Mungkin benar kalau Rama terlahir hanya untuk membuat hidup Dea menderita. Eum, terkesan kejam, mari kita perhalus jadi, terganggu. Ya. Rama selalu berhasil membuat Dea kesal dan hal itu membuat Dea rasanya kekurangan usianya setiap Rama membuatnya kesal.
Dea yakin, lebih lama lagi dia hidup bersama Rama, dia akan menjadi nenek-nenek di usia tiga puluh lima.
Dea sekarang sedang duduk bersisian dengan Rama diatas pasir putih pantai pribadi Rama. Niatnya mereka ingin memainkan permainan olahraga air tetapi sayangnya ombak sedang pasang dan akhirnya mereka hanya duduk di pinggir pantai menonton gelombang ombak yang memang sedang besar itu.
Aneh rasanya saat mereka berdua dalam jarak kurang dari satu meter tanpa beradu mulut. Dea sedang sibuk dengan ipodnya sedangkan Rama sibuk dengan rokoknya.
"Mau berapa batang lagi yang lo isep?" tanya Dea sambil melepas headset dari telinganya dan menggulung kabel putih itu lalu meletakkan benda tersebut di sampingnya.
Rama meliriknya sekilas sambil menghisap rokoknya dan menghembuskan asap beracunnya perlahan. "Asapnya kan gak ngarah ke elo, jadi santai aja, sih."
Dea memutar matanya. "Dasar bego, tetap aja lah. Lagian lo kan bisa ngisep benda lain selain rokok, lo ngerusak paru-paru lo sendiri." nasehat Dea membuahkan sebuah tawa dari Rama.
"Ide bagus. Bagaimana kalau gue ganti dari ngisep rokok jadi menghisap kulit lo?" sebuah pukulan mendarat di punggung telanjang Rama. Cowok itu hanya tertawa meskipun pukulan itu cukup perih juga. Dan dia yakin tangan Dea terceplak di kulit punggungnya.
"Emangnya lo benci rokok?" tanya Rama.
Dea mendengus, tatapannya terarah ke laut luas tidak berujung didepannya.
"Iyalah. Rokok dan perokok, gue benci keduanya. Dua-duanya tuh sama-sama sampah." Jawab Dea pasti. Dan entah kenapa sesuatu seperti menonjok Rama tepat di ulu hati. Diliriknya rokok yang terselip dijari tangannya itu yang masih panjang karena dia baru saja menyulutnya beberapa menit yang lalu.
"Hm," dengan pasti Rama menekan ujung rokoknya diatas pasir sampai rokok itu padam lalu dia menaruhnya diatas tiga bekas batang rokok yang lain.
Dea menangkap semua tingkah laku Rama itu dengan dahi mengernyit.
"Lo sengaja matiin?" tanya Dea bingung. Dalam hati kecil Dea entah kenapa dia berharap Rama sengaja mematikan itu karena ucapan Dea barusan.
"Iya, mulut gue pegel." Jawaban datar Rama membuat harapan Dea terhempas begitu saja. Tetapi setidaknya Rama berhenti menghisap rokoknya untuk sementara.
Tiba-tiba Rama menarik lengan Dea dan tanpa bisa Dea mengelak pergelangan tangan Dea sudah dihisap oleh Rama membuat cewek itu menjerit. "Ihhh, anjrit! Lo ngapain sih, lepas!" teriak Dea namun Rama mengacuhkannya dan justru melayangkan kecupan pada tangan Dea membuat Dea tercenung.
"Lo yang bilang gue bisa hisap benda lain selain rokok, jadi gue hisap kulit lo."
Entah kenapa Rama jadi terlihat seperti bocah berusia lima tahun di mata Dea kini. Dan pergerakkan Dea yang sedari tadi meminta tangannya dilepaskan perlahan berhenti, entah kenapa dia membiarkan Rama menghisapi kulit tangannya.
Ada apa dengan gue?
***
Dea dan Rama memutuskan kembali ke coutage saat matahari semakin terik dan mereka tidak mau kulit mereka terbakar.
Saat mereka kembali ke coutage mereka menemukan tumpukan koper di lantai atas. Baik Dea maupun Rama mengernyit begitu melihatnya. Seorang pelayan yang baru saja mengambil pakaian kotor dari kamar Rama dan Dea berhenti saat Rama mencegatnya.
"Itu koper siapa?" tanyanya pada pelayan itu namun sebelum sang pelayan sempat membuka mulut sebuah suara berat menginterupsi dari belakang.
"Punya kita."
Rama dan Dea refleks memutar untuk melihat ke sumber suara. Berdiri seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita paruh baya dengan pakaian bunga-bunga khas pantai lengkap dengan kacamata pantai dan topi pantai.
Penampilan mereka sangat nyentrik membuat Dea melongo. Lain halnya dengan Rama, wajahnya terkejut bukan main.
Laki-laki paruh baya itu maju beberapa langkah menghampiri Rama dan Dea yang masih terpaku di tempat dan tiba-tiba...
PLAK
Sebuah pukulan mendarat di kepala Rama membuat cowok itu meringis sambil memegangi kepalanya.
"PAPI!"
Hah Papi?
"DASAR ANAK NAKAL!"
Hah Anak?
"BISA-BISANYA KAMU NIKAH TANPA NGUNDANG ORANG TUA KAMU? DASAR KAMU k*****t KECIL!" serunya sambil memukuli lengan Rama membuat Rama memeluk tubuhnya untuk melindungi diri.
Wanita paruh baya yang kini berhadap-hadapan dengan Dea ikut melangkan mendekat membuat Dea yang masih bingung semakin mengernyit.
Wajah wanita itu cukup angkuh dan Dea bersiap jika akan menerima dampratan dari wanita tersebut namun yang dia dapat justru sebuah pelukan erat.
"YA TUHAN!!! KENAPA BISA AKU PUNYA MENANTU SECANTIK INI? SAYANG SEKALI BOCAH ITU TIDAK MENGUNDANG KAMI! BENAR-BENAR KURANG AJAR ANAK ITU!" Dea mengernyit—kenapasih orang-orang tua ini harus berteriak?
Dan apa katanya? Menantu? Bukannya orang tua Rama udah meninggal?
Ana—wanita paruh baya—melepaskan kacamata hitamnya, memperlihatkan mata sipitnya yang ternyata sangat ramah dan teduh. Tidak seperti yang Dea sangka. Dea melirik kearah Rama yang masih disiksa oleh lelaki tua yang tidak dia kenal. Lalu matanya kembali terarah pada wanita didepannya, yang baru saja melepaskan pelukannya.
"MAMI!!! TOLONG RAMA, MI!" teriak Rama memelas, memohon bantuan dari Maminya yang tampak tidak peduli sama sekali dan lebih tertarik untuk memandangi Dea dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Aku gak ngira Rama akan menikah dengan gadis—ah apakah aku masih bisa menyebut kamu gadis? Hahaha. Selama ini Rama tuh gak pernah macarin gadis seperti kamu, padahal kamu adalah tipe menantu idaman aku. Dan ternyata dia malah menikahinya. Tapi parahnya, dia gak mengundang aku, dasar!"
Dea mengerjapkan matanya berkali-kali. Merasa gugup,bingung,tersanjung dalam satu waktu sehingga membuat kepalanya pening.
"A—anda Mami kandung Rama?" tanya Dea ragu. Ana menyunggingkan senyuman teramat lebar.
"Iya, dan aku juga akan jadi Mami kamu mulai sekarang!" ucapnya girang.
Dea mengernyit sambil menatap Rama yang sedang berjongkok menerima siksaan Papinya.
"Tapi Rama bilang orang tuanya sudah tidak ada—"
Ucapan Dea membuat Rahardi, Papi Rama menghentikan kdrtnya pada Rama dan menatap Dea. "apa?" tanyanya memastikan.
Dea mengedipkan matanya, grogi. "Rama bilang orang tuanya udah—"
"ANAK KURANG AJAR! KAMU DOAIN KITA MATI YA? DASAR b******n KECIL, KAMU!" Dan Rahardi kembali melanjutkan hukumannya pada putra satu-satunya mereka itu. Membuat Dea dalam hati berdoa semoga Rama kesakitan. KKk. Namanya juga benci.
"AMPUN PIH, ENGGAK KOK RAMA GAK BILANG KALIAN UDAH MENINGGAL!" teriak Rama mencoba membela diri.
Dea lalu menatap Rama tajam.
"Maksud lo gue yang bilang, gitu? Enak aja!" bela Dea.
Setelah merasa agak lelah akhirnya Rahardi menghentikan aksi anarkisnya terhadap putranya itu dan berjalan ke sofa terdekat untuk merehatkan tubuhnya. Disusul Ana yang juga menarik Dea. Rama adalah orang terakhir yang duduk di sofa yang saling berhadapan tersebut, masih sambil meringis memegangi bekas kekejaman Papinya.
"Coba jelasin!" ucap sang Papi membuat Rama mendengus.
Dia benar-benar dipermalukan di depan Dea.
"Rama gak bilang kalian udah meninggal, Rama cuma bilang 'Ya, gue ingin mereka bisa melihat gue menikah dan membina keluarga dari tempat mereka berada saat ini...' waktu ngelamar dia."
Dea mendelik. "Jadi lo bohong?" tanyanya galak.
"Lo nya aja lah yang bego. Gue bilang kan dari tempat mereka berada saat ini, maksud gue ya tempat mereka kemarin berada secara harfiah. Lo aja yang terlalu bego dan ngartiin omongan gue jadi meninggal!"
Dea menggertakan giginya, geram. Bagaimana dia tidak berfikir seperti itu saat Rama mengucapkannya dengan wajah dan nada sedih. Lagipula kenapa tidak bilang saja mereka sedang di luar negeri!
Rahardi menendang kaki Rama membuat cowok itu mengaduh. "PAPI!"
"Siapa yang ngajarin kamu jadi pembohong kecil, hah?"
"Siapa lagi kalau bukan Papi!" jawab Rama asal membuat Rahardi kembali menendang kaki anaknya itu.
"Astagfirullah, kenapa keluarga gue bar-bar begini, sih!" keluh Rama sambil mengusap kakinya yang ngilu.
"Kan kalian sendiri yang pergi dari rumah dan menghapus nama Baskoro dari hidup kalian," Ucap Rama masih sambil mengusap kakinya.
Dea menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Rama. Hening melanda sejenak sampai akhirnya Rahardi menghela nafas.
"Tetap aja, kami ingin menyaksikan pernikahan putera kami satu-satunya yang hanya akan terjadi sekali seumur hidup."
Nah, kalau itu keluarnya dari mulut Ana. Wanita paruh baya itu kini memandang puteranya dengan tatapan sendu. Rama langsung merasa bersalah dan berjalan ke arah Maminya lalu memeluknya.
"Balik Mi, saat wanita tua bangka itu sudah meninggal!" dan sebuah getokan kembali mendarat di atas kepala Rama. Tentu saja berasal dari Ana, Mami kandungnya.
"Biar bagaimanapun itu nenek kamu, Rama! Gak boleh ngomong gitu."
Nenek?Oh Tuhan, apalagi ini? Batin Dea.
"Seharusnya Mami menyebutnya dengan dia bukan itu."
Ana memutar bola matanya dan mendorong Rama dari dekapannya.
Rahardi yang sejak tadi diam akhirnya berdehem. "Apa dia sudah tau soal pernikahan kamu?" tanya Rahardi serius.
Rama kembali duduk di sisi Dea. "Dia gak dateng, sih, tapi Rama yakin dia udah tau. Papi tau sendiri, hidup kita akan terus diawasi saat kita menyandang nama keluarga Baskoro."
Ucapan Rama membuat Dea semakin pusing. Apasih maksud pembicaraan keluarga ini?
"Sepertinya Dea gak ngerti apa-apa," ucap Ana yang menyadari ekspresi Dea yang kebingungan. Rama meliriknya sejenak dan berujar. "Belum waktunya."
Dan ucapan Rama berhasil membuat Dea semakin mengernyitkan dahinya semakin dalam. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan?
Dan baru kali ini, Dea benar-benar penasaran dengan seorang Rama.