bc

Di Balik Jerat Pernikahan

book_age18+
97
FOLLOW
1.3K
READ
billionaire
revenge
family
HE
love after marriage
fated
friends to lovers
arranged marriage
kickass heroine
single mother
heir/heiress
drama
sweet
bxg
lighthearted
kicking
bold
brilliant
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Sebasta Bayanaka Indrayan, seorang pebisnis muda sukses dengan kehidupan yang tampaknya sempurna, menyimpan satu rahasia: hatinya telah kehilangan arti kebahagiaan, kecuali saat bersama putri kecilnya, Calandra. Di balik tembok megah rumahnya, Ebas menjalani hidup yang penuh rutinitas dan kesepian, hingga suatu malam, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita misterius yang tergeletak tak sadarkan diri di tengah jalan.Wanita itu, Arunika Naladhipa, membawa luka fisik dan emosi yang dalam. Terjebak dalam pernikahan yang penuh kekerasan, ia akhirnya memilih melarikan diri dari neraka yang membelenggunya, tanpa tahu ke mana harus pergi.Ketika dua jiwa yang sama-sama terluka bertemu, kehidupan mereka berubah. Namun, rahasia dari masa lalu Nala, ancaman dari mantan suaminya, serta dunia bisnis yang penuh intrik dan tekanan, perlahan menyelimuti hubungan mereka.Apakah Ebas mampu melindungi wanita yang mulai mengisi ruang kosong di hatinya? Dan apakah Nala bisa menemukan kembali dirinya yang hilang di tengah ketenangan yang ditawarkan pria dingin itu?Di antara luka, ketakutan, dan harapan, cinta menemukan jalannya. Namun, cinta saja tidak cukup untuk melawan bayangan kelam dari masa lalu.

chap-preview
Free preview
1
Plakkk Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi mulus Arunika Naladhipa. Wanita berusia 25 tahun itu tersentak. Tubuhnya terhuyung, tapi matanya tetap terarah pada lelaki yang berdiri di hadapannya. Pipinya yang semula pucat kini memerah, bekas dari tangan kasar suaminya, Revangga Pamungkas. "Mas?!" serunya, penuh keterkejutan dan rasa sakit yang membuncah di d**a. Dia tidak tahu apa yang telah dia lakukan hingga membuat suaminya murka seperti ini. "Apa? Mau apa?!" Angga, begitu ia dipanggil, maju selangkah dengan tatapan yang penuh amarah. Nala mundur perlahan, punggungnya terbentur ke dinding. "Kau akan bicara kalau aku tega denganmu?!" Suaranya berat dan dingin. Seringai licik menghiasi wajah lelaki itu, menambah kengerian dalam hati Nala. "Jalang sepertimu memang pantas diperlakukan seperti ini!" pekiknya, tangan kasarnya dengan cepat meraih rambut panjang Nala, menariknya dengan kekuatan penuh. "Apa salahku, Mas?!" tangis Nala pecah. Tubuhnya gemetar, rasa sakit menjalar dari kulit kepala hingga ke hatinya. Namun, Angga tidak peduli. Matanya menyala seperti api, amarahnya tak kunjung reda. Ini bukan pertama kalinya dia memperlakukan Nala seperti ini. Sudah berulang kali, tapi kali ini entah kenapa terasa lebih menakutkan. "Kamu masih bertanya apa salahmu?!" raung Angga. PLAKK! Tamparan berikutnya menghantam pipi kanan Nala. Tubuhnya terhuyung dan jatuh ke lantai yang dingin. Nala terdiam sejenak, menahan perih yang kini terasa bukan hanya di tubuhnya, tapi juga di hatinya. Air mata mulai mengalir, tapi ia tetap memandang lelaki di depannya dengan tatapan yang seolah ingin mencari jawaban. "Kesalahanku adalah menikahimu, jalang!" tuding Angga tanpa rasa bersalah. Kata-katanya bagaikan pedang yang menusuk hati Nala. Dia mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah dan kekecewaan yang kini memuncak. "Apa kamu bilang?!" Nala akhirnya bangkit, meski tubuhnya gemetar. "Aku yang seharusnya berkata seperti itu! Seharusnya aku tidak pernah mau dijodohkan dengan lelaki biadab sepertimu!" Angga terdiam sejenak, lalu tertawa keras. Tawa itu dingin, tanpa rasa. "Keluargamu yang bodoh. Bukan aku yang mau menikahimu. Tapi keluargamu yang memohon-mohon kepadaku!" Dia mencengkeram rahang Nala dengan kuat, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Napas Angga yang panas terasa di wajah Nala, semakin membuatnya merasa terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Namun, di balik rasa takutnya, Nala merasakan sesuatu yang baru—keberanian. Sesuatu dalam dirinya berteriak untuk tidak lagi diam, untuk tidak lagi menjadi korban dari lelaki yang seharusnya menjadi pelindungnya. "Aku akan keluar dari neraka ini, Angga. Kamu tidak berhak lagi menyakitiku," bisiknya dengan suara penuh tekad. Angga tertegun sesaat, tapi seringainya kembali muncul. Wajahnya dipenuhi kemenangan yang dingin dan kejam. "Kita lihat, Nala. Aku akan pastikan kau tidak akan ke mana-mana." Dia melangkah mendekati pintu, tapi sebelum meninggalkan kamar, dia berbalik. Dengan suara rendah yang beracun, dia melanjutkan, "Jika kamu berani keluar dari rumah ini sejengkal saja, aku bisa membunuh orang tuamu." Nala terdiam. Tubuhnya membeku, seolah seluruh darahnya berhenti mengalir. Ancaman itu membuat hatinya mencelos, membuat setiap keberanian yang tadi terkumpul runtuh seketika. "Lelaki biadab! Lelaki b******n!" Teriak Nala penuh amarah saat Angga melangkah keluar kamar dengan santai, menguncinya dari luar tanpa sedikit pun rasa bersalah. Setelah mendengar bunyi kunci yang berputar, tubuh Nala lemas. Lututnya kehilangan daya, dan ia jatuh terduduk di lantai yang dingin. Tangannya meraba pintu, mencoba menggedor dengan sisa tenaga yang ada, tapi itu sia-sia. "Mas! Bukakan pintunya! Mas!" jeritnya, tetapi tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menjawab, membuat d**a Nala semakin sesak. Bahunya bergetar hebat. Isak tangis pecah, entah untuk yang keberapa kalinya. Rasanya lelah sekali. Lelah terus-menerus menangis, lelah terus-menerus berharap. Hingga rasanya air mata yang keluar pun sudah hampir mengering. Nala memeluk lututnya yang gemetar, menyandarkan kepala ke dinding dingin. Di sela-sela tangisnya, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. Apa dosa dan kesalahan keluarganya hingga dia harus menjalani hidup seperti ini? "Pa... Ma... Nala kangen..." bisiknya, lirih, seperti angin yang hampir tak terdengar. Semenjak menikah dengan Angga, Nala tak lagi memiliki kabar tentang kedua orang tuanya. Pernikahan ini adalah hasil perjodohan yang dipaksakan oleh keadaan. Bisnis ayahnya yang berada di ambang kehancuran membuat keluarganya terpaksa mencari bantuan pada keluarga Angga, salah satu keluarga kaya raya yang memiliki kerajaan bisnis properti. Awalnya, semuanya tampak normal. Angga menerima perjodohan ini tanpa protes, meskipun sikapnya dingin. Nala berpikir, mungkin dia hanya butuh waktu untuk bisa menerima dirinya. Mereka memang tidak saling mengenal, tapi Nala percaya, seiring waktu, cinta akan tumbuh. Namun, keyakinan itu hancur perlahan. Pernikahan yang awalnya biasa saja berubah menjadi mimpi buruk. Puncaknya terjadi suatu malam, saat Angga membawa seorang wanita asing ke rumah mereka. Tanpa malu, dia menggandeng wanita itu masuk ke kamar mereka—kamar yang seharusnya menjadi ruang sakral bagi mereka berdua. Nala tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Mas, siapa dia?" tanyanya saat itu dengan nada bergetar, mencoba menahan marah dan kecewa. Angga hanya tertawa kecil. "Bukan urusanmu," jawabnya dingin, lalu menutup pintu kamar di depan wajah Nala. Sejak malam itu, semuanya berubah. Angga mulai memperlakukannya dengan kasar, baik secara verbal maupun fisik. Dia membentak, memaki, bahkan tak segan melayangkan tangan ketika merasa tak puas. Nala tidak pernah melawan. Bukan karena dia tak ingin, tapi karena ancaman yang selalu menghantuinya. Angga menggunakan keluarganya sebagai alat untuk mengikatnya. "Jika kau melawan, orang tuamu akan menderita," begitu katanya. Ancaman itu menjadi tembok besar yang tak mampu Nala tembus. Ia tak berani berbuat banyak, takut sesuatu yang buruk akan menimpa keluarganya. Namun, malam ini terasa berbeda. Tangisnya yang biasa terasa seperti rutinitas, kini mulai bercampur dengan sesuatu yang lain—keinginan untuk bertahan, untuk melawan. "Ini tidak bisa terus seperti ini..." gumamnya lirih, meskipun hatinya masih penuh keraguan. Di dalam kamar yang terkunci, di tengah kegelapan yang sunyi, Nala tahu satu hal: jika dia tidak berbuat sesuatu, dia akan terus terjebak dalam neraka ini. Dan untuk pertama kalinya, dia mulai menyusun rencana. Sebuah jalan keluar dari penderitaannya. ***** Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Keheningan rumah terasa mencekam, hanya diiringi oleh suara jarum jam yang berdetak perlahan. Nala, yang masih meringkuk di sudut kamar, akhirnya menyerah pada rasa laparnya yang menggila. Sejak pagi tadi, tak ada sepotong makanan pun yang masuk ke tubuhnya. Perutnya melilit, memaksanya untuk bergerak. Dengan langkah pelan, dia membuka pintu kamar. Ternyata, kuncinya sudah dilepas. Mungkin Angga lupa menguncinya kembali, atau dia terlalu sibuk dengan dunianya. Nala keluar dengan hati-hati. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara. Dia menahan napas setiap kali lantai kayu di bawah kakinya mengeluarkan bunyi berderit. Tujuannya jelas: dapur. Setidaknya dia bisa mencari sisa makanan untuk mengganjal perut. Namun, ketika sampai di dapur, harapannya pupus. Semua lemari kosong, tak ada makanan di atas meja. Rasa kecewa melingkupinya, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. Saat dia bersiap untuk kembali ke kamar, suara-suara samar terdengar dari arah ruang tengah. Suara tawa kecil seorang wanita, gemerincing gelas, dan suara berat yang tak asing—Angga. Jantungnya berdegup kencang. Dia bergerak mendekati sumber suara dengan langkah pelan. Perlahan, Nala mengintip dari balik pintu dapur yang sedikit terbuka. Apa yang dilihatnya membuat tubuhnya membeku. Di ruang tengah, Angga duduk di sofa dengan seorang wanita asing di pangkuannya. Wanita itu mengenakan gaun tidur tipis yang hampir transparan, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rambutnya tergerai indah, dan senyumnya lebar, penuh godaan. Angga tampak santai, bahkan bahagia. Tangannya melingkari pinggang wanita itu, sementara wanita itu bermain-main dengan kancing kemejanya. Mereka tertawa bersama, seolah dunia hanya milik mereka berdua. "Mas..." gumam Nala tanpa sadar, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Air matanya langsung menggenang, tapi dia tak bisa bergerak. Tubuhnya membeku di tempat, terpaku oleh pemandangan yang menghancurkan hatinya. Wanita itu tertawa kecil, lalu berkata dengan nada manja, "Mas Angga, kenapa masih mempertahankan istri seperti itu sih? Dia tidak pantas untukmu." Angga tersenyum dingin. "Dia hanya boneka. Jangan khawatir, Sayang, waktunya tidak lama lagi." Kata-kata itu bagaikan pisau yang mengiris hati Nala. Boneka. Begitu rendah dirinya di mata suaminya. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Tapi dia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Jika dia ketahuan, Angga tidak akan segan melampiaskan amarahnya padanya. Dia berusaha mundur perlahan, tetapi sialnya lututnya menyentuh meja kecil di dekat dapur, menimbulkan suara keras. "Siapa di sana?" suara Angga menggema, nadanya tajam. Nala membeku. Tubuhnya gemetar ketakutan, tapi sebelum dia sempat kabur, Angga sudah berdiri di depannya. Wajahnya berubah muram, matanya memancarkan amarah. "Nala," katanya dingin. "Beraninya kau mengintip?" "Aku... Aku tidak sengaja," jawab Nala terbata-bata. Tubuhnya mulai mundur perlahan, tapi Angga bergerak lebih cepat. Dia meraih lengan Nala dengan kasar, menariknya mendekat. "Kau pikir kau siapa? Berani mencampuri urusanku!" PLAK! Satu tamparan keras mendarat di wajah Nala. Kepalanya terlempar ke samping, rasa perih menjalar di pipinya. Air matanya tumpah, tapi dia tidak berani melawan. Wanita yang tadi bersama Angga hanya tertawa kecil. "Dia lucu sekali, Mas. Memangnya dia pikir dia siapa?" katanya sambil memutar-mutar gelas anggurnya. Angga mencengkeram dagu Nala, memaksanya menatap langsung ke matanya. "Dengar baik-baik, Nala. Aku sudah muak denganmu. Jika kau berani melawan atau bahkan berpikir untuk meninggalkan rumah ini, orang tuamu akan jadi korban. Mengerti?" Nala tak bisa menjawab. Air matanya mengalir deras, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Dia hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya penuh dengan rasa sakit dan ketakutan. Angga mendorongnya ke lantai. "Pergi ke kamar. Sekarang." Dengan tubuh gemetar, Nala bangkit dan berjalan kembali ke kamarnya. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia menekan seluruh tubuhnya. Sesampainya di kamar, dia menutup pintu dan menjatuhkan dirinya ke lantai. Bahunya terguncang, tangisnya pecah tanpa bisa dihentikan. Tapi di balik tangisan itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam dirinya—sebuah keputusan. "Ini tidak bisa dibiarkan," bisiknya dengan suara serak. "Aku harus keluar dari sini, apapun risikonya."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.2K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
151.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
167.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
212.2K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
292.3K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.3K
bc

TERNODA

read
192.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook