Ana dan Rahardi sudah keluar dari kamar Rama dan Dea karena Dea meyakinkan mereka kalau dia akan membantu Rama untuk klimaks. Meskipun sebenarnya Dea tidak yakin dia siap atau tidak untuk itu.
Dea sudah sering berpacaran sejak dia duduk di bangku sekolah menengah, tetapi Dea tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh dengan lawan jenis selain berpelukan dan mencium pipi.Terserah jika Dea dicap sok suci atau bahkan primitif sekalipun. Dea memang sangat menjaga kesucian dirinya untuk diberikan kepada suaminya kelak.
Dea menghela nafas sambil menatap takut-takut ke arah pintu kamar mandi. Samar-samar dia bisa mendengar suara pancuran air shower yang bertubrukan dengan marmer kamar mandi. Sudah lebih dari setengah jam Rama mengurung diri di kamar mandi, lelaki itu bisa-bisa terserang demam karena terlalu lama di dalam sana.
Dengan memberanikan diri Dea mengetuk pintu. "Ram—Rama, buka pintunya," mungkin sejauh perkenalan Dea dan Rama, itu adalah nada terlembut yang pernah Dea gunakan saat berbicara dengan Rama.
Mengingat selama ini dia selalu marah-marah saat berbicara dengan Rama.
"Ram, buka pintunya! lo udah hampir satu jam di dalam sana!" Dea menaikkan nada bicaranya, berharap Rama merespon.
"RAMA!" kini Dea berteriak, ritme ketukannya pun berubah menjadi gedoran keras.
Dea bisa mendengar suara air shower yang mulai dimatikan. Perlahan harapannya meninggi, berharap Rama akan membukakan pintu, meskipun dia tidak yakin apakah dia akan selamat setelah Rama benar-benar membuka pintu.
"Ppp—pergi lo!" seru Rama dari dalam kamar mandi, membuat Dea menghela nafas kecewa.
Didekatkannya telinganya ke pintu kamar mandi, dan dia bisa mendengar jelas suara Rama yang mengerang dan mendesah-desah tak jelas dibalik pintu. Sepertinya, Rama sedang duduk bersandar di balik pintu tersebut.
Dea teringat apa kata Rahardi tadi. "Obat itu gak akan hilang efeknya walaupun Rama onani sendirian di kamar mandi sana, obat itu obat spesial dan sangat kuat dosisnya. Akan butuh semalaman sampai efeknya hilang."
"Ram—buka pintunya. Ayo kita selesain ini," ucap Dea yakin.
Meskipun Dea membenci Rama, biar bagaimanapun lelaki itu sudah mengorbankan diri untuknya. Rela menyiksa diri sendiri karena tidak ingin mengambil keperawanannya, alasan itu cukup bagi Dea untuk membantu Rama.
Toh kalaupun dia akan kehilangan keperawanannya malam ini, dia menyerahkannya untuk suaminya yang sah.
"Gue bisa merkosa lo, Ya."
Dea menggigit bibir bawahnya. dia mencoba menetralkan detak jantungnya yang tak normal. "No problem."
Krek.
Pintu terbuka perlahan, menampilkan Rama yang sudah dalam keadaan basah kuyup lengkap dengan bajunya. Mata Dea sontak mengalihkan pandangan saat melihat sesuatu menonjol dibagian bawah Rama. Tentu saja, junior Rama.
Dea melempar handuk yang sejak tadi dia pegang ke arah Rama, dia khawatir suami menyebalkannya itu benar-benar terserang demam.
Rama melempar handuk yang tadi bersarang dikepalanya itu ke sembarang arah. Nafasnya menderu dan Dea sudah gemetar, membayangkan apa yang akan terjadi.
Bruk.
Dea terdorong ke kasur dengan Rama yang menindihnya. Baju Rama yang basah ikut membasahi dirinya. Belum apa-apa Rama sudah menyerang bibir Dea dengan ciuman ganas, susah payah Dea mengimbangi ciuman Rama tetapi lelaki itu terlalu bernafsu dan menggebu-gebu.
"Akkhh" Dea memekik saat merasakan tangan Rama mulai menyentuh titik sensitivenya.
"ahh shh" Rama mendesah dalam ciumannya. Sesekali dia melepas pagutannya dari bibir Dea untuk mengambil nafas dan mengeluarkan desahan.
Dea merasakan tubuhnya terangkat dan tiba-tiba kausnya sudah terlepas. Rama langsung menyambar kembali bibirnya. Dea merasakan kulit Rama yang panas namun basah bersentuhan dengan kulit telanjangnya.
"Ughh"
Dea memejamkan matanya rapat-rapat saat dia merasakan tangan Rama yang mencoba membuka celana pendeknya. Tanpa dia sadari sebuah air mata menetes di pipinya, bukan, bukan karena Dea tidak rela dia akan melakukan s*x pertamanya dengan Rama tetapi dia merasa ini bukanlah s*x pertama yang dia inginkan. Meskipun jujur saja, Dea mulai menikmati sensasi ini, saat melihat Rama yang sedang dilumuri nafsu akibat obat perangsang, sesuatu seperti melukai hatinya.
Tiba-tiba beban yang sejak tadi menimpa tubuh Dea hilang. Tidak ada ciuman ganas, remasan, bahkan sentuhan Rama lagi. Membuat Dea membuka matanya, karena sedikit merasa kehilangan.
"Ram?"
Dilihatnya lelaki itu sudah berjalan menjauh dari tempat tidur. Rama yang sudah setengah telanjang, sama sepertinya, berdiri dengan wajah frustasi. dia meremas-remas rambut jabriknya sehingga semakin jabrik.
Rama mendengus. Dia membuka kasar lemari pakaiannya dan menarik salah satu kausnya yang terlipat dan melemparnya ke arah Dea. "Pake itu!" perintahnya.
Dea mengernyit bingung, dia tidak kunjung memakai pakaiannya dan justru terus memandangi Rama.
Rama mengeraskan rahangnya. Dengan cepat dia hampiri Dea dan memakaikan wanita itu kausnya yang membuat tubuh Dea tenggelam. Setelah itu dia kembali berdiri dan beringsut menjauh dari Dea.
"Papi dan Mami pasti masih mengunci pintunya, lebih baik gue kembali ke kamar mandi. Mending lo tidur, ini udah malem."
Dea masih melongo, mencoba mencerna apa yang baru saja Rama lakukan dan katakan.
"Jangan! lo bisa demam, oh salah, lo emang udah demam, Ram."
Rama mendengus, masih dalam posisi membelakangi Dea karena dia khawatir nafsunya tidak bisa ditahan lagi jika melihat Dea. "Jadi, lo lebih milih untuk gue perkosa daripada gue demam?"
Dea mengigit bibir bawahnya. "Um gue..."
"Udahlah, lebih baik lo tidur."
"Gue bakal tidur, kalo lo tidur sama gue!"
Dea, kemana harga diri lo itu, woy!
Jika Rama tidak sedang dalam keadaan pengaruh obat, mungkin dia akan menggoda Dea habis-habisan. Tetapi saat ini, Rama hanya terdiam.
"Rama..."
Rama menghela nafas lalu mengambil pakaian ganti dari lemari, berjalan ke kamar mandi dan tidak lama keluar dengan pakaian yang sudah diganti.Rama lalu mengambil sesuatu dari dalam laci lemari, yang ternyata sebuah dasi hitam.
Dea mengernyit ketika Rama membawa dasi hitam itu ke tempat tidur. Rama sejak tadi sama sekali tidak mau menatap balik Dea.
Tiba-tiba Rama mengulurkan kedua tangannya ke depan Dea. "Iket gue dengan dasi hitam itu!" perintah Rama membuat kernyitan Dea semakin dalam.
"Apa?"
"Iket buruan, buat jaga-jaga."
"Hah?"
"Lo bilang lo bakal tidur kalau gue juga tidur kan? Makanya buruan iket, biar gue bisa tidur!" jelas sekali suara Rama serak karena demam. Bahkan saat mereka hampir melakukan s*x tadi, Dea bisa merasakan panas tubuh Rama.
Mau tidak mau, Dea mengikat tangan Rama sesuai keinginannya. Setelah merasa ikatannya cukup kuat, Rama langsung mengambil posisi tidur. "Buat garis teritorial kayak waktu itu dan kalau nanti sewaktu-waktu gue lepas kendali, lo harus lari ke kamar mandi dan kunci pintunya. Ngerti?"
Dea tidak menjawab Rama dan Rama juga tidak menunggu jawaban Dea. dia langsung tidur memunggungi Dea.
Rama merasakan Dea menyelimutinya dan wanita itu ikut berbaring di sampingnya.
"Papi lo bilang, pengaruh obatnya gak bakal ilang kalo lo gak melakukan sex."
"Papi gue bohong lah, mana ada obat secanggih itu. Efeknya bakal segera abis, mungkin beberapa jam lagi."
Dea meringis. Pasti Rama sangat menderita. Ingin sekali Dea membantu Rama lepas dari penderitaannya, tetapi dia juga tidak ingin kalau s*x pertamanya dilakukan karena obat perangsang.
Tiba-tiba Dea punya ide. Mungkin sedikit gila dan nanti dia yakin akan menyesalinya. Tetapi menurut Dea, ini bisa membantu Rama, semoga saja.
Greb.
Rama merasakan Dea mendekap erat tubuhnya dari belakang. Bisa dia raskaan bagaimana d**a kecil Dea menyentuh punggungnya. Membuat nafasnya tercekat. "Ya, lepas."
Bukannya melepaskan, Dea justru mengeratkan pelukannya. Dea kecup lembut tengkuk Rama. Dan Dea menemukan satu fakta, tengkuk Rama wangi dan wanginya semacam aroma bayi. Membuat Dea semakin melesakkan wajahnya disana.
Mungkin hanya sebuah kecupan dan sesekali hisapan di kulit tengkuknya, tetapi efeknya sangat dasyat. Mengingat sebenarnya, Rama hampir saja klimaks saat menyerang Dea tadi. Tetapi Rama mengurungkan niat saat melihat air mata menitik di mata Dea, Rama tau Dea tidak mungkin menyerahkan sesuatu yang berharga untuknya. Pria yang sudah membohonginya, menjebaknya hingga harus menikah dalam sebuah pernikahan status.
"Ahhh"
Rama mengatur nafasnya yang menderu. Sesuatu yang sejak tadi menyiksanya, akhirnya keluar dan tersalurkan. Ya, Rama klimaks, hanya karena kecupan dan hisapan Dea ditengkuknya.
Dea sendiri merasa senang bisa membuat Rama terlepas dari penderitaannya. Tetapi anehnya, dia tidak juga melepaskan pelukannya dari Rama dan menjauhkan bibir dan hidungnya dari tengkuk Rama meskipun tau lelaki itu sudah mencapai klimaksnya.
"Ya?" tanya Rama saat mereka sudah lama terdiam dalam keheningan.
Dea refleks memejamkan mata dan membuat nafasnya teratur agar Rama menyangkanya sudah tidur. Dan benar saja, Rama benar-benar mengira Dea sudah tidur.
"Lo benar-benar kelemahan gue, Ya."
Gue? Kelemahan seorang...Rama?
***
Tora baru saja akan berangkat ke coutage milik Rama sambil membawa berkas-berkas yang harus ditanda tangani bosnya itu. Ya, berkas-berkas pencairan harta warisan. Namun langkahnya terhenti di pintu utama rumah keluarga Baskoro saat seorang wanita tua berpakaian serba hitam dengan rambut disanggul tinggi muncul diikuti lima pria berpakaian formal dibelakangnya.
Refleks Tora membungkuk hormat. "Selamat datang kembali nyonya Baskoro." Ucapnya hormat.
Wanita tua yang tidak lain adalah neneknya Rama itu menatap Tora dengan tatapan datar namun tegas miliknya. "kemana mereka berbulan madu?" tanyanya tanpa basa-basi.
Tora terlihat mematung sesaat namun dengan cepat dia mengembalikan ekspresinya menjadi normal. "Ke pulau pribadi tuan muda Baskoro, di Anyer."
Nyonya besar Baskoro—alias Nenek Yulia mengangguk sekilas. "Lalu kamu mau kemana, Tora?" tanya Nenek Yulia lagi, melihat Tora yang memang sudah bersiap untuk pergi tersebut. Tora tanpa sadar mengeratkan pegangannya pada berkas ditangannya.
"Ka—kantor nyonya, ada urusan."
"hm, kalau begitu kamu telfon orang kantor, bilang kalau ada urusan yang lebih penting." Ucap wanita tua itu masih dengan ekspresi datarnya.
Tora mengernyit. "tapi—"
"Kamu akan ikut denganku, menjemput Rama dan istrinya di Anyer." Tora baru akan membuka mulut, namun dia tau perintah wanita tua itu tak terbantahkan. Dengan pelan dia membungkuk pada wanita tua itu dan bergeser dari pintu agar wanita itu bisa berjalan masuk.
Namun saat wanita itu sudah berada persis didepan Tora, dia berhenti dan kembali melanjutkan ucapannya. "Oh ya, dan Sharon akan ikut bersama kita juga."
Tora menoleh kearah pintu, dimana akhirnya sosok mungil Sharon muncul dari balik tubuh pengawal nyonya besar Baskoro dengan seringaian licik. dia memeletkan lidahnya ke arah Tora, menikmati ekspresi terkejut Tora.
Ketika Sharon sudah sejajar dengan Tora dan mereka saling bertatapan, Sharon menggumam tanpa suara. "Loser." Dan berlalu mengikuti kemana nyonya besar Baskoro berjalan.
Tora lupa, kalau gadis itu selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Terlebih, dia mempunyai back up, Nenek Yulia, orang yang paling berkuasa di keluarga Baskoro setelah kakek Baskoro meninggal.