6

1377 Words
Di kamar tamu mansion megah itu, suasana terasa sunyi. Hanya terdengar suara lembut Mirna, wanita paruh baya yang sudah bertahun-tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga di keluarga Ebas, mencoba membujuk Nala yang duduk diam di tempat tidur. "Nona manis, kau harus makan. Tubuhmu terlalu lemah, harus ada asupan yang masuk ke dalam perutmu," ujar Mirna dengan suara lembut, menyodorkan semangkuk bubur yang masih mengepul hangat. Namun, Nala hanya diam. Matanya menatap kosong ke depan, seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Mirna. Dia masih mengenakan piyama bersih yang diberikan padanya semalam, tetapi wajahnya tetap pucat, penuh kesedihan yang mendalam. "Sayang," Mirna mencoba lagi, kali ini dengan nada yang lebih pelan. "Kau butuh kekuatan untuk sembuh. Kalau tidak makan, bagaimana kau bisa merasa lebih baik?" Tetap tidak ada respons. Nala memeluk lututnya, menarik selimut ke bahunya, seolah ingin melindungi dirinya dari dunia luar. Mirna menarik napas panjang, meletakkan mangkuk bubur di atas meja kecil di dekat tempat tidur. Hatinya terasa berat melihat kondisi wanita muda ini. Matanya menyapu luka-luka memar yang masih samar terlihat di sekitar lengan dan wajah Nala. Luka-luka itu bercerita banyak, bahkan tanpa Nala harus mengucapkan sepatah kata pun. "Siapapun kau, anakku, pasti sudah melalui banyak hal," gumam Mirna lirih, matanya berkaca-kaca. "Tapi percayalah, kau aman di sini. Tuan Ebas tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi." Meskipun Nala tetap diam, Mirna tetap di sisinya, menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Sesekali dia menyeka peluh di dahi Nala, memastikan infus yang masih terpasang tidak terganggu. "Kalau kau tidak ingin makan sekarang, tidak apa-apa. Tapi nanti, kalau kau merasa lapar, mangkuk bubur ini ada di sini, ya?" ujar Mirna sambil tersenyum kecil, meskipun senyum itu terasa berat. Ketika Mirna hendak bangkit untuk membereskan sesuatu, Nala akhirnya mengeluarkan suara kecil. "Kenapa… kenapa aku di sini?" tanyanya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Mirna menoleh cepat, terkejut tetapi juga lega mendengar Nala berbicara. "Kau ditemukan oleh Tuan Ebas semalam, Nak. Dia membawamu ke sini karena kau tergeletak di tengah jalan. Tuan hanya ingin kau aman." Nala menatap Mirna dengan tatapan penuh kebingungan dan rasa takut. "Dia tidak akan… dia tidak akan menyakitiku?" tanyanya lagi, suaranya bergetar. Mirna menggeleng dengan cepat, menangkup tangan Nala dengan lembut. "Tidak, sayang. Tuan Ebas bukan orang seperti itu. Dia hanya ingin membantu. Tidak ada yang akan menyakitimu di sini." Untuk pertama kalinya, ada sedikit kilatan rasa lega di mata Nala. Meski masih ragu, dia akhirnya mengangguk pelan. Mirna mengelus punggung tangan Nala dengan lembut, memberikan sentuhan keibuan yang penuh kasih. "Istirahatlah. Aku akan tetap ada di sini kalau kau butuh apa-apa." Di dalam hati, Mirna bertekad untuk menjaga wanita muda ini sebaik mungkin. Bagaimanapun, dia bisa merasakan bahwa Nala sedang memulai perjalanan panjang untuk menyembuhkan dirinya, baik dari luka di tubuh maupun luka di hatinya. --- Di lorong mansion yang megah, Sari, babysitter kecil Cala, berjalan dengan hati-hati menuju dapur untuk mengambil sesuatu. Namun, langkahnya terhenti saat dia melihat Bu Mirna keluar dari kamar tamu. "Bu Mirna," panggil Sari pelan, menghampiri wanita paruh baya itu yang sedang membawa nampan kosong. Mirna menoleh, memberikan senyum tipis pada Sari. "Oh, Sari. Ada apa?" Sari melirik pintu kamar tamu yang tadi baru saja ditutup oleh Mirna. Dia tahu siapa yang ada di dalam kamar itu. Seluruh staf mansion sudah mendengar kabar tentang wanita yang diselamatkan oleh Tuan Ebas semalam. "Bagaimana keadaannya, Bu?" tanya Sari dengan nada pelan namun penuh rasa ingin tahu. "Saya dengar dari Pak Galih kalau wanita itu terluka cukup parah." Mirna menghela napas panjang, meletakkan nampan kosong ke atas meja kecil di dekatnya. Matanya terlihat sayu, mencerminkan rasa prihatin yang mendalam. "Dia masih sangat lemah, Sari. Tubuhnya penuh luka, dan dia tidak mau makan apa-apa. Dia kelihatan sangat ketakutan." Sari mengangguk pelan, hatinya ikut terenyuh. "Kasihan sekali... Pasti dia sudah mengalami sesuatu yang sangat berat." Mirna menatap Sari, lalu berkata dengan nada rendah, "Kau tahu, Sari, selama bertahun-tahun bekerja di sini, aku jarang sekali melihat Tuan Ebas membawa seseorang dari luar ke mansion ini, apalagi seorang wanita. Tapi kali ini... aku bisa melihat di mata Tuan, ada rasa tanggung jawab besar terhadap wanita itu. Mungkin Tuhan punya rencana untuknya." Sari terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Mirna. Dia tahu betapa dinginnya Tuan Ebas selama ini. Bahkan terhadap mendiang istrinya, Sari hampir tidak pernah melihat Ebas menunjukkan perhatian yang tulus, apalagi cinta. Pernikahan Ebas dan almarhum istrinya dulu hanyalah hasil perjodohan keluarga. Tidak ada romansa, hanya sekadar memenuhi kewajiban dan nama baik keluarga besar mereka. Namun, kali ini berbeda. "Saya juga merasa aneh, Bu," ujar Sari akhirnya. "Tuan Ebas... biasanya tidak peduli seperti ini. Bahkan waktu Ibu Almarhumah sakit dulu, beliau tetap sibuk bekerja. Tapi wanita ini..." Mirna mengangguk, wajahnya menunjukkan pemahaman yang sama. "Aku juga melihatnya, Nak. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang menyentuh sisi lain dari Tuan Ebas. Sisi yang selama ini mungkin dia sendiri tidak sadar dia miliki." Sari menghela napas panjang, memandang pintu kamar tamu dengan tatapan iba. "Semoga dia bisa pulih, Bu. Saya juga merasa iba. Rasanya seperti dia tidak hanya terluka fisik, tapi juga jiwanya." Mirna menatap pintu kamar itu dengan tatapan lembut. "Benar, Nak. Luka fisik bisa sembuh dengan cepat, tapi luka hati... itu yang lebih sulit. Dan aku rasa, hanya Tuhan yang bisa benar-benar menyembuhkan itu." Sari mengangguk pelan. "Kalau ada yang bisa saya bantu, Bu, tolong beri tahu saya. Meski saya babysitter Cala, saya ingin membantu semampu saya." Mirna tersenyum hangat, menepuk pundak Sari dengan lembut. "Kau gadis baik, Sari. Kalau ada yang perlu, aku pasti akan memberitahumu." Sari tersenyum kecil, lalu melanjutkan perjalanannya ke dapur. Namun, pikirannya tetap tertuju pada wanita malang itu. Di dalam hatinya, dia berdoa agar wanita itu menemukan kekuatan untuk bangkit dan menemukan kembali hidupnya. Sementara itu, Mirna kembali masuk ke kamar tamu, bersiap untuk mencoba membujuk Nala agar makan sesuatu. Dia tahu ini akan menjadi perjalanan panjang, tapi dia juga yakin, dengan kasih sayang dan kesabaran, mereka bisa membantu wanita itu menemukan harapan baru. Di sisi lain, Di ruang kerja megah IDY Corp, Ebas duduk bersandar di kursi CEO-nya yang besar dan nyaman. Matanya menatap ke luar jendela kaca besar yang menghadap kota metropolitan yang sibuk, namun pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan wanita yang ditemukan di tengah jalan beberapa malam lalu—sosok lemah dengan luka yang membekas, baik di tubuh maupun di hati. Dia menghela napas panjang, mencoba mencerna apa yang sebenarnya dirasakannya. Kenapa aku memikirkan ini begitu dalam? gumamnya dalam hati. Dulu, saat istrinya masih hidup, bahkan di saat-saat kritis sekalipun, dia tidak pernah merasa seperti ini. Semuanya terasa datar, hanya sekadar kewajiban yang harus dijalani. Pernikahannya dulu bukanlah pernikahan atas dasar cinta, hanya formalitas keluarga besar. Namun kali ini berbeda. Melihat wanita itu—rapuh dan penuh luka—membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sebuah tanggung jawab besar yang membuatnya tidak tenang. Dia menggeleng pelan, mencoba mengusir bayangan itu, namun sia-sia. Lamunannya terputus saat suara ketukan di pintu terdengar. Tanpa menunggu izin, seorang wanita muda masuk. Pakaiannya rapi dengan blus putih dan rok pensil hitam yang pas, namun ada kesan centil di gerak-geriknya. "Pak Ebas, ini jadwal Anda untuk hari ini," ucap Elvira, sekretaris pribadinya, sambil melangkah mendekat. Senyumnya manis, namun ada nada menggoda dalam suaranya. Ebas mendongak dengan ekspresi datar. "Letakkan saja di meja, Elvira," jawabnya singkat, tanpa memberikan tatapan lebih. Namun, Elvira tidak segera menurut. Ia justru mencondongkan tubuhnya sedikit, seolah mencari perhatian dari bosnya yang dingin itu. "Pak, Anda terlihat lelah. Jangan lupa, setelah ini Anda ada rapat dengan para investor. Saya bisa menyiapkan sesuatu untuk membuat Anda lebih rileks sebelum pertemuan, kalau Anda mau." Nada bicaranya jelas lebih dari sekadar profesional. Tapi Ebas tetap tidak terpengaruh. "Tidak perlu," katanya singkat. "Fokus saja pada pekerjaanmu." Elvira tampak sedikit kecewa, namun ia segera menguasai dirinya. "Baik, Pak. Kalau begitu, saya akan keluar. Kalau butuh apa-apa, tinggal panggil saya saja," katanya dengan senyum yang dipaksakan. Ebas hanya mengangguk, dan Elvira pun melangkah keluar dengan langkah yang disengaja terlihat anggun. Begitu pintu tertutup, Ebas menghela napas panjang. Pikirannya kembali pada wanita yang ditolongnya. Dibandingkan dengan tingkah Elvira yang penuh kepura-puraan, ada sesuatu yang tulus dan menyedihkan dalam tatapan wanita itu. Sesuatu yang terus membekas di pikirannya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sejenak. Aku harus tahu lebih banyak tentang dia, pikirnya dalam hati. Bagaimanapun juga, sesuatu dalam hidup wanita itu telah mengubah dirinya, meskipun ia belum tahu apa itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD