Episode 3 : Lamaran

1969 Words
“Ehm …!” Suara dehaman yang terdengar dari belakang, tak hanya mengagetkan Embun. Sebab suara dehaman seorang pria dan teramat Embun hafal tersebut, sukses membuat Embun yang sedang mengurus kebun di depan rumahnya, menjadi sangat gugup. Embun sampai bingung harus berbuat apa? Karena untuk sekadar bernapas saja, Embun takut salah. Belum lagi, penampilan Embun kali ini terbilang berantakan. Tak semata karena Embun hanya mengenakan daster lengan pendek lusuh dan bisa jadi penuh noda adonan kue maupun gorengan. Sebab rambut panjang Embun yang dicepol asal juga Embun yakini awut-awutan karena belum sempat Embun sisir. “Di-ja-min. Jadi suami Embun bakalan bahagia lahir batin. Buktinya, sepagi ini kebun saja sudah diurusin, apalagi suaminya yang bakalan selalu diprioritaskan?” Rustam.  Embun yang belum berani menoleh apalagi menatap untuk memastikan, yakin itu suara pria yang malam nanti akan melamarnya. Jika terdengar dari suaranya, Embun yakin Rustam berdiri dengan jarak terbilang dekat dari keberadaannya.  Pagi-pagi buta dan masih berselimut kabut. Di mana embun yang menghiasi sekitar khususnya dedaunan berikut rerumputan saja belum terjamah polusi meski sekadar butiran debu, seorang Rustam sudah datang berkunjung. Suatu kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Banjir itu, Mbun. Masa iya, kamu jadi segugup itu, hanya gara-gara aku?” Rustam terbahak. Pria humoris itu buru-buru mengambil alih gayung berisi air bekas cucian beras, yang Embun gunakan untuk menyiram kebun di pekarangan rumah wanita ayu itu.  Yang membuat Embun semakin gugup bahkan lemas, tak lain karena ketika mengambil alih gayung, tangan kanan Rustam justru tak sengaja mencengkeram tangan kanan Embun yang masih memegang gagang gayung.  Dunia Rustam apalagi Embun seolah berhenti berputar detik itu juga. Suasana yang masih hening berhias kesegaran udara khas perkampungan, menjadi semakin hening, menyisakan detak jantung masing-masing. Baik Embun maupun Rustam menyadarinya, perihal kebersamaan mereka yang hanya dihiasi suara dari detak jantung mereka. Bedanya, di tengah kenyataan tersebut, ketika Embun mati kutu dan tak kuasa menahan rasa gugup terlepas dari Embun yang sampai tidak berani menatap Rustam, Rustam yang begitu bahagia hanya karena bisa berdiri di sisi Embun bahkan sampai menggenggam tangan wanita itu dalam waktu yang terbilang lama, semakin betah memandangi wajah ayu Embun. Wajah Embun sama sekali tidak terjamah rias. Sedangkan perbedaan mencolok warna kulit wajah dan leher Embun menjadi bukti, betapa wanita itu telah sangat bekerja keras. Embun telah menghabiskan semua waktu siangnya di bawah terik matahari yang begitu panas, hingga sebagian wajahnya yang tidak tertutup, terbakar sinar matahari. Selain itu, kasarnya telapak tangan Embun juga menegaskan, tangan itu telah mengerjakan banyak beban. Di mana, tangan Rustam yang bagi Rustam sudah kasar saja kalah kasar dari tangan Embun. Kenyataan tersebut pula yang membuat Rustam menjadi prihatin pada kehidupan wanita yang ia cintai. Beban kehidupan Embun sangatlah berat, terlepas dari Rustam yang ingin mengakhirinya secepatnya.  “Kamu jangan sampai kecapaian, yah, Mbun. Kamu butuh istirahat karena robot saja ada masanya harus diam.” Rustam menatap prihatin wanita di sebelahnya. “Nanti, kalau kita sudah menikah, aku mau kamu fokus istirahat. Kamu hanya boleh mengerjakan pekerjaan rumah dan lumrah. Kamu jangan mengerjakan pekerjaan laki-laki lagi.” “Sedangkan mengenai ibu dan adik-adik, aku yang bakalan urus. Aku yakin, selalu ada jalan asal kita mau berusaha. Apalagi dari rezeki yang kita dapatkan, sebagiannya merupakan rezeki orang lain yang harus kita sampaikan.” Ucapan Rustam membuat Embun terenyuh. Embun bahkan tak kuasa menahan air matanya agar tidak mengalir.  Mengenai Rustam, Embun yakin pria itu berbeda. Embun percaya Rustam bisa menjadi kepala keluarga sekaligus imam yang baik untuknya sekeluarga. Semoga, Rustam tidak pernah berubah layaknya Inggit berikut keluarga wanita itu dan telah sukses membuat seorang Purnama melupakan Embun sekeluarga. “Apa jadwalmu hari ini?” ucap Rustam sambil menyiram kebun cabai, kacang, singkong, berikut sayuran lainnya yang ada di sana. Ia mengambil alih kesibukan Embun dalam menyiram kebun. “Hari ini, aku mau tandur, Mas. Di sawah Uwa Sumi.” Embun yang berdiri di sebelah ember berisi leri, masih mengamati pria berambut ikal di hadapannya.  “Tapi kamu enggak lupa, kalau malam ini kita mau lamaran, kan?” protes Rustam sambil menatap Embun penuh kepastian. Embun mesem sambil menggeleng pelan. “Aku enggak bakalan lupa, kok, Mas. Apalagi hari ini aku bakalan pulang awal. Mungkin selepas pukul dua belas siang, aku sudah pulang dari sawah.” Mendengar itu, Rustam buru-buru balik badan hingga membuatnya kembali menatap Embun. Bedanya, kali ini ia menatap Embun dengan sangat antusias. “Serius? Kalau gitu, gimana kalau nanti siang, kita makan bareng?” Sembari tersipu, Embun buru-buru mengangguk. “Kamu mau makan di mana?” todong Rustam tak sabar.  Obrolan Embun dan Rustam mengalir begitu saja, diiringi tawa renyah Rustam yang tak kuasa menyembunyikan kebahagiaannya. Sampai-sampai, tetangga yang mulai beraktivitas di luar rumah menjadi terusik dan tak segan menggoda mereka untuk segera menikah. “Bentar lagi juga nyebar undangan, kok, Wa!” sanggah Rustam di antara senyum lepasnya. Berbeda dengan Rustam yang begitu gesit membalas dan tampak sangat bahagia, Embun cenderung diam menyimpan kebahagiaannya dalam tundukkan. **** Seperti apa yang Embun katakan, wanita itu sungguh pulang awal. Selepas pukul dua belas siang, Embun langsung mandi dan segera menyiapkan masakan untuk Rustam.  Kangkung tumis selaku sayur andalan Embun, menjadi menu siang ini bersama belut bakar yang disuir dan dimasak dengan irisan cabai hijau. Aroma tumisan lengkuas berikut pedasnya irisan cabai hijau yang tercium begitu lezat, membuat ke empat adik Embun mengantre sambil membawa piring. Embun tergelak karenanya dan buru-buru membagi masakannya kepada adik-adiknya. “Mbak, tumben masak banyak? Mau ada acara, ya?” tanya Utari penasaran. “Lha … nanti malam kan, Mbak Embun mau lamaran!” celetuk Ibrahim dan langsung dihentikan oleh Wulan selaku adik tertua Embun. Embun hanya tersenyum sambil menggeleng geli melihat pemandangan tersebut. “Wah … mau ada acara, berarti bakalan makan sama ayam, dong, Mbak?!” Ragiel si bontot langsung antusias, setelah sebelumnya, bocah itu menangis kejer karena nasi yang terbatas membuatnya tidak bisa makan dalam porsi banyak.  Embun yang rela memberikan jatah makan siangnya untuk Rageil agar bocah gembul itu berhenti menangis, kembali mengulas senyum. “Lha … makan sama ayam kan tinggal makan di deket ayam. Buka saja pintunya, nanti ayam-ayam kita juga bakalan langsung pada masuk. Makan sama ayam, kan, namanya? Paling yang ada, makan sama ayam bikin kamu diserang mereka karena mereka juga lapar!” gerutu Utari yang mulai makan sambil duduk di risban bersama Ibrahim dan Wulan.  Ucapan Utari si bocah kurus berparas manis itu sukses mengundang gelak tawa tanpa terkecuali Embun yang sedang mengumpulkan gerabah kotor di wajan bekasnya memasak. Mereka sampai terpingkal-pingkal. Akan tetapi, Ragiel yang tidak mengerti maksud Utari perihal “makan sama ayam” justru benar-benar mengikuti saran sang kakak, setelah bocah itu meletakan piring berisi makanannya di risban. Ragiel membuka tuntas pintu dapur dengan semangat. Sampai-sampai, suasana dapur yang awalnya damai, menjadi rusuh lantara ulah Ragiel sukses membuat ayam mereka yang jumlahnya terbilang banyak, masuk dapur dan langsung menyerang makanan-makanan mereka. ****  “Ibu sama Bapak enggak setuju kalau kamu menikahi Embun, Tam. Menikahi Embun tanggungannya berat. Ibunya Embun sudah sakit-sakitan dan perlu banyak biaya. Belum lagi, adik Embun juga banyak. Mau jadi apa, kamu, kalau harus menanggung beban mereka?” Sania ibu Rustam yang duduk di kursi dapur, tak hentinya menghela napas sambil mengelus dada.  Membayangkan Rustam yang akan hidup susah bila menikahi Embun, membuat matanya berkaca-kaca. “Belum apa-apa saja, rasanya sudah sesak banget. Ibu enggak sanggup bayangin kamu hidup susah, sedangkan hidup kita saja sudah begini.” Ucapan Sania sukses menciutkan nyali Embun yang kebetulan nyaris mengetuk pintu dapur rumah orang tua Rustam, dan kebetulan dibiarkan terbuka tuntas. Embun langsung merasa sangat lemas, terlepas dari ke dua matanya yang seketika terasa panas. Tak pernah terbayangkan oleh Embun, ketulusan Rustam tak direstui oleh orang tua pria itu, tak ubahnya orang tua Inggit terhadap Purnama.  Ramlan ayah Rustam yang duduk di hadapan Sania, membenarkan. Tangan kanannya menepuk bahu Rustam yang berdiri di antara mereka, menjadi sekat kebersamaannya dan Sania. “Itu kenapa, Bapak melamarkan Harti untukmu, sedangkan nanti malam, kita tinggal ke rumah Harti untuk meresmikan hubungan kalian,” ucap Ramlan. “Kita sama-sama tahu, Harti siapa. Dia calon guru SMP, dari keluarga berada, sedangkan Harti juga anak tunggal. Bisa Bapak sama Ibu pastikan, kamu akan hidup bahagia. Lagi pula, Harti enggak kalah baik dari Embun, kok, Tam.” Di balik dinding bilik sebelah pintu dapur, Embun yang sudah berlinang air mata masih menunggu tanggapan Rustam, meski Embun juga tidak mau berharap lebih. Embun telanjur trauma dengan apa yang telah menimpa Purnama. Cukup Purnama saja yang mencampakkan keluarga mereka, tidak dengan Embun.  Jika harus memilih, Embun lebih baik tidak menikah daripada pernikahan yang dijalani membuat dirinya harus mencampakkan keluarganya. Ibu dan ke empat adik Embun masih sangat membutuhkan Embun. Mereka hanya memiliki Embun. Mau jadi apa mereka, jika Embun sampai mengikuti jejak Purnama? “Tapi aku sudah cocok sama Embun, Pak ... Bu. Aku bahkan sudah janji ke Embun sekelurga. Lagi pula, kenapa juga kalian mendadak berubah, sedangkan sebelumnya, kalian biasa-biasa saja?” Suara Rustam akhirnya terdengar. Bersamaan dengan itu, Embun refleks terpejam, membuat butiran air matanya jatuh secara bersamaan.  Tangan kiri Embun yang tidak menenteng rantang susun selaku makanan yang ia siapkan khusus untuk Rustam, memukul-mukul dadanya yang terasa sesak sekaligus sakit. Itu juga yang membuat Embun memilih pergi dari sana, sebelum tangisnya semakin pecah. Embun menyeka cepat air matanya. Ia sengaja berjalan sambil menunduk lewat pekarangan belakang rumah Rustam, demi menghindari tatapan aneh para tetangga yang tak segan menyapa. **** Malamnya, sekitar pukul sepuluh, Embun terjaga seorang diri di ruang keluarga. Embun menatap sedih hidangan yang sudah menghiasi meja dan Embun siapkan khusus untuk Rustam sekeluarga yang berjanji datang untuk melamar. Hanya saja, hingga detik ini, Rustam tak kunjung datang dan menepati janji.  Sekitar setengah jam lalu, tetangga yang Embun tunjuk secara khusus untuk menerima lamaran, pamit pulang mengingat waktu yang sudah terlampau malam. Termasuk keempat adik Embun yang sampai ketiduran, padahal awalnya mereka sangat antusias ingin melihat proses lamaran. Keadaan kini sungguh membuat Embun takut berharap, setelah siangnya Embun mendengar sendiri pengakuan orang tua Rustam yang tidak menyetujui hubungan mereka, sedangkan hingga detik ini, Rustam belum mengabari Embun. Namun, ketukan pintu yang terdengar cukup buru-buru, sukses membuat Embun terjaga. Embun yang mengenakan pakaian lengan panjang warna biru muda dan terbilang rapi, buru-buru menyeka air matanya menggunakan kedua tangan.  Embun segera membuka pintu dan berharap, Rustam atau pihak Rustam yang datang. Namun, bukan. Yang datang bukanlah Rustam. Melainkan Teguh selaku tetangga Embun yang telah Embun tunjuk khusus untuk menerima lamaran. Wajah Teguh tampak pucat pasi, terlepas dari pria itu yang seolah merasa serba salah bahkan tidak nyaman. “Kenapa, Wa?” tanya Embun. Setelah tiga kali menelan salivanya, Teguh berkata, “Mbun, Uwa sudah pergi ke rumah Rustam buat memastikan. Tapi … tapi ternyata Rustam justru melamar Harti. Tadi, Uwa lihat sendiri di rumah si Harti, soalnya ibu Rustam sendiri yang kasih tahu kalau Rustam ada di sana!” Meski sudah menduga apa yang Teguh sampaikan akan terjadi, kabar tersebut tetap membuat Embun merasa sangat terpukul. Nyawa Embun seolah dicabut paksa, bersama Embun yang sampai tidak bisa mengontrol kesedihannya. Embun terduduk lemas tanpa bisa menahan air matanya untuk tidak mengalir. “Mbun … sabar. Mungkin kalian belum jodoh.” Teguh merasa semakin serba salah. Ia menatap prihatin Embun yang terlihat sangat terpukul bahkan hancur. Apalagi pagi tadi, Rustam sendiri yang mendatangi Teguh untuk menerima lamaran yang akan Rustam lakukan kepada Embun.  Yang membuat Embun merasa semakin berat, tak lain karena ketika ia menoleh ke belakang, ia mendapati Sutri. Di ambang pintu menuju ruangan dalam rumah yang hanya tertutup gorden lusuh, Sutri tertegun. Wajah kusut Sutri semakin pias, menahan kesedihan bahkan luka mendalam. Ekspresi yang selalu Embun dapati ketika Sutri mengingat sosok Purnama yang telah meninggalkan mereka. “Enggak apa-apa, Bu. Aku enggak apa-apa. Mungkin kami memang belum jodoh!” Embun ingin berucap demikian, tapi lidahnya telanjur kelu. Sakit, benar-benar sakit, ketika janji yang sempat membuat mereka sangat bahagia justru dibalas dengan luka. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD