AKU BUTA, MA!

1002 Words
Alea menghentikan ucapannya, air matanya kembali mengalir. Bayangan masa lalu itu kembali hadir membuat dadanya terasa sesak. Sementara itu, Bian mengepalkan tangannya erat saat rasa sakit mengalir ke seluruh ruang hatinya. Betapa jahatnya dia dulu pada perempuan yang saat ini menangis di atas dadanya itu. Bian terdiam menahan tangisnya. Ia mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya yang terasa berdenyut. Betapa bodohnya dia dulu karena terus menyakiti hati Alea. Seandainya saja dirinya bisa mengulang waktu, Bian pasti tidak akan pernah menyia-nyiakan Alea. Tidak akan pernah! "Kalau bukan karena pria itu yang menyelamatkan aku, mungkin saat ini aku hanya tinggal nama. Seandainya pria itu tidak menemaniku saat aku terpuruk karena perbuatanmu, mungkin saat ini aku sudah gila dan berakhir di rumah sakit jiwa." Laksana anak panah yang langsung menghujam jantungnya, napas Bian seolah dipaksa berhenti saat mendengar kata-kata Alea. Jantungnya serasa diremas-remas saat mendengar ucapan Alea berikutnya. "Luka yang kamu berikan padaku begitu dalam, Bian, hingga membuatku mati rasa. Tapi sialnya, aku masih merasa kesakitan saat melihatmu seperti ini." Alea menghapus air matanya dengan kasar. "Bangunlah! Aku berjanji akan merawatmu hingga kamu sembuh. Aku tidak ingin berhutang budi padamu karena meskipun kamu menyelamatkan aku, sakit di hatiku karena perbuatanmu tidak akan pernah bisa hilang." Alea kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Bian. air matanya menetes, jatuh membasahi pipi Bian. "Selamanya, kamu akan menjadi seseorang yang pernah sangat aku cintai, sekaligus orang yang paling aku benci, Bian Aditama." Alea mendaratkan bibirnya cukup lama di kening Bian. Perempuan itu bergegas bangkit, kemudian menatap perawat yang saat itu masih berdiri di belakangnya. "Terima kasih, Suster." Perawat itu mengangguk sambil tersenyum kemudian mengantarkan Alea sampai ke depan pintu. Sementara itu, Bian perlahan membuka kedua matanya. Namun, pria itu merasa terkejut saat ia membuka mata. Dadanya bergetar karena rasa takut. Dalam pandangan Bian, semuanya terlihat gelap. Bian kembali memejamkan matanya, kemudian membukanya perlahan-lahan. Kepalanya menggeleng pelan, "Tidak mungkin ...." "Suster." Perawat yang tadi mengantar Alea ke depan pintu, buru-buru mendekati Bian. "Kenapa semuanya gelap, Sus?" suara Bian terdengar lirih. Dahinya mengernyit menahan rasa sakit yang menyerang ke seluruh tubuhnya. Sang perawat memencet tombol, tetapi, tak urung dengan segera dia berlari keluar memanggil dokter yang saat itu masih berada di depan pintu ruangan. Beberapa dokter yang akan memeriksa Bian memang sudah berada di depan pintu beberapa menit sebelum sang perawat menyuruh Alea keluar dari ruangan itu. Di dalam ruangan, Bian berteriak histeris saat menyadari nikmat Tuhan yang terpenting dalam hidupnya menghilang. Sementara di luar ruangan, Laras dan Aditama menangis sambil berpelukan. Bian tersentak kaget saat merasakan belaian lembut mengusap bahunya. "Kamu sudah terlalu lama berjemur, sebaiknya kamu masuk sekarang." Suara lembut Laras menyapa pendengaran Bian. Pria itu kemudian mengangguk dan membiarkan Laras mendorong kursi rodanya menuju kamar. Saat itu, dia tersadar setelah mendengar suara tangis Alea yang begitu menyayat hatinya. Awalnya, ia mendengar suara Kenzo, tetapi, ia tidak bisa terbangun. Namun, saat mendengar suara tangisan dan kata-kata yang keluar dari mulut Alea, perlahan kesadarannya berangsur pulih. Bian ingin sekali merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Namun, setiap kalimat yang keluar dari mulut Alea menikam hatinya dan meremas jantungnya tanpa ampun. Betapa bodohnya dia karena pernah membiarkan perempuan itu menangis karena perbuatannya. Betapa jahatnya dia di masa lalu karena membiarkan perempuan yang sangat mencintainya itu terluka dengan begitu dalam. "Bahkan ribuan kata maaf pun, rasanya takkan pernah bisa menghapus semua luka yang sudah aku ukir terlalu dalam di hatimu, Alea." Bian mengembuskan napas panjang. Menuruti keinginan Laras untuk masuk ke dalam kamar. Pria itu hanya terdiam saat Laras kemudian membantunya turun dari kursi roda dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang. "Istirahatlah! Semalaman kamu tidak tidur." Laras membelai rambut Bian. "Bian, kamu harus bangkit. Kamu harus kembali menata hidupmu. Mama dan Papa masih mencarikan donor mata. Mudah-mudahan, sebentar lagi Mama bisa menemukan seseorang yang mau mendonorkan kedua matanya untukmu," jelas Laras, masih membelai rambut Bian. Bian hanya mengangguk mendengar ucapan Laras. Pria itu kembali tenggelam pada masa lalu. Saat ia baru pertama kali mengetahui kalau dirinya harus kehilangan penglihatan dan juga kedua kakinya. Rumah Sakit, tiga tahun yang lalu .... Bian menjerit histeris, sesaat setelah kepergian Alea dari ruangan itu. Beberapa orang dokter masuk ke dalam ruangan dan langsung memberi tindakan pada Bian. Pria itu terus meronta, mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Bian benar-benar tidak percaya kalau dia tidak bisa melihat apapun. Semuanya tampak gelap, meski dia sudah membuka kedua matanya lebar-lebar. Dokter dibantu beberapa perawat kemudian langsung menyuntikkan obat penenang pada Bian. "Apa pasien mengalami kebutaan, Dok?" tanya salah satu perawat yang ikut membantu dokter menyuntikkan obat penenang pada Bian. "Untuk lebih jelasnya, kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi," ucap sang dokter sambil memeriksa beberapa bagian tubuh Bian. Sang perawat mengangguk, kemudian ikut membantu sang dokter menyiapkan beberapa alat medis yang akan dipakai untuk memeriksa pasien. Sementara itu, Laras dan Aditama masih menunggu dengan cemas di luar ruangan. Mereka sedang menunggu dokter keluar dari ruangan itu agar mereka bisa bertanya tentang keadaan anaknya. *** Beberapa jam berlalu, Laras dan Aditama akhirnya diizinkan masuk ke dalam ruangan. Dokter mengatakan, pasien sudah sadar dan ingin bertemu dengan kedua orang tuanya. Saat Laras baru saja masuk, air matanya langsung mengalir membasahi pipinya. Perempuan paruh baya itu tak kuasa menahan kesedihannya melihat keadaan Bian. Aditama berdiri di samping Laras, merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Laras dan Aditama kemudian mendekati Bian. Dua orang perawat masih berjaga sambil terus memantau kondisi Bian. Bian baru saja terbangun setelah beberapa jam tertidur karena efek obat penenang. Pria itu mengerjapkan kedua matanya. Laras mengusap tangan Bian, air matanya tak berhenti mengalir. Begitu juga dengan Aditama. "Bian." Laras memeluk Bian dengan hati-hati. "Mama." Suara Bian bergetar, pria itu menangis saat Laras melingkarkan tangan pada tubuhnya. "Aku tidak bisa melihat, Ma. Semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat, aku buta, Ma. Aku buta." Bian menangis pilu. Sementara Laras dan Aditama terlihat kaget. Mereka menatap Bian tak percaya. "Aku buta, Ma. Aku buta." "Tidak mungkin. Kamu pasti bohong 'kan, Bian?" Laras menggeleng tak percaya. "Aku tidak bohong, Ma. Aku tidak bisa melihat, semuanya gelap. Aku tidak bisa lihat wajah Mama ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD