Kesepakatan

1155 Words
"Apartemennya besar juga ya, Capt. Captain tinggal di sini sendiri?" tanya Annisa sesampainya di apartemen Aditya. Ruangan yang ada di apartemen itu cukup luas untuk ditinggali oleh satu orang saja. "Sebenarnya saya jarang datang ke sini. Saya masih tinggal dengan orang tua dan anak saya yang berumur empat tahun. Ayo duduk." Aditya mengajak Annisa duduk di meja makan, karena dia tahu Annisa ingin membuat kesepakatan dengannya. "Anak? Captain udah nikah? Terus aku di sini sebagai apa? Istri kedua? Kamar saya yang mana, Capt? Terus saya tinggal di sini dengan siapa?" "Jangan banyak tanya! Nanti kamu juga tahu sendiri. Kamar kamu yang itu." Aditya menunjuk ke arah kamar yang akan ditempati oleh Annisa. "Kamu tinggal sendiri, tapi sesekali saya akan datang ke sini." Aditya menjawab dengan datar, tanpa ekspresi. "Mau bikin kesepakatan sekarang? Poin nomor 1 saya ada usul. Tidak ada perceraian dalam pernikahan kita." "Apa? Enggak boleh cerai, belum ada perasaan apa-apa juga kenapa enggak boleh cerai," batin Annisa. "Ish, masa enggak boleh tanya-tanya sih!" protes Annisa. "Oh ya ada kertas dan pulpen enggak, Capt?" Perempuan itu ingin membuat kesepakatan yang menyulitkan sang captain. "Ada, sebentar." Aditya bangkit dari kursi mencari kertas dan pulpen yang diminta oleh Annisa. Dia mencari di laci lemari yang ada di ruang tengah. Setelah mendapat kertas dan pulpen dia memberikan pada Annisa. Annisa menulis kesepakatan yang akan mereka buat. Poin pertama dia tuliskan apa yang diucapkan oleh Aditya tadi. "Yang kedua, pernikahan kita harus dirahasiakan sampai kontrak larangan pernikahan itu berakhir, gimana Capt?" Annisa menunggu reaksi Aditya, dia merasa khawatir jika tiba-tiba saja Aditya berubah pikiran. "Boleh. Lanjut nomor 3." "Alhamdulillah." Annisa merasa bersyukur karena Aditya setuju dengan kesepakatan kedua. "Poin ketiga, tidak boleh menunjukkan perhatian di depan banyak orang, di tempat kerja, di mana aja." "Hemm ... boleh juga." Annisa menuliskan poin yang ketiga di kertas. "Selanjutnya, yang keempat, tidak boleh melirik orang lain, harus setia sampai kapan pun." "Harus ya masukin poin yang itu?" Aditya memikirkan poin yang keempat. "Harus, Capt. Inget poin yang pertama." "Terserah kamu deh. Ada lagi poin yang mau kamu masukan?" Aditya menunggu poin selanjutnya yang akan disebutkan oleh Aditya. "Poin kelima, tidak ada hubungan intim sebelum kontrak tiga tahun itu berakhir." "Bentar, kamu sampai kepikiran yang kelima ini? Kalau tiba-tiba saya pengen tidur sama kamu gimana? Kita suami istri loh terus tiga tahun itu lama banget. Bisa enggak dinego satu bulan aja gitu." "Capt ...." "Kenapa? Kamu mau bilang apa?" "Hapus aja ya poin nomor lima? Aku kan cuma takut hamil sebelum kontrak berakhir itu aja sebenarnya." Aditya menatap Annisa, dia tahu pasti ada rasa khawatir seorang perempuan yang sudah menikah, berhubungan intim, kemungkinan besar pasti akan hamil. Dia harus meyakinkan Annisa kalau perempuan itu tidak akan hamil selama tiga tahun ke depan. Namun, tetap dengan ekspresi datar. "Kamu boleh pakai alat KB, apapun itu yang cocok buat kamu, gimana?" "Boleh? Nanti aku cari deh alat KB apa yang cocok." "Iya, terserah kamu aja. Sudah selesai belum? Saya mau istirahat. Oh ya, malam ini saya tidur di sini besok pagi saya pulang ke rumah. Jadi kamu akan tinggal di sini sendiri besok sampai libur kamu selesai." "Oh iya, Capt, sementara poinnya segini aja dulu, mungkin kalau ada ide lain akan saya tambahkan. Kalau saya sendirian di sini, boleh enggak saya pulang ke rumah Ibu saya? Enggak enak di sini sendiri." Annis bertanya dengan perasaan takut. Takut Aditya akan marah jika dia pulang ke rumah orang tuanya. "Boleh. Kalau kamu enggak enak di sini, kamu boleh pulang. Enggak ada yang mau dibicarakan lagi kan? Saya mau tidur dulu capek." "Iya, Capt." *** Annisa berdecak kesal saat berada di rumah ibunya. Sejak datang ke rumah itu hingga saat ini ibunya terus mengomel karena dia pulang ke rumah ibunya. "Bu, kan Captain Aditya pulang ke rumah orang tuanya kenapa aku enggak boleh pulang ke sini?" Annisa memprotes ibunya. "Mestinya kan kamu ikut ke sana. Masa baru nikah enggak diajak ke rumah orang tuanya. Gimana sih?" "Ya, Ibu jangan marah sama aku dong, marahnya ke Captain Aditya dong. Aku enggak salah kan Bu?" "Tetap aja kamu salah. Kalau suami pergi kamu harus ada di rumah. Menjaga rumahnya, kok malah pulang ke sini." Apapun yang dikatakan Annisa akan selalu salah di mata ibunya. Annisa sudah menikah, mau tidak mau Annisa harus berada di rumah suaminya. "Yah, aku salah deh. Tapi biarin aku tidur di kamar, aku ngantuk, tadi malam enggak bisa tidur di sana. Enggak enak aja pokoknya." Annisa ngeloyor pergi ke kamarnya untuk tidur. Dia merasa sakit kepala karena tadi malam kurang tidur. Belum sampai di kamar, adiknya menyapa. "Mbak, mukanya kok kusut banget? Kenapa? Abis diomelin Ibu ya?" "Apaan sih, udah jangan ganggu, aku mau tidur. Kepalaku sakit banget ini." Annisa menggeser tubuh adiknya yang menghalangi jalannya menuju ke kamar. Di kamar, Annisa merebahkan tubuhnya di ranjang. Bukannya tidur dia malah memikirkan Aditya. Lebih tepatnya mengumpat Aditya di kamarnya. "Dasar orang aneh! Ngajak ke apartemen tapi ditinggalin. Kenapa juga aku mau nikah sama dia." Annisa mulai merutuki dirinya sendiri. "Tau gitu aku enggak bakalan mau nikah sama dia." Annisa memukul-mukul kasur melampiaskan rasa kesalnya pada Aditya. "Awas aja kalau ketemu dia lagi. Aku akan cuekin dia. Kayaknya itu balasan yang pantes untuk Captain Aditya yang enggak punya perasaan, egoisnya kebangetan. Aku benci Aditya," teriak Annisa menempelkan wajahnya ke bantal karena dia takut Bu Nadia akan mendengar teriakannya. Setelah melampiaskan semua rasa kesalnya, Annisa pun tertidur pulas. *** Annisa masuk kerja lagi dengan jadwal terbaru. Hari ini dia mengganti sandi untuk membuka pintu apartemen milik Aditya, karena dia masih merasa kesal dengan Aditya. Dia harap selesai jadwal penerbangan selama beberapa hari ke depan Aditya akan mencarinya, dan meminta sandi baru untuk membuka pintu apartemen. Annisa tersenyum membayangkan hal itu. Pagi ini dia sudah ada di pesawat, untuk mempersiapkan penerbangan pagi. Annisa sibuk sendiri sedangkan teman awak kabin lainnya sibuk membicarakan seseorang. Lama-lama Annisa merasa penasaran siapa yang dibicarakan oleh awak kabin lain. Annisa putuskan untuk mendekat dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. "Captain Aditya tuh yang paling ganteng di antara pilot lain tau enggak sih." Sayup-sayup Annisa mendengar suara awak kabin yang sedang mengobrol dengan seru sekali. "Oh, yang ngomong Captain Aditya, males dengernya deh," batin Annisa. Dia kembali fokus bekerja, melupakan obrolan awak kabin lain. "Hei kamu! Kamu dengar enggak sih aku panggil?" Annisa menoleh karena dia merasa terpanggil. "Captain manggil saya? Ada apa?" "Minta minum, antar ke kokpit sekarang!" "Galak amat sih. Mau minum apa, Capt? Kopi, teh, s**u?" tanya Annisa dengan malas meladeni Aditya. "Kopi panas. Jangan pakai gula. Enggak pake lama." "Iya, iya. Tunggu sebentar." Annisa mengambil gelas, membuatkan kopi panas untuk Aditya. Setelah kopi jadi, dia sendiri yang mengantarkan ke kokpit untuk diberikan pada Aditya. Aditya menerima kopi buatan Annisa, langsung meminumnya. "Aw, panas!" teriak Aditya. "Ya kan kopi memang panas, Capt. Keselumut juga kan. Ada-ada aja, Captain ini." Annisa menutup mulut dengan sebelah tangannya. Aditya membulatkan matanya lalu menatap tajam pada Annisa, karena tidak suka dengan ucapan Annisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD