Lyla mengepalkan tangannya, satu mengusap perutnya yang semakin membesar, satu lagi menggenggam kuat seolah ingin meremas amarah yang membuncah di dadanya. Napasnya memburu, da-da terasa sesak menahan emosi yang tak bisa lagi dibendung. “Devan…” gumamnya lirih namun penuh getar. “Kau selalu pulang pada Rhea. Selalu memeluk dia, mengusap rambutnya, mencium keningnya setiap pagi…” Suaranya meninggi meski hanya bergema dalam ruang yang kosong. “Kenapa dia yang dapat semuanya? Kenapa cinta, perhatian, waktumu… semuanya untuk dia? Lalu aku? Aku ini apa?” Matanya merah, bukan hanya karena air mata, tapi karena rasa kalah dan iri yang tak tertahankan. Tangan di perutnya makin erat, seolah ingin memastikan bahwa ada sesuatu yang masih dimilikinya dari Devan. Tapi tetap saja, hatinya terasa koso