Devan terhuyung, tubuhnya masih berat oleh pengaruh alkohol, namun hasrat rindu mengalahkan segalanya. Ia duduk di samping Rhea, menatap wajah istrinya yang kusut dengan air mata bercampur sisa tawa mabuk. “Sayang, kamu masih istriku. Kamu tahu, aku sangat rindu padamu. Entah sudah berapa lama kita tidak bersama,” bisiknya, tangannya terulur mengusap pipi Rhea dengan lembut. Rhea tersenyum miris, lalu menangis dengan suara serak khas orang mabuk. “Devan, seandainya saja kamu tidak pernah mengenal Lyla, semua ini pasti tidak akan pernah terjadi. Aku mencintaimu, tapi kamu menyakitiku. Kau balas cintaku dengan bara api.” Ucapan itu menusuk hati Devan. Ia mereguk saliva getir, matanya berkilat penuh emosi. “Kamu masih mencintaiku? Aku senang sekali mendengarnya. Kenapa kamu tidak pernah bil

