Ponsel Devan masih berkedip lemah di dalam saku jas yang tergantung rapi di balik pintu kamar. Tak satu pun dari mereka—baik Devan maupun Rhea—menyadari benda itu terus bergetar dalam diam. Mereka sibuk dengan keheningan masing-masing, duduk bersebelahan namun terpisah oleh dinding tak kasatmata yang perlahan tumbuh sejak kebohongan mulai mengakar. Beberapa jam berlalu, langit di luar sudah berubah kelam. Lampu kamar menyala temaram, mewarnai suasana dengan cahaya kuning pucat. Rhea sudah berganti pakaian dan berbaring dengan punggung menghadap Devan, pura-pura tidur meski pikirannya masih berisik. Sementara Devan duduk di tepi ranjang, tangan menggenggam kepala sendiri. Rasa bersalah menghantam pelipisnya, tapi ketakutan akan kehilangan Rhea jauh lebih menakutkan baginya dibanding penga