🎤: Birdy & RHODES
Aku sudah memilih. Dan setiap hari, aku akan memilihnya lagi. Bukan karena kamu buruk, tapi karena bersamanya ... aku merasa begitu tenang.
***
Hari Kamis pagi. Langit Jakarta berwarna kelabu, seolah tau aku belum sepenuhnya siap untuk kembali ke rutinitas. Honeymoon kami hanya tiga hari—yang syukurnya berakhir manis tanpa bertemu lagi dengan Kak Ajeng. Healing moment itu rasanya terlalu singkat jika dibandingkan panjangnya waktu yang kutunggu untuk bisa merasa utuh.
Aku melangkah keluar dari kamar mandi, surai basahku masih terbungkus handuk. Aku menghidu, mendapati wangi masakan yang menyusup lewat celah pintu. Pasti Mas Ay yang mencuri start menguasai dapur saat aku sibuk membersihkan diri.
Masih mengenakan bathrobe, aku meninggalkan kamar, mendapati ia di dapur kami, tengah menggoyang wajan—like a pro—seraya menyenandungkan Somewhere Only We Know. Aku diam beberapa langkah darinya, menyimak setiap gerakannya yang tampak seksi di mataku. Orang bilang, jika ada seseorang yang memperhatikan sepenuh hati, ‘radar’ kita pasti teraktivasi. Sepertinya itu sebabnya suamiku menoleh ke balik punggungnya, mendapatiku yang menatapnya takjub.
“Kok Mas masak sendiri sih?” sambatku.
“Chef of the day,” jawabnya santai. “Istrinya kan harus siap balik ke kantor. Suaminya juga, meski karena batalin cuti.”
Aku terkekeh. “Mas yakin batalin cuti beneran?” tanyaku seraya mengambil lap dan menyeka meja makan kami.
“Aku malas di rumah sendirian,” jawabnya. “TV juga ngga ngajak ngobrol.”
“Memangnya Mas ngga capek?”
“Mau bikin Mas capek, Dek?”
“Malah nyerempet!”
“Kamu duluan lho.”
Aku menghela napas panjang, masih ada sisa senyum di bibirku. “Perasaan, bangun tidur tadi ada yang janji mau ngajarin Nara masak,” ujarku lagi.
“Kan Mas ngga bilang harus pagi ini belajarnya,” elaknya.
“Ngeles aja.”
Ia terkekeh. “Nanti, pas waktu pagi kita agak santai. Oke?”
Aku mendekatinya, berdiri di sampingnya.
“French toast. Isinya cuma keju. Kita belum belanja,” ujarnya lagi. “Pulang kantor, sambil nyari makan malam. Gimana?”
“Oke, Mas,” sahutku. “Nara siapin piring deh. Sama ….” Aku menyapukan pandangan. “Yang di sloki itu espresso?”
“Iya, sayang. Mas mau long black, buat kamu latte-susunya sudah Mas hangatkan.”
“Long black?”
“Air panas dulu, tiga per empat mug, baru tuang espressonya.”
“Oh, americano.”
“Bukan, Dek. Kalau americano, espressonya disiram air panas.”
“Sama aja, Mas.”
“Beda. Pembuatan americano itu menghilangkan crema di espresso, jadi rasanya lebih ringan. Kalau long black karena espressonya dituang perlahan belakangan, crema-nya tetap utuh di permukaan, rasanya lebih intens dan wangi.”
Aku mencengir kaku. Entah kenapa otakku tetap saja ngotot jika itu adalah jenis kopi yang sama.
Mas Ay terkekeh, mungkin ia tau isi pikiranku, namun tak sampai hati mendebat istrinya ini. “Bisa ngga?” tanyanya lagi.
“Bisa.”
“Oke,” sahutnya. “Toast-nya mau dibikin crispy di bagian luar ngga, Dek?” tanyanya kemudian.
“Iya, Mas. Mau. Agak gosong-gosong gitu, ya Mas?”
“Siap!”
“Jangan terlalu enak, Mas.”
“Kenapa memangnya?”
Aku terkekeh pelan. “Nanti bikin aku overloving ke Mas.”
“Mas bikin enak banget kalau gitu.”
Kami bersiap sarapan bersama dengan aku yang masih mengenakan bathrobe dan suamiku yang masih mengenakan pakaian tidurnya. Aku melepas handuk dari kepalaku. Mas Ay meletakkan piringku, mencium pelipisku lalu duduk berhadapan denganku.
“Enak?” tanya suamiku begitu suapan pertama masuk ke mulutku.
“The best!” sahutku setelah menelan kunyahan.
Ya, ini adalah sarapan terbaik sepanjang hidupku. Tenang, lezat, tak ada yang membuat keruh suasana, dan tentunya bersama seseorang yang begitu menyayangiku.
***
Aku sudah berusaha merayu suamiku agar diizinkan menggunakan skuter matic sejuta umatnya. Masalahnya, gagal! Yang ada, Mas Ay justru memboncengku menggunakan motor itu. Ia bilang, belum ada solusi lebih baik dari ini.
Ini adalah tahun keduaku di Verra & Co.-perusahaan konsultan strategi merek dan agensi periklanan kreatif yang berbasis di Jakarta, dengan cabang di Singapura dan Kuala Lumpur. Aku adalah seorang copywriter di Divisi Kreatif. Sementara suamiku adalah Kepala Divisi Marcomm. Dan departemen kami selalu berinteraksi erat di setiap proyek. Mungkin itulah sebabnya begitu kami tiba di lobi tadi, Pak Buana atau yang biasa kami sapa Mr. B-atasanku sekaligus Creative Director-menyuruhnya hadir langsung di meeting pagi ini. Divisi Brand Strategy and Digital Campaign tengah menyiapkan pitch untuk klien baru, sebuah perusahaan sustainable skincare yang ingin menyasar pasar Gen Z.
Karena masih kick of meeting, aku belum dilibatkan. Aku masih harus menunggu draft konsep dari Tirta—Senior Visual Creative di tim kami. Aku menatap kursinya yang kosong, bertanya-tanya; apa yang ia dan Mas Ay rasa saat berada di dalam satu ruangan seperti pagi ini? Apakah mereka saling menatap dingin? Apakah mereka bisa fokus ke pekerjaan? Apakah mereka saling bicara?
Aku menghela napas panjang. Lalu menyeringai tipis. Jangan-jangan cuma aku yang terlalu mendramatisir situasi.
Satu jam berlalu sejak jam kerja dimulai. Tirta melangkah bersama Mr. B seraya berdiskusi, mengekorinya masuk ke ruangan beliau, sepertinya keduanya terlibat diskusi yang cukup seru. Aku menatap ponselku, memeriksa notifikasi, tak ada pesan dari Mas Ay. Apa mungkin ia sudah kembali ke kantor pusat?
Saat aku mengangkat kepalaku, menegakkan punggungku, Daja-salah satu OB di sini, meletakkan mug berisi latte hangat di mejaku. Aku baru saja hendak bertanya saat ia menunjuk sopan ke arah pintu. Mas Ay di sana, tersenyum teduh.
“Kopinya dari Mr. A3, Mbak. Dibuat dengan cinta,” ujar Daja.
Aku terkekeh renyah. “Makasih, ya Ja.”
“Sama-sama, Mbak.”
Lalu aku meninggalkan kursiku, mendekati suamiku.
“Mas ke HO, ya Dek?” ujarnya.
“Iya, Mas.”
“Sana, balik kerja. Mas mau pamit aja, kok.”
Aku mengangguk. “Fii amanillah, Mas Ay.”
Ia mengulurkan tangan, sejenak mencengkeram lembut lengan kiriku. “Ma’assalaamah, Dek Ai.”
Aku menatap punggungnya yang menjauh hingga menghilang di balik selasar. Napasku terasa ganjil—ada ruang kosong yang tertinggal, meski kami hanya berpisah sebentar. Namun seperti biasa, aku tak sempat meresapi perasaan itu terlalu lama. Rutinitas segera memanggil.
Baru saja aku duduk kembali di kursiku, sebuah notifikasi email munjul di pojok layar komputerku. Tirta mengirim email berjudul “Concept Draft: ‘Let Nature Reclaim’” kepada tim Content, di mana aku termasuk di dalamnya. Aku mengangkat pandanganku lagi, ia masih di ruangan Mr. B dengan laptop yang terbuka.
Beberapa menit setelahnya, begitu meninggalkan ruang Creative Director, Tirta menghampiri mejaku. Aku … tentu saja tak mungkin pura-pura tak melihatnya. Lagipula, aku tak punya alasan berlaku konyol seperti itu.
“Hai, Ra,” sapanya.
Aku mengangguk. “Hai.”
“Aku udah kirim email draft konsep visual buat yang skincare itu. Boleh kubantu jelasin dulu garis besar tone-nya? Biar copy kamu bisa nyambung sama footage dan color mood-nya.”
“Oh. Boleh, Ta.” Aku mengeluarkan kursi tanpa sandaran dari bawah mejaku. “Duduk aja,” ujarku kemudian.
Ia benar-benar menjelaskan konsep project itu padaku, detail demi detail, matanya tak benar-benar menatapku. Tanpa gugup, tanpa canggung, sungguh profesional. Tutur bahasanya sopan, bahkan agak resmi, dan jujur saja … sudah lama aku tak mendengarnya bicara seperti ini. Namun, tentu saja, sebenarnya kami sama-sama menjaga jarak, bukan karena tak saling kenal, namun justru karena terlalu saling tau. Begitu penjelasannya selesai, hening ‘duduk’ di antara kami. Rasa canggung tiba-tiba saja hadir. Kebingungan turut menyapa. Aku tak tau harus bicara apa. Ia pun sepertinya demikian. Seolah kami—dua orang dewasa—masih mencoba mencari tau bagaimana cara berbicara tanpa mengungkit masa lalu.
“Kalau sudah jelas, nanti kamu bisa eksplor tone yang kamu rasa paling cocok ya,” ujarnya setelah jeda yang cukup panjang.
“Oke,” jawabku singkat.
Ia menepuk kedua pahanya. “Selamat bekerja, Nara,” pungkasnya. Tak ada obrolan ringan seperti dulu. Dan anehnya, aku mensyukuri itu.
“Thanks, Ta,” sahutku singkat.
Anggukan dan senyum simpulnya menjadi jawaban. Kemudian ia berdiri, kembali ke mejanya.
Waktu bergulir tanpa terasa. Jam makan siang pun tiba. Seperti biasa, aku dan beberapa teman sedivisi duduk di satu meja.
“Cie … pengantin baru, bercahaya banget nih mukanya,” canda Beth-salah satu tim Soci4l Media Content Lab. “Gimana rasanya, Ra?”
“Rasa apaan?” tanya Rega. “Yang begituan dijelasin rasanya kalau belum pernah praktek langsung mah ngga bakal ngerti Beth.”
“Ngeres banget ya otak lo!” timpal Beth.
“Lah? Kok jadi ngeres? Begituan tuh nikah maksud gue. Lo mikirin apa, hah? Nakal kamu!”
Kami tergelak kompak. Aku mulai menyuap makan siangku, dengan titik pandang yang menyapu break area. Biasanya, Tirta selalu bergabung dengan kami. Hari ini, aku shalat dzuhur lebih dulu, jadi harusnya saat aku tiba di sini, Tirta tengah berbincang atau berbalas guyon dengan yang lainnya. Namun, ia tak ada. Dan tak terlihat di meja lainnya. Entah ke mana. ‘Apa gue yang bikin dia ngga gabung ya?’
Namun … saat aku kembali ke ruangan setelahj jam istirahat usai, ia sudah berada di mejanya.
Jam pulang pun tiba, lorong kantor masih cukup padat. Jika sebelum-sebelumnya aku selalu mematikan komputerku tepat pukul lima sore, kali ini tidak. Aku menunggu lebih lama karena menunggu suamiku yang ngotot harus menjemput. Mengira-ngira waktu, sekitar lima belas menit lagi Mas Ay akan tiba, aku merapikan mejaku-bersiap pulang.
Aku baru keluar dari toilet ketika tak sengaja berpapasan dengan Tirta. Kami sama-sama berhenti sejenak, lalu saling memberi isyarat tubuh untuk lanjut melangkah. Ia yang lebih dulu menunduk, lalu berkata pelan, “aku duluan ya, Ra.”
“Hmm,” gumamku. “Hati-hati, Ta,” ujarku kemudian. Refleks saja.
Ia tersenyum simpul, berjalan tiga langkah.
Lalu … berhenti.
Aku … menahan napas. Otakku otomatis menghitung.
Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.
Lima.
Ia berbalik.
“Nara?” lirihnya.
Aku menatapnya. “Ya? Kenapa, Ta?”
“Kamu … apa kamu baik-baik aja?”
Pertanyaannya sederhana, namun tak pernah bisa dijawab dengan satu kalimat. Aku paham maksud pertanyaannya. Tentang Kak Ajeng yang tiba-tiba menghilang, tentang aku yang akhirnya mengisi posisi mempelai pengantin perempuan, tentang aku yang hidup dengan pria asing dalam hidupku-meski pernah mengenalnya.
Aku membalas dengan tersenyum. “InshaaAllah. Baik, Ta.”
Ia menghela napas. “Kalau kamu butuh bantuan … aku masih di sini,” ujarnya. “Maafin aku, ya Ra. Aku belum sempat minta maaf sama kamu. Aku … menyesali sikapku ke kamu.”
“Ngga ada yang perlu disesali kok. Sama-sama, aku juga minta maaf,” balasku.
Tirta menatapku sejenak. Bibirnya bergetar, seolah ragu untuk melontarkan kata kembali. Namun, pertanyaannya belumlah usai.
“Apa kamu bahagia, Ra?”
Degup jantungku otomatis meningkat. Aku menarik napas dalam, menghela pelan. Lalu … mengangguk. “Iya, Ta. Aku bahagia.”
Dan saat itulah … aku melihat air matanya jatuh. Satu tetes, diam-diam, menelusuri pipinya. Tak ada isak. Hanya diam.
“Syukurlah,” ucapnya sengau, memaksakan senyum.
Ia berbalik lalu melangkah lagi. Aku tau, tadi … mungkin kali terakhir ia akan bertanya soal kebahagiaanku.
Dan anehnya, aku tidak merasa bersalah. Sama seperti saat aku mengatakan padanya enggan melanjutkan hubungan kasih kami. Rasanya terlalu sesak untukku, dan aku tak mau membuat Tirta lebih sesak lagi karena tak satu pun keluarganya yang mendukung hubungan kami.
Saat ini, aku hanya merasa … lega. Dan sedikit … sedih. Mungkin karena melihat air matanya bergulir tadi.
Di tengah diamku, ponselku bergetar. Aku merogoh saku blazerku, tersenyum mendapati nomor suamiku tertera di layar. Tak ingin membuatnya menunggu, aku segera mengangkat panggilan itu.
“Mas?”
“Ayo, sayang.”
Saat akan melangkah ke lobi, aku menoleh ke sisi kananku. Di sana, di balik dinding kaca, suamiku melambaikan tangan.
Meski ia tersenyum, ada kegelisahan yang menyapaku. Apakah ia melihatku bicara dengan Tirta tadi? Apakah ia akan mempermasalahkan ini?