🎤: Ed Sheeran
Denganmu, aku tak lagi butuh alasan untuk kuat. Aku hanya butuh kesempatan untuk menjagamu.
***
“Mas sudah lama?” tanya Nara di ujung panggilan. Padahal kami hanya terpisah selembar kaca.
“Semenit aja lama kalau lagi kangen, Dek,” candaku.
Ia mencebik, lalu menutup panggilanku. Aku berpura-pura kaget, dan ia terkekeh sejenak sebelum lanjut melangkah.
Senyumku kian lebar saat ia mendekat. Meski aku menyimak momen kikuk antara istriku dan Tirta barusan, itu tak membuatku berprasangka buruk dengan mereka. Aku mungkin terlihat santai, namun bukan berarti aku tak mencari tau. Hubunganku dengan Buana-atau yang biasa staf sapa dengan Mr. B, cukup baik. Kami bukan hanya kolega, namun kawan di komunitas moge yang sama. Jadi, begitu aku menikahi Nara, orang pertama yang kutanyai apakah aku harus mengkhawatirkan Tirta adalah Direktur dari Divisi di mana istriku berkarya. Buana bilang, Tirta memiliki karakter yang baik, jadi aku tak perlu khawatir. Ya, aku sangat berharap demikian.
“Capek?” tanyaku begitu kami bersua di titik temu.
Aku mengambil handbag-nya, memindahkan ke bahuku.
Ia lagi-lagi tertawa. “Lumayan,” jawabnya.
Kuraih tangannya, menggenggamnya erat seolah ingin menyampaikan bahwa ia tak perlu mengkhawatirkan apa pun selain langkah-langkah kecil yang kami tapaki bersama.
Beberapa staf yang masih berada di lobi menoleh pada kami, salah satunya berseru, “Wah, honeymoon-nya masih kebawa sampai kantor, ya Sir?”
“Wah Mr. A3. Nara bisa enggak konsen kerja tuh, kalau disamperin yayang terus,” goda yang lain.
Istriku menunduk malu. Sepertinya tak berniat menyahut, hanya tersenyum kaku. Tapi, tentu tidak denganku, pujian-pujian itu justru harus segera ditanggapi. Biar apa? Biar semua orang tau, jangan macam-macam dengan wanitaku.
“Saya justru khawatir istri saya dikejar banyak fans di kantor. Jadi harus rutin patroli.”
Tawa mereka pecah. Sementara Nara menggebuk lenganku pelan.
Begitu kami tiba di parkiran, aku membantunya mengenakan jaket, memastikan resletingnya tertutup rapat, menunggunya memasang masker, lalu meraih helmnya dan memasangkan di kepala Nara selembut mungkin. Jemariku merapikan rambut Nara lebih dahulu agar tak terjepit di tali helm, lalu menguncinya, mencubit pelan pipinya.
“Cuteness overload!” gumamku. Nara sih pasrah saja, mungkin sudah mulai terbiasa dengan kelakuanku yang kerap ajaib. “Yuk naik, pelan-pelan,” ujarku lagi setelah duduk di atas motor. Tangan kiriku mengulur ke belakang dalam posisi menjaganya saat ia naik ke jok belakang.
“Tunggu, Mas,” ujarnya.
“Nyamanin dulu duduknya, Dek,” timpalku. “Mau makan apa?” tanyaku kemudian begitu ia melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku mengenakan helm, lalu menggenggam tangannya sembari menunggu jawaban.
“Apa ya? Mmm … Ngga ada yang spesifik dikepinginin sih, Mas.”
Aku mengangguk. “Kalau gitu kita makan di food hall supermarket aja ya? Pilihan makanannya banyak, tenant-tenant kekinian juga ada. Habis itu kita belanja sekalian, kayak rencana tadi pagi.”
Nara merebahkan kepalanya di bahuku. “Oke,” sahutnya.
Sepanjang perjalanan, aku mengemudi dengan tenang, tak berlambat-lambat, tak pula tergesa-gesa. Saat menunggu lampu merah, aku menyandarkan tubuhku sedikit ke belakang, membiarkan punggungku menempel ke dad4 istriku. Aku meraih jemari mungilnya yang gendut-gendut lucu, membawanya ke dadaku, sementara tanganku yang lain mengusap lututnya pelan. Ia diam saja, namun merebahkan kepalanya di bahuku. Setidaknya ia tau, aku menyayanginya, dan ia bisa mengandalkanku, tak peduli seberapa kalut hari berjalan.
Tiba di tujuan, kami tak berputar-putar di setiap lantai mall namun langsung menuju lantai dasar, tempat supermarket utama berada. Belanjaan kami tak banyak—hanya kebutuhan dasar dan beberapa bahan untuk sarapan dan makan malam.
“Selai, Mas,” ujar Nara saat kami menyasar lorong yang memajang kebutuhan sarapan cepat.
“Fruit jam aja. Kalau peanut butter, Mas bisa bikin,” timpalku.
“Peanut butter yang di kulkas itu bikinan Mas Ay?” Ekspresinya tampak meragukanku.
Aku terkekeh. “Bukan. Bikinin Kalista. Mas malas.”
“Kalista jago masak juga, Mas?”
“Iya, Dek. Soalnya dulu, kalau ngga bisa masak, ya kami kelaparan. Papa Mama kan bisa sampai sore di kebun.”
“Ish!” Nara mencebik. Menggemaskan!
“Kesal ya?” godaku.
“Iyalah kesal! Mas banyak bisanya. Kayak ular!”
Tawaku pecah begitu saja. “Kok kayak ular?”
“Ngga tau ah! Kesal pokoknya!”
“Kopinya ngga usah beli, Dek. Mas rutin pesan sama teman kok. Dia pakai arenga kita, nah Mas beli biji kopinya dia,” ujarku lagi saat Nara mengambil dua bungkus kopi, mungkin hendak menimbang-nimbang mana yang mau dibelinya. “Lagian itu ngga kopi murni, Dek. Banyakan ampas jagungnya.”
“Emang iya, Mas?”
Aku mengangguk. Tanganku kemudian mengulur, mengambil salah satu kemasan bubuk kopi, menunjukkan padanya. “Ini 100% kopi, ngga ada campurannya. Tapi tetap enak yang dari teman Mas. Kualitas biji kopinya diperhatiin banget, roasting-nya juga pas, enaklah pokoknya.”
“Mahal, ya Mas? Masa sekantong begini hampir dua ratus ribu?”
“Itu yang empat ratus ribu juga ada.”
Nara mengikuti arah telunjukku, menggeleng cepat. “Emang rasanya segitu bedanya, Mas?”
“Pasti, Dek. Kopi yang paling enak itu … yang digongseng sendiri, digiling, diseduh. MashaaAllah tabarakallah rasanya.”
“Mas pernah nyobain?”
“Sering! Kopi zaman Mas masih di kampung. Waktu kuliah juga sering dikirimin Mama—yang sudah digiling. Sejak semua pindah ke sini aja, jadinya ngga terlalu sering minum kopi seenak itu.”
“Tuh kan … Nara iri lagi.”
“Anan aja, jangan iri mulu.”
“Mas ih!”
Bahkan berjalan berdampingan sambil saling melempar komentar iseng soal pilihan selai atau kopi tetap menghadirkan kebahagiaan kecil yang menghangatkan hatiku.
Barulah setelah semua barang di troli pindah ke masuk shopping bag, kami beringsut ke foodhall yang juga berasa di lantai yang sama, memilih makanan. Berbagai tenant dengan sajian menggoda berjejer rapi. Kami memilih menu masing-masing. Aku memilih grilled chicken rice bowl, yakitori, dan odeng. Sementara Nara mengambil sushi set, mochi, dan puding karamel. Kami pun duduk di sebuah meja kecil untuk berdua.
“Mas?”
“Apa, sayang?”
“Nara ….”
“Sambil makan aja ceritanya bisa, Dek?” tawarku. “Sudah malam, nanti kamu sakit kalau terlalu lama nunda makan.”
Ia mengangguk.
Sembari menyuap makanan ke mulut, istriku mulai bercerita. Seperti dugaanku, tentang apa saja yang tadi ia bicarakan dengan Tirta.
“Dia nyamperin aku setelah kirim email,” ujarnya. “Ngejelasin konsep visualnya, biar copy-nya bisa matching.”
Aku mengangguk pelan. Mengunyah tenang dengan tatapan fokus ke Nara.
“Dia profesional sih. Benar-benar fokus ke kerjaan. Tapi, yang biasanya kami ngumpul rame-rame pas jam makan siang, hari ini Tirta ngga gabung.”
“Makan di luar mungkin?”
“Mungkin, Mas. Biasanya, kita-kita tuh nitip dibeliin makan siang sama Daja, sekalian buat dia juga. Makannya barengan di break area. Tapi kalau Nara pikir-pikir, wajar sih Tirta jaga jarak.”
“Hmm,” gumamku, mengangguk-angguk.
“Tapi, pas ketemu di depan toilet tadi, rasanya jadi canggung. Kayaknya karena Nara kepikiran apa gara-gara Nara makanya Tirta ngga lunch bareng. Terus, dia pamit, duluan katanya. Tapi, baru beberapa langkah, dia balik hadap. Nanya ….”
“Nanya apa?”
“Mastiin Nara baik-baik aja, Mas.”
“Karena kita menikah tiba-tiba?”
“Iya.”
“Mungkin dia khawatir Mas nyiksa kamu, Dek.”
“Awalnya juga Nara ngira bakalan begitu.”
Aku berhenti mengunyah. “Astaghfirullah.”
Nara tergelak renyah. “Ya kan ngeri, Mas. Mana kita ngga dekat sebelumnya.”
“Bener-bener istri hamba, ya Allah,” sambatku.
“Ya mana Nara tau kalau ternyata Mas sayang Nara. Kalau ternyata Mas lembut banget ke Nara. Kalau ternyata Mas bisa bikin Nara nyaman.”
“See? Jago kan aku?”
Ia malah tertawa lagi. “Iya, jago banget! Berpengalaman banget, ya Mas?”
“Jangan suka ngungkit masa lalu, Dek.”
“Banyak nih kayaknya mantannya?”
“Mantan gebetan? Satu doang, sekarang jadi istri.”
“Berarti Mas pacaran cuma sama Kak Ajeng?”
Aku mengangguk.
“Tapi, naksir-naksir waktu SMP dan SMA mah ada dong.”
“Nanti dijawab malah kesal!”
Ia mencubit punggung tanganku, aku tergelak renyah.
Belum sempat aku mencandainya lagi, ponselku bergetar. Aku gegas mengangkatnya.
“Halo?”
“Mas!” Suara Kalista terdengar panik.
“Hmm. Kenapa, Dek?”
Kalista lalu menangis.
Aku sontak berdiri dari dudukku, pikiranku sibuk menerka-nerka segala kemungkinan. “Kenapa? Dek? Kok nangis?”
“Adek nabrak orang Mas.”
“Innalillahi wainnailaihi rojiun. Terus?”
“Adek dikerubungin orang-orang. Disuruh nganter korban ke rumah sakit. Orangnya pingsan, Mas. Sekarang masih diperiksa. Adek takut banget, Mas.”
“Di rumah sakit mana?”
“IGD RSPI.”
“Oke. Kami ke sana.”
Begitu panggilan berakhir, aku menoleh ke istriku yang sudah sigap membereskan semua sisa makan malam kami, memasukkannya ke dalam tas belanja.
“Kalista … nabrak orang, Dek. Orangnya pingsan. Sudah dibawa ke IGD RSPI,” jelasku pada Nara.
Ia mengangguk, langsung berdiri. Aku menggenggam handle troli, mulai mendorong sementara Nara mengapitkan jemarinya di sikuku. Kami bergegas, meninggalkan pusat perbelanjaan, meluncur ke rumah sakit. Degup jantungku tak karuan, khawatir korban mengalami trauma yang cukup fatal.
Begitu tiba di rumah sakit dan memarkir motor, aku dan Nara nyaris berlari ke IGD. Kalista terlihat, tengah tersambung di telpon. Dugaanku, ia bicara pada Mama.
“Mas sudah di sini, Ma. Nanti Adek telpon lagi ya?”
Benar ternyata.
Panggilan itu usai. Ia menghambur ke pelukanku.
“Apa kata Dokter?”
“Kepalanya ngga apa-apa, Mas. Cuma kaki kirinya patah, sikunya luka karena keseret.”
“Ya Allah.”
“Tadi Adek lihat name tagnya. Orang Verra & Co. juga, Mas.”
“Hah? Siapa?”
“Masuk aja yuk, Mas? Tadi Adek tinggal dia baru disuntik pereda nyeri. Karena benturan jadi badannya sakit.” Kalista menghela napas panjang.
Aku mengangguk, ia melepas pelukannya, berganti memeluk Nara. Istriku tak mengatakan apa pun, hanya menepuk-nepuk dan mengusap punggung adikku.
Kami pun masuk ke ruang pemeriksaan. Kalista menyibak tirai salah satu bilik. Saat wajah korban tampak, aku dan Nara sontak berseru. “Tirta?”
Ia membuka mata, menatap kami berdua. “Lho, Ra? Pak? Kok di sini?”
“Kalista … adik saya,” ujarku.
“I see,” tanggapnya, terdengar bagai gumaman. “Saya yang salah kok, Pak,” lanjutnya. “Mbaknya ngga mau saya suruh pulang aja.”
“Ya kali gue pulang saat orang yang gue tabrak babak belur!” sulut Kalista.
“Kan saya bilang, saya yang salah, Mbak.”
“Siapa kek yang salah! Yang jelas lo pingsan di depan gue! Kaki lo patah, tangan lo jadi berantakan gitu!”
“Harusnya saya yang ganti rugi, Mbak.”
“Mobil gue masih ada asuransinya. Motor lo tuh ngga ada bentuknya lagi. Ya ampun, untung lo ngga mati.”
“Mbaknya pasti Indonesia tulen. Sudah babak belur tapi masih untung.”
Aku mendengus. Istriku bolak balik menatap Tirta dan Kalista yang masih saja berdebat. Apakah hal seperti ini biasa terjadi dalam sebuah kecelakaan? Entahlah!
Lalu, dua suara melengking memecah suasana.
“TIRTAAAA! Mana anak saya?”
Kami menoleh, mendapati dua perempuan melesat masuk. Seorang ibu paruh baya dan seorang gadis remaja.
Dan si Ibu, tanpa tedeng aling-aling mengulurkan tangannya, hendak meraih Nara. Aku gegas menghalangi, dan tangan itu terjatuh di wajahku, menyakarku hingga kaca mataku terlepas. Yang selanjutnya terjadi, Kalista menahan perempuan itu.
“Apa-apaan nih, Bu?” Adikku nyaris memekik.
“Lepas! Perempuan itu harus diberi pelajaran! Pasti gara-gara dia Tirta lengah! Pasti anak saya lagi sama dia! Sudah saya bilang berkali-kali jangan dekati anak saya!” Ia meronta. “PEMBAWA SIAL KAMU!” hardiknya ke istriku.
Kata-kata mengisi ujung lidahku, kurasa ibu itu tak tau jika Nara sudah menikah dan tak lagi bersama Tirta. Namun, belum sempat kulontarkan, suara Tirta memotong dengan lantang, nyaris memekik. Sorot matanya penuh amarah dan rasa kecewa. “Diam! Ibu diam!”
Nara … menggenggam erat tanganku. Sementara beberapa tenaga kesehatan berlari ke bilik ini.