entah karena sedang sial atau bagaimana Rama terpeleset dan jatuh ke dalam kolam, tepat di bagian paling terdalam kolam yang tingginya hampir lima meter. Untuk berteriakpun Rama tidak sempat karena dirinya langsung tenggelam ke bagian dasar. Dea yang terkejut mendengar suara ceburan yang keras lantas berhenti dari aktifitas renangnya. "RAMA!" Prosesnya sangat cepat. Dea tidak kesulitan saat membantu Rama ke sisi yang lebih rendah, namun membawa Rama ke atas kolamlah yang sulit. Berat tubuh Rama ditambah bajunya yang basah membuat bobotnya bertambah dua kali lipat. "Astagahhh—gue gak nyangka lo seberat iniiih," ucap Dea sambil berusaha mengangkat Rama. Mungkin karena Dea panik dia tidak ingat kalau di rumah Rama ini ada banyak pelayan yang dipekerjakan, dan meminta bantuan mereka tentu akan jauh lebih efisien. "Hahh hahh" setelah berhasil mengangkat Rama—dan menyebabkan baju yang dipakai Rama robek karena ditarik—Dea mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Gila, Dea tidak menyangka mengangkat Rama bisa setara dengan lari mengelilingi jogging track kompleks lima putaran. "Apasih yang lo makan selama ini? Gue rasa lo keberatan dosa deh!" Dea lalu menendang kaki Rama karena cowok itu tidak kunjung bereaksi, bahkan matanya masih tertutup rapat. Sekali lagi Dea menendang kaki Rama karena dia fikir cowok itu sedang bercanda. "Jangan bercanda, bego! Cepetan bangun!" seru Dea kini sambil mengguncang tubuh Rama dengan sebelah tangannya. Namun sejauh ini Rama masih tidak bereaksi dan hal itu membuat Dea mulai panik. "Heh—" Dea menampar pipi Rama cukup keras namun cowok itu tidak menunjukkan reaksi apapun dan kini berhasil membuat Dea sepenuhnya panik. "Ram—Rama!!! Jangan bercanda, bego!!!" kini Dea mengguncang tubuh Rama tanpa ampun, dia benar-benar panik karena Rama tidak sadarkan diri. "Astagfirullah, lo kan cuma tenggelem beberapa detik doang masa pingsan sih!!! RAMA!!!" teriak Dea sambil tangannya menekan-nekan d**a Rama. Dea menyesal karena saat sekolah menengah atas dulu dia selalu menyepelekan pelajaran tentang pertolongan pertama. Saat menekan-nekan d**a Rama, Dea sendiri tidak yakin apakah yang dia tekan sudah tepat atau belum karena dia memang tidak tau cara yang benar. Satu-satunya cara pertolongan pertama yang dia ketahui dan caranya paling mudah adalah— "Bodo amat!" Dea memencet hidung Rama dengan tangan kanan dan membekap pipi Rama dengan sebelah tangannya yang lain. Sudah bisa ditebak, hal yang akan Dea lakukan selanjutnya adalah mendekatkan bibirnya pada bibir Rama yang terbuka. Tanpa berfikir panjang, Dea menyatukan bibirnya dan meniupkan udara kedalam mulut Rama berharap cowok itu akan tertolong oleh cpr yang dia lakukan. Namun hasilnya tetap nihil, sehingga Dea terus mengulang metode itu sampai berkali-kali. Saat Dea ingin mengulangi lagi adegan cpr itu tiba-tiba Rama terbatuk dan menyemburkan air ke wajah Dea lalu dilanjutkan dengan terbatuk lagi. Dea seharusnya marah saat wajahnya tersembur air kolam yang tertelan oleh Rama, seharusnya Dea mengamuk kepada Rama yang telah membuat dirinya panik hingga rasanya ingin mati, seharusnya Dea memukul Rama saat cowok itu sadar namun hal yang Dea lakukan justru terduduk lemas dengan mata yang menitikkan air mata. "Syukur—hiks—ka—lo—lo—sadar—hiks" Rama berusaha mendudukan tubuhnya. Kepalanya pusing karena sudah menelan air kolam cukup banyak, matanya juga perih namun Rama langsung melupakannya saat melihat Dea terduduk lemas di sampingnya dengan air mata menitik. Rama terdiam melihat Dea yang semakin menangis. Entah kenapa melihat Dea yang menangis karenanya membuat sesuatu di dadanya seperti diketuk. Tidak mengganggu, justru malah meninggalkan kesan—hangat? Dea masih terisak dan bukannya berhenti dia justru semakin terisak. Dea juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia menangis. Air matanya meluncur sendiri tanpa dikomando seiring dengan perasaan lega yang menghinggapinya saat melihat Rama kembali bernafas. "Gue kira lo mati..." lirih Dea sambil tetap terisak dan Rama hanya diam mendengarkan. "Gue lupa kalau orang b******k susah matinya," ucap Dea yang kini sudah bisa mengatur isakannya. "Gue bersyukur lo itu orang b******k," ucap Dea lagi. Tanpa Dea sadari ucapannya menerbitkan sebuah senyuman di bibir Rama. Senyuman yang bahkan tidak disadari oleh pemilik bibir itu sendiri. Tangan Rama sudah terulur untuk mengusap puncak kepala Dea, namun entah kenapa dia malah melayangkan sebuah sentilan di jidat cantik Dea. Membuat si pemilik jidat berteriak sambil memeganginya. "NGAPAIN SIH LO, NYET?!" jerit Dea lengkap dengan matanya yang melotot. "Thanks." Apa? Apa barusan Rama baru aja berterima kasih sama gue? Gak salah? Cowok sombong yang mengesalkannya 1000 kali lipat ini bisa berterima kasih? "Apa?" tanya Dea, memastikan dia tidak salah dengar. "Gue laper, hahh!" Dea sweetdrop. Ditatapnya cowok yang kini berdiri sambil menggerak-gerakan tangannya seperti sedang melakukan stretching. Dea berdecih. Bisa-bisanya Rama bersikap seolah tadi tidak terjadi apa-apa. "Dih, apa dia lupa beberapa menit yang lalu dia udah kayak badak tenggelem? Menggelepar di dalem air!" Dea lalu menyambar baju handuknya yang tersampir di kursi santai dekat kolam dan memakainya sambil mengikuti langkah Rama ke dalam. "Heh kurus, lo bisa masak kan?" Dan pertanyaan Rama sukses membuat langkah Dea terhenti. "Hah?" *** Di sinilah mereka berada. Di ruang makan yang mejanya sudah dipenuhi makanan yang sangat menggugah selera dan terlalu berlebihan untuk sebuah sarapan. Tentu saja semua ini bukan hasil masakan Dea. Bagaimana Dea bisa memasak disaat Rama tidak berhenti mengganggunya. Memeluk. Mencubit. Menggelitik. Mencolek. Dan yang paling parah melayangkan sebuah kiss mark di bahu Dea. Tentu saja semua hal itu dilakukan Rama dengan tidak mudah. Rama juga harus terkena. Tendangan. Pukulan. Timpukan. Bahkan cakaran Dea. Jangan lupa kalau pasangan ini sama ganasnya. Yang cowok ganas dalam hal m***m, yang wanitanya ganas dalam hal kekerasan. Entah bagaimana takdir bisa mempersatukan kedua manusia bertolak belakang ini. "Makan buru, gue tau lo gak pernah makan-makanan semacam ini semenjak jatuh miskin," ucap Rama sambil memotong wafflenya. Dea yang sedang memotong sosis langsung menatap Rama tajam. "Terima kasih ya atas pujiannya, lo baik banget." Rama terkekeh mendengar nada bicara Dea yang dipenuhi sarkasme. Ekspresi Dea juga berubah namun tidak terlalu lama karena cewek itu dengan cepat merubah kembali ekspresinya saat menikmati makanan yang masuk ke mulutnya. Dea sangat ekspresif dan Rama senang melihat perubahan ekspresi Dea yang beragam. Seperti kenikmatan pribadi untuknya. Eh? Dea melirik Rama yang sedang menikmati sarapannya. Sejak insiden di kolam renang tadi, dia sangat gatal ingin bertanya pada Rama kenapa cowok itu tidak bisa berenang. Mungkinkah Rama pernah mengalami suatu kejadian yang membuatnya trauma dengan kolam renang atau yah apapun itu, Dea sangat penasaran. Tetapi entah kenapa Dea ragu untuk bertanya. "Kenapa lo lirik-lirik dari tadi? Suka? Baru sadar kalau gue ini ganteng?" tanya Rama geli. Dea mendengus. Dalam hati ada sedikit penyesalan kenapa dia menolong cowok ini dan bukan membiarkannya mati tenggelam. Toh dia tidak rugi apapun kalau cowok ini mati. Iya juga ya? Kenapa gue gak biarin aja dia mati tenggelam? "Lo pasti lagi ngata-ngatain gue di dalem pikiran lo itu," tebak Rama sambil tersenyum. "Pede banget, lo! Buat apa juga gue masukkin lo dalem pikiran gue, walaupun Cuma untuk sekedar ngata-ngatain, gak sudi gue, cuih." Sadis. Tetapi bukannya Rama sakit hati dia justru terkekeh geli. "Cepet abisin makanan lo, abis ini kita olahraga!" mendengar ucapan Rama membuat Dea mengernyit seketika. Olahraga? Mendengar itu yang ada dalam pikiran Dea adalah olahraga air, tentu saja karena mereka sedang berada di dekat pantai. Dan Dea juga memang sempat melihat beberapa alat olahraga air berderet di pinggir pantai pribadi Rama. Dari jetski sampai donut dan banana boat. Sontak Dea menyengir lebar. "Serius?" tanyanya masih dengan cengiran menempel di bibirnya. Rama tersenyum miring. "Iya." "Di pantai?" tanya Dea sambil melap mulutnya dengan serbet. Rama terkekeh. "Bisa saja, kalau lo mau." Dea mengernyit. "Maksud lo? Emang yang lo maksud olahraga apaan?" "Senam ranjang." Dan sebuah sendok sukses melayang ke arah kepala Rama. Berdoa saja, kepala itu berhasil menghindar dari ciuman ganas sang sendok yang Dea lempar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD