INI ADALAH TAKDIR

1060 Words
"Aku tidak bohong, Ma. Aku tidak bisa melihat, semuanya gelap. Aku tidak bisa lihat wajah Mama ...." Bian terus menangis, membuat Laras kembali memeluk Bian. "Mama." Bian menangis. Meluapkan semua kesedihannya. Pria itu tidak menyangka, kalau kecelakaan itu menyebabkan dirinya kehilangan penglihatan. Mereka bertiga menangis sambil berpelukan. Saat itu, Bian baru mengetahui penglihatannya yang menghilang. Akibat rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bian tidak menyadari kalau kedua kakinya pun terpaksa diamputasi. Pada saat kecelakaan, kedua kaki Bian terlindas ban mobil hingga menyebabkan kedua kakinya hancur. Setelah puas menangis, Bian kembali menjerit histeris saat menyadari kalau dia ternyata juga kehilangan kedua kakinya. Aditama dan Laras berusaha menenangkan Bian, dibantu dua orang perawat yang tadi masih berjaga. Tubuh Bian terus meronta, tetapi kemudian dia menyerah saat merasakan sakit yang begitu terasa di bagian tubuhnya yang terluka. Terutama pada kakinya yang terlihat kembali mengeluarkan darah akibat pergerakan tubuh Bian yang terus meronta. Perban di kedua kakinya terlihat basah dan berwarna merah. Bian menangis di pelukan Laras. Pria itu menangis pilu. Rasa sakit di hatinya mengalahkan rasa sakit di tubuhnya. Kedua kenyataan itu, membuat hidup Bian hancur seketika. "Bawa aku pergi dari sini, Ma, sekarang juga. Aku tidak mau tinggal di sini. Aku tidak mungkin bisa menemui Alea dalam keadaan seperti ini," ucap Bian di sela tangisnya. "Aku tidak mau membuat Alea bersedih karena melihat keadaanku seperti ini. Aku tidak mau melihat perempuan itu menangis lagi karena aku." Entah mengapa, dalam keadaan seperti ini, Bian justru mengingat perempuan itu. "Selama ini, Alea sudah cukup menderita karena aku, Ma." Bian masih terus menangis. Hatinya serasa dipukul dengan palu besar. Padahal, baru saja beberapa jam yang lalu Bian tersadar karena mendengar suara Alea. Dia masih ingat jelas, hangat bibir Alea yang mencium keningnya. Saat itu, Bian mempunyai sedikit harapan. Bian berpikir, saat ia masih sakit, Alea benar-benar memenuhi janjinya untuk merawatnya walaupun hanya sebentar. Namun, kini harapan itu musnah sudah. Mendengar tangis Alea yang merasa bersalah padanya saja, hatinya terasa sakit. Apalagi, saat Alea tahu kalau Bian mengalami cacat akibat kecelakaan itu. Perempuan itu pasti akan lebih merasa bersalah dan pasti akan menyalahkan dirinya sendiri. Bian masih sangat ingat kata-kata Alea yang tidak ingin berhutang budi padanya. "Bukankah, ini bisa jadi kesempatan agar Alea bisa kembali bersamamu, Bian? Kalau bukan karena menyelamatkan Alea, kamu pasti tidak akan seperti ini," ucap Laras. Rasanya, ia ingin menjadi egois dengan menumpahkan semua kesalahan pada Alea. Kalau bukan karena menyelamatkan perempuan itu, saat ini Bian pasti baik-baik saja. "Alea sudah cukup menderita karena aku, Ma. Aku tidak mau membuat Alea lebih menderita lagi." "Bian." Laras menatap Bian tak percaya, begitupun Aditama. "Bian, apa kamu yakin? Kamu bisa menggunakan kesempatan ini untuk merebut Alea dari pria itu. Papa yakin, Alea pasti tidak akan menolak untuk merawatmu." Aditama ikut memberi saran. "Papa, aku tidak mau melihat perempuan itu terus menangis dan menderita karena aku. Apalagi, saat ini Alea sudah tidak mencintaiku lagi. Aku tidak mungkin bisa kembali merebut hatinya, karena hati Alea sekarang milik pria itu." "Aku tidak ingin membuat Alea menangis lagi, Pa. Sudah cukup selama ini dia menangis karena aku. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin dia bahagia bersama orang yang dicintainya saat ini." Bian menangis. Bibirnya bergetar saat mengatakan kata-kata itu. Sungguh! Dalam hatinya yang paling dalam, dia sama sekali belum rela melepaskan perempuan yang sangat dicintainya itu. Laras memeluk Bian sambil terus menangis. Aditama pun tak kalah sedih, melihat putra kebanggaan dalam keadaan seperti ini, membuat hati pria paruh baya itu hancur berkeping-keping. Namun, ia harus kuat. Sebagai kepala keluarga, dia tidak ingin terlihat lemah. Kalau dia lemah, siapa yang akan menguatkan dua orang rapuh di depannya ini? Aditama masih terus menatap kedua orang yang dicintainya itu dengan sedih. Pria paruh baya itu segera menghapus air matanya kemudian mendekati mereka berdua. "Kalau kamu memaksa ingin pergi dari sini sekarang juga, Papa akan segera mengurusnya," ucap Aditama pada Bian yang masih terlihat menangis. "Papa, jangan beritahu siapapun kalau aku pergi dari sini. Rahasiakan kepergianku, Pa. Jangan sampai siapapun mengetahuinya," pinta Bian. "Baiklah, kalau itu mau kamu. Papa akan menyuruh semua anak buahmu untuk berjaga-jaga karena orang-orang Kenzo dan Rajasa juga banyak yang berkeliaran di rumah sakit ini." "Mereka di rumah sakit ini?" "Iya. Mereka menjaga Alea yang masih berada di rumah sakit ini. Mereka juga menjagamu, memastikan kalau kamu baik-baik saja setelah menolong Alea," jelas Aditama. Bian mengangguk mengerti, sementara Laras menghapus air matanya. "Jaga Bian sebentar, Ma. Papa mau menemui dokter yang memeriksa Bian." Laras mengangguk mendengar ucapan Aditama. Aditama keluar dari ruangan untuk menemui dokter. Laras mengusap air mata Bian. Perempuan paruh baya itu menatap putranya dengan hati sakit. Laras sungguh tidak menyangka kalau Bian akan mengalami semua ini. "Kamu harus sabar, Bian. Mama yakin, Allah pasti punya rencana yang baik untukmu." Laras terisak menatap Bian. "Ada Mama dan Papa yang akan selalu menemanimu. Mama dan Papa akan melakukan apapun yang terbaik untukmu," lanjut Laras mencoba tegar di depan Bian. "Terima kasih, Ma. Tapi, ini seperti mimpi buruk bagiku, Ma. Kenapa di saat aku ingin memperbaiki semuanya dengan Alea, aku justru harus mengalami seperti ini?" Bian kembali menangis. Laras memeluk putranya. Hatinya ikut hancur melihat kenyataan pahit yang menimpa Bian saat ini. Bian masih muda, dia masih punya masa depan yang panjang. Saat ini dia juga mempunyai tanggung jawab memimpin perusahaan yang diwariskan Aditama untuknya. Perusahaan yang mulai maju pesat, semenjak Aditama mempercayakan perusahaan itu pada Bian. Laras sungguh-sungguh tidak bisa membayangkan kehidupan yang akan dilalui Bian selanjutnya. "Mama, kenapa Tuhan tidak sekalian saja mencabut nyawaku? Aku tidak mungkin sanggup hidup seperti ini, Ma." Laras memeluk Bian sambil terus menangis. Sementara dua perawat yang berada dalam ruangan itu ikut meneteskan air mata. "Bian, kamu tidak boleh ngomong seperti itu, Nak. Kalau kamu tidak ada, lalu bagaimana dengan Mama dan Papa?" Mereka berdua kembali menangis. Laras tak kuasa mendengar kata-kata Bian selanjutnya. Perempuan paruh baya itu terus memeluk Bian, memberikan kekuatan pada putra kesayangannya itu agar dia bisa kuat menghadapi kenyataan pahit yang kini menimpanya. "Menyelamatkan perempuan itu adalah pilihanmu. Kamu sangat tahu resiko yang besar yang akan kamu alami saat itu, tetapi, kamu dengan berani mengabaikan resiko itu." Laras menghapus air mata Bian. "Bian, ini adalah takdir. Kamu harusnya bersyukur karena kamu masih punya kesempatan untuk bernapas hari ini. Meskipun dengan kondisi yang berbeda dengan sebelumnya." "Pergunakan kesempatan ini untuk memperbaiki diri, Bian. Mama yakin, Tuhan pasti punya rencana yang bagus dibalik semua kejadian yang menimpamu saat ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD