Dea menatap kaku sosok Ana—mami mertuanya—yang sedang smamik menyiapkan bahan-bahan untuk memasak makan malam. Rama sendiri sudah bilang pada maminya itu untuk tidak perlu repot-repot karena di coutage itu sudah terdapat banyak pelayan dan juru masak. Dan hanya dijawab dengan sebuah delikkan mata oleh sang mami, Rama bungkam. Mungkin pria itu masih takut mengalami lagi kekerasan yang belum lama ini dia dapatkan dari papinya. Oh, malangnya nasibmu Rama.
"Dea, gimana kalau kamu bantu mami motong jamur-jamur ini?" tanya Ana sambil memamerkan eye smilenya dan tentu saja siapa Dea yang bisa menolak?
Dengan sebuah anggukan mantap dan satu senyuman Dea langsung menghampiri Ana dan meraih pisau dari laci penyimpanan.
"Jadi,gimana malam pertama kalian?" tanya Ana dengan nada jahil.
Dea mengernyitkan dahi, tetapi tatapannya masih fokus pada jamur yang tengah dia potong kecil-kecil. "Maaf?"
Ana terkekeh, sikunya menyiku ringan pinggang ramping Dea. "Jangan berpura-pura bodoh, sayang!" ucapnya sambil terkekeh geli.
Sumpah, Dea tidak berpura-pura bodoh, tetapi dia memang tidak mengerti maksud mami mertuanya ini.
Ah, ya. Rama dan Dea sama sekali belum memberitau perihal surat warisan kakek Baskoro kepada kedua orang tua Rama. Dan niatnya, Rama dan Dea akan menceritakannya saat makan malam nanti.
"Mami, istri Rama ini gak pura-pura bodoh!" sambar Rama yang entah muncul darimana kini sudah berdiri sangat dekat dibelakang tubuh Dea, mengapit Dea diantara tubuhnya dan kitchen set. Disaat seperti ini seperti neraka bagi Dea dan surga bagi Rama.
Sial.Sial.Sial.
Dea semakin memaki dalam hati saat tangan Rama sudah memeluk pinggangnya dengan erat dari belakang dan melayangkan sebuah kecupan seringan bulu di tengkuknya, membuat Dea merinding. Kemudian Rama berbisik di telinga Dea, "tapi emang bego beneran."
"Cih, mau pamer hah?" tanya sang Mami dengan nada sinis. Tangannya sedang sibuk mengaduk-aduk masakannya di panci. Dea berharap sendok sayur di tangan sang mami melayang ke kepala Rama, agar tangan lancang pria itu terlepas dari pinggangnya. Karena di depan Ana, Dea tidak mungkin menolak perlakuan Rama tersebut.
Dea bisa mendengar kekehan Rama ditengkuknya. Sial, sekarang Rama bahkan menempelkan ujung hidungnya di tengkuk Dea, hanya untuk membuat wanita itu kesal tentu saja, memangnya apa lagi.
"Rama, bisa kamu lepas dulu gak pelukanmu, sayang? Aku lagi bantuin mami." ada nada mengancam tersirat dalam nada bicara Dea dan hanya Rama yang tau itu, yang justru membuat pria itu semakin merasa menang.
"Denger tuh Rama, jangan gangguin Dea dulu!" nasehat sang mami yang terkesan mengusir—dan memang mengusir karena Rama memperlambat pekerjaan Dea.
Rama menggeleng manja dan semakin melesakkan hidungnya di titik pertemuan antara bahu dan leher Dea. Sialan lo b******k. "Sa—"
Cup.
"yang..."
Rama nyengir melihat wajah shock Dea. Bibir yang beberapa detik lalu berhasil dia kecup itu kini tengah menganga. Lalu Rama mengedipkan sebelah matanya sambil melepas pelukannya dari pinggang Dea. "Oke, aku pergi. Bye sayang! Jangan sampai setetespun minyak melukai tubuh cantikmu itu, ok?"
DEMI BUMI DAN LANGIT GUE BAKAL CELUPIN LO KE DALAM MINYAK PANAS, RAMA!
"Ckck. Ada Mami aja kalian se-mesra itu. Mami gak bisa bayangin gimana kalian saat gak ada mami." Ana terdiam sejenak sambil meletakkan sendok sayurnya di sisi kompor dan kini menghadap Dea dengan sebelah alis terangkat. "Kamu gak hamil di luar nikah kan, Dea?"
BOOM. Dan lagi-lagi tuduhan yang sama.
Dea tersenyum, tipis. "Enggak, mi."
Ana tiba-tiba mengerucutkan bibirnya. "hahh Mami kira Mami akan punya cucu dalam waktu dekat!" lalu wanita paruh baya itu langsung memasang kembali senyuman lebarnya. "hehehe, gak apa-apa. Kalian kan masih muda, masih banyak waktu!" ucapnya lalu kembali berkutat dengan masakannya.
Sayangnya, kami hanya akan menikah dalam waktu satu tahun.
"Iya, Mi."
***
Makan malam berjalan sangat kekeluargaan dan hangat. Tidak sekaku yang Dea bayangkan karena orang tua Rama benar-benar cerewet, membuat Dea kini percaya istilah, daun tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Tiba-tiba Dea merasakan colekan di pahanya, berasal dari Rama.Membuat wanita itu menatapnya. Rama seolah berkata "sekarang" tapi tanpa suara. Dea mengedikkan bahunya, pertanda tidak mau memulainya duluan.
"Ekhem," Rama berdehem mencoba mendapat perhatian mami dan papinya yang sedang mengobrol tentang entah apa itu, tetapi hasilnya nihil, keduanya cuek-cuek saja.
"Ekh—"
"Kalau mau bicara, langsung aja, gak usah pakai taktik kuno begitu." Ucapan datar sang papi membuat Rama memberengutkan bibirnya. Sedangkan Dea sibuk menahan tawa melihat Rama dipermalukan papinya.
"Jadi, kami mau jujur, Mi, Pi."
Ana kini seratus persen mengalihkan perhatiannya pada putra satu-satunya itu begitupun Rahardi.
Sadar sudah menjadi pusat perhatian, Rama mendadak merasa gugup. Dia menelan ludahnya berusaha membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Sekali lagi dia melirik Dea lalu setelah merasa mendapat sedikit keberanian, Rama membuka mulut.
"Sebenarnya, Rama menikah dengan Dea karena surat warisan kakek."
Hening.
Sedetik, dua detik, tiga detik.
Tidak ada yang bersuara selain jam klasik besar yang berdiri angkuh tidak jauh dari meja makan memepet dinding. Baik Ana dan Rahardi hanya diam sambil mengedipkan kedua matanya seolah mencerna baik-baik ucapan anaknya.
"Intinya, Rama dan Dea memang menikah, tapi kalian kan tau gimana Rama. Rama gak suka terikat, pernikahan ini hanya sebatas status. Dea pun setuju, maka Rama akan memberinya seperempat dari harta warisan kakek."
Rahardi dan Ana lalu saling berpandangan. Cerita Rama sedikit mengingatkan mereka tentang kisah cinta mereka dulu.
Ya, seperti kata Rama dulu, keluarga Baskoro itu sangat tidak asing dengan pernikahan status. Perjodohan, pernikahan karena perjanjian dan hal semacam itu banyak dilakukan oleh silsilah keluarga Baskoro, termasuk Rahardi dan Ana. Tetapi bedanya, mereka berdua menyadari kalau mereka saling jatuh cinta dan memulai kehidupan mereka dari awal, termasuk melepaskan marga Baskoro dari nama mereka karena...
"Oh."
Hanya oh?
Rama melotot kaget mendengar respon papinya yang sangat tenang dan datar. "Oh?" tanya Rama memastikan kalau-kalau dia salah dengar.
"Sudah kami duga, kamu gak mungkin bisa tobat secepat ini."
Rama memutar matanya. "Emangnya kenapa Rama harus tobat, sih?" tanya Rama kesal, karena di mata orang tuanya itu Rama adalah seorang b******n. Walaupun memang benar sih.
Dea menyaksikan semua itu sambil mencoba mencerna. Tetapi semakin dia cerna, semakin dia bingung dibuatnya. Rama dan orang tuanya sama sekali belum menceritakan rahasia keluarga mereka. Kenapa kedua orang tua Rama melepas nama Baskoro dan pergi dari keluarga itu, kenapa Rama dan kedua orang tuanya terkesan tidak menyukai Nenek Yulia—ibu kandung Rahardi—dan rahasia-rahasia lainnya. Dea tiba-tiba merasa asing. Ok, dia memang sejak awal adalah orang asing yang tiba-tiba mendapat durian runtuh, namanya tertera dalam surat warisan keluarga Baskoro. Tapi kan dia sekarang juga bagian dalam keluarga.
Tunggu, kenapa gue terkesan pengen banget jadi bagian keluarga ini? Cish.
"Ram, gimana kalau malam ini kita minum?" tanya sang papi tiba-tiba. Rama mengernyit. "apa? Kenapa tiba-tiba?" tanyanya bingung.
"Kamu ini, kita kan udah lama gak ketemu, dasar b******n cilik."
Rama mendengus sambil memasukkan potongan terakhir dagingnya ke mulut sambil mengedikkan bahu.
"Kalau begitu Mami dan Dea ke kamar ya," ucap Ana tanpa persetujuan membuat Dea menatapnya. Rahardi mengangguk, sedangkan Rama hanya menatap Dea dan maminya datar.
Tiba-tiba Rama berseru saat Dea sudah mencapai pintu ruang makan yang tersambung ke ruang tengah dimana tangga terletak. "SAYANG TUNGGU AKU DI RANJANG YA!"
MESUM SIALAN!