Rama masih dalam posisi rebahannya saat kedua orang tuanya masuk ke dalam kamar dengan wajah kikuk. Dea yang baru saja selesai mandi dan berpakaian menatap mertuanya dan Rama secara bergantian.
"Ram, kita—"
"Kalian?" putus Rama. Wajahnya menatap kedua orang tuanya dengan tatapan kesal namun nada bicaranya ia jaga agar datar. "Kalian benar-benar kelewatan,Mi, Pi, kalian bisa aja ngebahayain Dea!" seru Rama tidak tahan untuk menahan kekesalannya lebih lama lagi.
Rahardi menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menyikut Ana yang berdiri sama kikuknya disisinya. Ana melotot dan balas menyikut suaminya hingga aksi sikut-sikutan mereka membuat Rama menggeram.
"Papi, Mami! Cepet jelasin kenapa kalian se-gila-itu untuk ngeracunin anak semata wayang kalian sendiri dengan obat perangsang berdosis tinggi?!"
Rahardi mengatupkan mulutnya begitupun dengan Ana, keduanya jadi seperti bertukar posisi dengan Rama. Mereka jadi anak dan Rama yang menjadi orang tuanya. Hebat.
"Kita gak niat ngeracunin kok, kita—"
Ana berdecak. Suaminya terlalu bertele-tele.
"Heh, bocah kurang ajar! Kita ini sayang sama kamu, makanya kita ngelakuin itu!" kata Ana sambil melangkah maju mendekati ranjang dimana Rama berbaring.
Yap, setelah kejadian huru-hara semalam Rama benar-benar terserang demam. Tadi pagi-pagi sekali Dea sudah bangun untuk melepas dasi yang mengikat lengannya dan memasanginya stiker penurun demam.
Dea hanya menyaksikan kejadian antara orangtua dan anak itu dalam diam. Dia merasa tidak punya hak apa-apa untuk ikut dalam obrolan tersebut, meskipun dialah yang menjadi objek obrolan.
Ana duduk di sisi ranjang Rama, lalu meraih nampan berisi sarapan di atas nakas yang belum Rama sentuh karena pria itu menunggu Dea yang menyuapinya, tetapi niatnya itu langsung terlupakan karena kedatangan kedua orang tuanya.
Ana mengaduk cream soup di mangkuk dan meniup-niupnya sebelum menyendoknya dan mengarahkannya ke mulut Rama. "Kamu udah terlalu lama merusak diri kamu Ram, kita Cuma pengen kamu jadi pria baik-baik karena kamu terlahir sebagai anak baik."
Ucapan Ana seolah menampar Rama. Namun saat sendok berisi cream soup yang disodorkan Maminya itu mendekat ia refleks membuka mulutnya dan menerima suapan sang Mami. Menyuapinya saat sakit, adalah kebiasaan Ana saat Rama masih kecil. Oh, bahkan sampai Rama duduk di kelas sebelas pun ia masih minta Maminya menyuapi saat dia sakit.
"Maksud Mami aku rusak?" tanya Rama polos. Nada bicaranya yang sejak tadi tinggi hilang entah kemana dan tergantikan dengan nada seorang anak kecil. Manja dan merengek.
Ana menghela nafas. Dia melirik Rahardi yang sudah mengambil posisi duduk di sofa di depan tv dan juga Dea yang sedang duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut basahnya.
"Kamu tau, bermain dengan banyak wanita. Umur kamu tuh udah gak lagi muda, kamu seharusnya udah setia sama satu wanita aja," jelas Ana sambil kembali menyuapkan sesendok cream soup yang langsung diterima Rama.
Rama menelan cream soup yang terasa agak pahit dilidahnya itu sambil mencerna ucapan Maminya. "well, itu gak mudah, Mi. Perasaan Rama yang mudah banget jatuh cinta dengan gadis cantik masih ada sampai saat ini," jawab Rama jujur.
Ana tersenyum kecil. "Jatuh cinta? Tau apa kamu soal jatuh cinta, anak nakal?" tanya Ana dengan nada meledek.
Rama memutar bola matanya. Ia lalu melirik Dea yang kini sedang menyalakan pengering rambut, tampak acuh dengan percakapannya dan Maminya. Rama lalu mengedikkan dagunya ke arah Dea. "Jatuh cinta itu adalah hal yang gak bakal Rama rasain ke dia."
Ana terbahak. Setelah mangkuk berisi soup cream buatannya ludes, ia meletakkan mangkuk kosong itu kembali diatas nampan dan meraih gelas air putih juga beberapa pil paracetamol dan menyodorkannya pada Rama.
"Saat kamu ngomong begitu, Mami justru yakin kamu bakal ngerasain."
Rama menenggak habis airnya untuk menghilangkan rasa pahit obat yang menempel di lidahnya. "Gak akan, Mi. Rama uda bilang, Rama hanya jatuh cinta pada gadis cantik dan berdada sexy."
Ana tersenyum kecil. "Kamu tuh harus sering-sering baca buku, nak. Oh gak perlu, bahkan jaman sekarang kamu bisa mencarinya di internet. Apa itu definisi cinta."
Rama memutar matanya lagi, jengah. Kenapa Maminya itu jadi begitu rumit. Kan beliau bisa langsung memberitahukannya apa itu definisi cinta tanpa harus mencarinya di internet.
"Sekarang kalian tinggal dimana?" tanya Rama mengganti topik.
Ana mengulurkan tangannya untuk mengecek suhu tubuh Rama, masih hangat. "Dimana aja. Kami berpindah-pindah, semau kami."
"Telfon Rama kalau kalian kehabisan uang."
Ana menjitak kepala Rama dengan sadis. "Kamu dan mulut besarmu. Jangan bertingkah sombong saat kamu hanya mengandalkan uang kakekmu!"
Rama berdecak. "Ck! Gak lah Mi, Rama tau seberapa bencinya kalian untuk menyentuh harta keluarga Baskoro, Rama gak akan memakai uang keluarga Baskoro untuk diberikan pada kalian. Kalian bisa memakai uang simpanan Rama dari hasil gaji bekerja di perusahaan."
Ana terkekeh. "Perusahaan Baskoro? Bukannya sama aja?"
"Setidaknya Rama dapetin itu dari hasil kerja!"
Ana mencubit pelan pipi putera satu-satunya itu. Putera kesayangannya. Tentu saja, sesadis apapun perlakuannya pada Rama, Ana sangat menyayangi Rama, begitupun dengan Rahardi.
"Omong-omong soal kerja, bukannya setelah peralihan harta waris, kamu akan naik jabatan jadi pemegang perusahaan?" tanya Ana.
Rama terdiam sejenak. "Gak ah, Rama males ada di posisi itu. Rama milih tetep jadi head programmer."
Rahardi yang sedang menggonta-ganti channel tv langsung mengalihkan perhatiannya pada Rama. "Nice choice, nak." Komentarnya sambil kembali menatap ke layar tv.
Ana berdecih melihat suaminya yang sejak tadi pura-pura tidak tertarik dengan obrolan mereka padahal sebenarnya mendengarkan dengan sangat baik.
Rama lalu menyamankan posisi kepalanya diatas bantal. Tangannya memainkan jemari Ana yang lembut meski sudah disinggahi kerutan. "Rama harus menghentikan tradisi keluarga Baskoro, Rama gak mau generasi penerus dibawah bernasib seperti silsilah keluarga Baskoro yang lain. Hidup dalam aturan yang ditentukan nenek dan kakek moyang Baskoro, menikah dengan orang pilihan, punya anak tanpa dasar cinta yang akan membuat anak tersebut tumbuh menjadi pribadi kaku dan akan terus berulang dari proses pertama. Terus seperti itu."
Ana melirik Dea yang kini sedang berkutat dengan ponselnya, padahal wanita itu yakin menantunya itu sedang mendengarkan obrolannya dan Rama. Ana tersenyum.
"Kamu masih menikah dengan wanita pilihan." Kata Ana yang sontak mendapat pelototan tajam dari Rama.
"Dia pengecualian. Rama aja gak tau darimana kakek bisa mengenalnya dan menuliskan namanya dalam surat wasiat. Rama kira, dia adalah seorang anak bangsawan lain tetapi Rama kaget saat tau dia dari keluarga miskin."
"Mami yakin, kakek kamu juga ingin ada perubahan dalam keluarga kita."
Rama mendengus. "Dulu saat kalian pergi meninggalkan keluarga Baskoro, Rama seneng banget dan berharap kakek cepat-cepat menyerahkan semua hartanya ke Rama. Tapi, saat semua sudah berada di tangan Rama, ini semua terasa gak bener."
Ana tersenyum lembut. "Gak semua selalu tentang harta. Ah iya, omong-omong apa kabar Sharon? Gadis itu selalu jadi pelarian kamu sampai-sampai Mami pengen mencincang kamu karena melihat perlakuan kamu ke dia, apa sekarang setelah adanya Dea, kamu bener-bener udah ngelepasin gadis itu?" tanya Ana polos membuat Dea seketika menoleh ke arah keduanya.
Apa gue gak salah dengar? Sharon selalu jadi pelarian Rama?
"Mi, itu karena gadis itu terlalu tergila-gila sama Rama! Terakhir kali bertatap muka, dia hampir merusak pernikahan Rama dan Dea. Dan, ayolah. Mami bisa membuat gadis ceking itu besar kepala, Rama gak mungkin berubah karena dia." Ucap Rama santai seakan objek yang dibicarakan sedang tidak ada disana, padahal jelas-jelas Dea mendengar setiap ucapannya dengan jelas.
Dea berdecih. "Siapa juga yang mau jadi alasan lo berubah,cish."
"Jadi kamu bakal tetep pacaran sana-sini meskipun udah nikah sama Dea?" tanya Rahardi yang akhirnya ikut angkat bicara.
Dea menatap Papi mertuanya itu dengan dahi mengernyit. Sedangkan Ana tersenyum dan Rama tampak berfikir.
Rama lalu menatap Dea yang juga kini menatapnya. Senyum miring Rama tercipta. "Lo pasti ngarep gue bilang enggak, ya?" tanya Rama entah pada siapa, namun yang jelas tatapan matanya terarah pada Dea dan entah kenapa membuat Dea salah tingkah.
"Iyalah! Rama sama Dea lagian udah bikin perjanjian, dengan menikah tidak menjadi jaminan Rama bakal berhenti pacaran dengan wanita manapun."
Rahardi melemparkan bantalan sofa ke kepala Rama membuat Rama berteriak. Ana juga menghadiahi putera brengseknya itu dengan jitakan. "Seharusnya kita benar-benar nyekokin Dea obat semalam! Biar kalian benar-benar terikat. Kenapa sih kalian berdua mempersulit keadaan?"
Dea dan Rama mengernyit tak mengerti. "Hah?"
"Kenapa harus mencari yang jauh saat ada yang jelas-jelas di depan mata?"
"Apa mak—"
"Udah Pi, dua orang bodoh ini gak akan pernah ngerti." Kata Ana gemas.
Dea dan Rama masih mengernyit saat Ana dan Rahardi beranjak pergi dari kamar mereka. Namun sebelum keduanya keluar dari pintu, Rahardi berbalik dan menatap Rama juga Dea bergantian.
"Jadi, kalian gak saling cinta, hah?"
Dea melirik Rama dan juga sebaliknya. Lalu keduanya berseru bersamaan.
"ENGGAK!"
Rahardi berdecak. "Kenapa?"
"Karena gak ada alesan untuk kami berdua jatuh cinta, lah!" lagi-lagi Rama dan Dea menjawabnya bersamaan. Namun jawaban yang seharusnya mengecewakan itu justru membuat senyuman Rahardi terbit.
"Gak ada alesan ya?" tanya Rahardi pada Ana yang sudah berdiri diambang pintu. Ana membalasnya dengan senyum penuh arti.
"Oke kalo gitu."
Blam.
Dan kedua orang tua Rama itu menghilang dibalik pintu.
Kalian tau? Kalau cinta itu memang tidak pernah memiliki alasan.
***
Tora: Gue sedang dalam perjalanan menuju coutage, bersama Nyonya besar dan Sharon.
Rama terlonjak dari tempat tidur saat menemukan pesan dari Tora yang masuk lima belas menit yang lalu. Kalau menurut perkiraan berarti mereka akan sampai lima belas menit lagi. DAN ITU NAMANYA BENCANA.
Dea yang sedang menonton tv bersama beberapa bungkus keripik kentang lantas menoleh. "Ada apaan?" tanyanya sambil merogoh kantung keripik kentangannya dan memasukkannya ke mulut untuk dikunyah.
Rama mengacak rambutnya frustasi. "Mak Lampir lagi di perjalanan!"
Dea mengernyit. "Hah?"
"MAK LAMPIR. NENEK GUE!"
Dea melotot. "APA?"
***
Rama menarik Dea ke halaman belakang coutage dimana orangtuanya sedang duduk santai menikmati sepiring kue jahe yang dibuat Ana dan Dea beberapa jam yang lalu.
Dea memang belum mendengar langsung dari mulut Rama soal mak lampir—sebutan neneknya—tapi dari pembicaraan Rama dan orangtuanya tadi pagi, sudah cukup menjelaskan kalau nenek Yulia bukan orang berhati baik.
"PAPI, MAMI!" Rama dan Dea sama-sama terengah saat sampai di depan Ana dan Rahardi yang sedang menatap mereka bingung.
"Kenapa kamu sama Dea lari-larian hah? Kayak anak kecil aja."
Rama mengambil posisi duduk di salah satu kursi santai yang kosong lalu dengan kurang ajarnya merebut gelas teh di tangan Rahardi dan menyeruputnya.
"PWEHHH" Rama menyemburkan teh yang baru saja ia teguk itu sambil memeletkan lidahnya dengan wajah tidak senang. "Teh jahe? Ugh!" ucapnya sambil mengembalikan gelas itu ke tangan Papinya.
"Ada apa?" tanya Ana mengembalikan fokus Rama kepada masalah yang seharusnya dengan cepat ia beritaukan kepada kedua orang tuanya.
"Nenek dalam perjalanan menuju kesini! Mungkin akan sampai kurang dari lima belas menit lagi."
Rahardi dan Ana sontak terlonjak kemudian melotot sambil bertatapan. "APA?"
Dea mengulum bibirnya mencoba menahan tawa melihat reaksi orangtua Rama yang sama dengan reaksi anaknya barusan.
"Untuk apa Mamimu itu kemari!" seru Ana sambil berdiri dan berlari ke dalam coutage diikuti Rahardi yang mengekor.
"Kalau Papi tau, Papi gak mungkin masih ada di sini! Ayo cepat kita bereskan koper kita—tunggu! Ana, mobil aku ada di depan!" teriak Rahardi sambil menepuk dahinya. Ana berdecak panik.
"Sana Papi urus mobil, Mami akan menyiapkan koper kita."
Rama dan Dea yang juga mengikuti pergerakkan mereka mengernyit bingung.
"Mi, kalian bisa bersembunyi sementara dan tinggalkan koper kalian diatas. Nenek tidak akan naik ke lantai atas, kakinya sudah tidak sanggup untuk meniti anak tangga," saran Rama yang langsung membuat Ana mengangguk setuju.
"Ahiya benar juga. Yasudah, kami akan pergi menjauh dan akan kembali saat nenekmu itu sudah pergi."
Ana lalu bergegas menuju lantai bawah untuk mengejar Rahardi, namun ia berbalik dan menatap Rama dan Dea bergantian.
"Kalian, kabari Mami jika ada sesuatu. Ok?"
Mau tak mau Dea dan Rama mengangguk bersamaan.
Ponsel di kantung celana Rama kembali bergetar dan diiringi bunyi notifikasi pesan singkat. Dan kembali sebuah pesan dari Tora masuk.
Tora: Kami berpapasan dengan mobil yang mirip mobil tuan dan nyonya Baskoro, untungnya nyonya besar tidak memperhatikan. Dan Ram, kami udah hampir sampai.
Rama mendesah lega. Lalu ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung celana dan ia menatap Dea lega.
"Papi sama Mami lolos."
Dea ikut mendesah lega, walaupun sebenarnya dia tidak mengerti kenapa Papi dan Mami mertuanya harus sampai seperti itu hanya karena nenek Yulia.
Dan eksistensi nenek Yulia mau tidak mau membuat Dea ikut takut. Dan sialnya, sebentar lagi dia akan bertemu dengan sosok menakutkan tersebut.
"Bersikap biasa dan normal. Oh—maksud gue normal yang bener-bener normal, bukannya sikap lo normal lo yang urakan, ngerti?" ucap Rama membuat Dea mendengus tidak terima. Emang sih gue urakan, tapi gak separah itu sampai lo harus mengatakannya dengan nada mengancam!
"Nenek gue adalah etiquette freak, dia sangat maniak soal sopan santun. Semua yang gak punya sopan santun dianggap bukan manusia sama dia."
Dea melotot. "Apa? Terus gimana sama lo? Lo kan punya sopan santun yang minim?!"
Rama menempeleng dahi Dea. "Lo dapat poinnya. Nenek gue, selalu menganggap gue bukan manusia. Dia hanya bersikap baik sama gue karena Papi udah pergi dan gue satu-satunya keturunan Papi yang memegang persenan harta waris paling besar di keluarga Baskoro. Nenek hanya takut jika penerus perusahaannya kabur."
Dea berdecak kagum. Ia baru sadar betapa rumit dan kayanya keluarga Baskoro ini.
"Lo kan masih punya sepupu yang bisa menjadi penerus perusahaan Baskoro!"
"Papi gue anak tunggalnya kakek sama nenek. Empat keluarga Baskoro yang lain adalah anak dari adik dan kakaknya kakek gue, jadi mereka Cuma dapet sedikit bagian. Perusahaan dan hampir enam puluh persen harta kakek adalah milik keluarga gue."
Dea memegangi kepalanya yang tiba-tiba saja berdenyut menerima semua informasi ini. Masalah orang kaya benar-benar memusingkan.
Rama menatap Dea, mulutnya sudah terbuka untuk bicara namun seorang pelayan yang berlari dari lantai bawah menginterupsi Rama dengan kabar kedatangan Nyonya besar Baskoro alias nenek Yulia. Rama langsung menghela nafas dan menggenggam lengan Dea.
"Ayo, kita temuin si mak lampir itu."