Bab 01. Istri Pengganti
PLAK!
Suara tamparan yang begitu keras mendarat di pipi mulus Nadine Aurora Sanjaya, menggema di seluruh sudut ruangan. Bukan dari orang lain, tamparan itu berasal dari ayah kandungnya sendiri, Robert Sanjaya, karena menurutnya sang anak telah membantah perintahnya.
Wanita yang akrab disapa Nadine itu memegangi pipinya yang masih terasa perih, bekas tamparan tadi seperti menyisakan rasa panas yang menusuk. Tangannya gemetar saat menyentuh pipinya sendiri, sementara tatapannya berubah tajam, menembus ke arah ayahnya. Ini pertama kalinya ia menatap seperti itu, penuh kemarahan dan kekecewaan.
"Papa nampar aku? Aku ini anak kandung Papa. Tapi, Papa tega melakukan hal ini sama aku hanya karena membela Bianca, anak tiri Papa?" Nadine berteriak dengan suara melengking, serak karena emosi yang begitu membuncah. Air mata hampir membanjiri matanya, tetapi ia menahannya. Ia tidak mau terlihat lemah.
Robert menarik napas panjang, wajahnya datar seperti biasa, penuh otoritas. "Jaga ucapanmu, Nadine! Kamu tahu sendiri kondisi Bianca tidak sehat," ucapnya dingin.
Nadine mendengus kesal. "Cih, kondisinya tidak sehat?" Ia mengulang kata-kata ayahnya dengan nada sinis yang hampir seperti tawa mengejek. "Jadi, karena dia tidak sehat, aku yang diminta untuk menggantikan perjodohannya? Aku yang harus menikah dengan pria impoten dan lumpuh hanya demi menutupi kekurangan Bianca?" Suaranya bergetar, campuran antara amarah dan rasa tak percaya.
Nadine benar-benar tak habis pikir. Apakah dirinya yang seorang anak kandung, tidak ada nilai apa pun selain alat untuk menyelamatkan harga diri keluarga?
Dari sudut ruangan, Bianca Alana Sanjaya, adik tiri Nadine, berbicara dengan suaranya yang lirih namun tetap menusuk, "Kak Nadine, aku minta maaf. Tapi Kakak juga tahu 'kan, kalau pernikahan ini sangat penting untuk bisnis papa. Keluarga Lewis sangat menginginkan keturunan. Kalau Kakak berhasil hamil, keluarga kita akan mendapatkan keuntungan yang besar."
Nadine ingin tertawa saking ironisnya. "Hamil?" ucapnya lirih, bergelut dengan kenyataan kejam di hadapannya.
"Kak, kalau aku baik-baik saja, aku nggak mungkin meminta Kak Nadine untuk menggantikanku." Bianca kembali berbicara.
"Diam, kamu! Jangan kamu pikir, aku tidak tahu kalau ini semua adalah rencana busuk kamu dan ibu kamu. Awalnya kamu setuju untuk menikah dengan miliarder itu, 'kan? Tapi, tiba-tiba kamu berubah pikiran karena kamu tahu laki-laki itu lumpuh. Kamu tidak mau menderita dan kamu melimpahkan penderitaan itu kepadaku. Kalian hanya mau menikmati hartanya saja, iya, 'kan?" teriak Nadine, kalimat yang dilontarkan begitu tajam, namun ia tak peduli.
"Cukup, Nadine! Jaga ucapan kamu! Jangan pernah bersikap kurang ajar seperti itu terhadap adik dan ibu kamu!" Suara Robert menggelegar, tatapannya penuh amarah.
Namun Nadine tak gentar, suaranya meledak dengan amarah yang membara, "Mereka bukan ibu dan adikku! Ibuku sudah pergi sejak aku berumur lima tahun. Papa jangan pura-pura lupa!" Rasa sakit itu begitu tajam, melukai setiap inci hatinya.
Merasa semakin emosi, Robert hendak kembali menampar Nadine, nyaris kehilangan kendali. Namun Rossa, ibu tiri Nadine, cepat melangkah di antara mereka dan mencegah sebelum hal itu terjadi.
"Mas, sudah. Cukup. Jangan marah lagi terhadap Nadine," kata Rossa, mencoba meredam api yang berkobar. "Izinkan aku yang bicara."
Rossa memandang Nadine dengan mata yang penuh harap, meski terasa getir. "Nadine, Tante tahu, sampai saat ini kamu belum bisa menerima Tante sebagai ibu kamu. Tapi, kita sudah hidup bersama selama tiga tahun. Tante sudah berusaha, benar-benar berusaha memperlakukan kamu seperti anak sendiri. Percayalah, Tante dan Bianca tidak pernah ingin menjatuhkan kamu, malah sebaliknya." Matanya menatap tajam, membakar benak Nadine. "Kamu harus mengerti, kondisi perusahaan papa kamu sekarang sangat berat. Ini bukan waktunya untuk memperkeruh suasana, tapi untuk saling menjaga dan berbakti pada keluarga."
Diam, udara di ruangan itu terasa sesak, seperti jiwa mereka semua sedang dipaksa menanggung beban yang tak mudah diucapkan. Nadine berdiri kaku, hatinya bergolak, sementara Robert menahan napas dalam-dalam, menyadari bahwa perang ini belum menemukan titik akhirnya.
Nadine mengepalkan kedua tangannya, tubuhnya bergetar menahan amarah yang begitu meluap. Di depan matanya, ibu dan adik tirinya terus berbicara dengan nada manis yang terasa begitu palsu. Namun, ia tahu mereka hanya bersandiwara. Bukan sekali dua kali Nadine menangkap kebohongan mereka. Dia tahu benar isi kepala mereka berdua—hanya mementingkan diri sendiri dan mencari keuntungan. Namun seperti biasa, mereka memasang wajah baik-baik di depan ayahnya, yang seolah tak pernah bisa melihat sifat asli mereka.
"Kamu jangan lupa, Nadine." Suara Robert terdengar tajam. "Nenekmu sekarang masih koma dan membutuhkan biaya besar. Semua keputusan ada di tanganmu. Kalau kamu tidak mau menikah dengan anak dari keluarga Lewis, maka Papa akan menghentikan semua pengobatannya."
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Mata Nadine membelalak, tubuhnya terasa lemas. Benarkah ia baru saja mendengar ayahnya berkata seperti itu? Ayahnya yang selama ini ia hormati, tega menjadikan nyawa sang nenek sebagai alat tawar-menawar.
Nadine merasa dilema, pilihan apa yang harus ia putuskan? Menentang Robert berarti membiarkan neneknya meninggal, sementara mengikuti kehendak ayahnya itu berarti menyerahkan hidupnya kepada seseorang yang bahkan wajahnya pun ia tidak tahu. Nadine mengepalkan tangannya lebih erat lagi, dadanya terasa sesak. Ia tahu, di tengah semua perasaan marah dan kecewanya, ia tak punya jalan keluar.
"Baiklah." Nadine akhirnya berkata, suaranya hampir tak terdengar. "Aku akan menikah dengan laki-laki itu. Laki-laki yang bahkan aku tidak tahu bagaimana rupanya."
Ada sedikit gemetar dalam nada bicaranya, tapi ia tahu semua orang di ruangan itu kini merasa lega. Sementara itu, hanya dia sendiri yang tahu, hatinya yang sudah penuh luka kini menambahkan satu lagi sayatan baru yang begitu dalam.
"Yes, akhirnya. Nadine, kamu akan masuk ke dalam neraka j*****m. Kamu saja yang nggak tahu, selain impoten, lumpuh, laki-laki itu juga sangat kejam. Tentu saja, aku nggak mau menderita. Lebih baik wanita cupu seperti kamu yang tersiksa," batin Bianca, menyunggingkan senyum tipis karena merasa senang.
***
Setelah dua keluarga bertemu dan sepakat, tanpa perlu berlama-lama, pernikahan antara Nadine dan Keenandra Andreas Lewis, akhirnya berlangsung. Di hari yang seharusnya menjadi momen bahagia, Nadine sama sekali tidak merasakan hal itu. Begitu pula dengan Keenan, pria itu bahkan tampak jauh lebih dingin, ia hanya duduk di kursinya dengan wajah kosong, tanpa sepatah kata atau sekecil senyum yang menandakan bahwa dia menginginkan pernikahan itu.
Sementara itu, Nadine memaksakan diri untuk tersenyum. Bukan karena bahagia, tetapi hanya menghormati saat para tamu yang menghampiri dan memberikan selamat. Ia mencoba terlihat kuat, namun jauh di dalam hati, ia merasa seperti sebuah boneka yang dibungkus cantik, tetapi tanpa daya, tanpa kemauan.
"Kenapa hidupku sampai di titik ini? Kesalahan apa yang sebenarnya aku lakukan sampai terjebak dalam pernikahan tanpa cinta seperti ini?" batin Nadine, bertanya tanpa henti.
Mungkin ini takdir. Atau mungkin sebuah keputusan yang tak pernah sepenuhnya ia pahami.
***
Malam akhirnya tiba dan acara pernikahan pun telah selesai. Nadine langsung dibawa pulang ke kediaman Lewis, karena sudah menikah dia harus tinggal bersama suaminya. Namun, belum sempat Nadine menghela napas lega, seorang wanita anggun mendekatinya. Denada, ibunya Keenan, menatapnya tajam, seolah ia adalah sosok asing yang tidak diinginkan berada di sana.
Denada berbicara dengan nada dingin, nyaris menusuk, "Ingat ini baik-baik. Walaupun sekarang kamu sudah menjadi istri anak saya, jangan pernah kamu memanggil saya dengan sebutan 'mama' atau sejenisnya. Kamu hanya boleh memanggil saya 'Nyonya Denada'."
Nadine mengangguk pelan, mencoba menerima segala yang terjadi dengan tenang, meskipun di dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa setiap langkahnya malam ini terasa seperti berjalan di atas kaca yang retak? Hidup macam apa yang sedang ia masuki? Namun yang jelas, kini dirinya bukan hanya Nadine. Ia adalah seorang istri dalam sebuah pernikahan yang terasa seperti labirin. Nadine tahu, ia akan masuk, tetapi ia tak yakin bisa menemukan jalan keluarnya.
Denada melanjutkan ucapannya, "Tidak peduli kamu itu istri pengganti atau apa, yang saya inginkan hanya satu, kamu harus bisa membuat anak saya menghamili kamu. Karena kalau tidak, kamu harus mengganti rugi semua uang yang sudah saya keluarkan untuk keluarga kamu, sepuluh kali lipat."
Nadine menelan ludah dengan berat, suaranya bergetar saat berkata, "Baik, Nyonya, saya mengerti. Saya akan melakukannya."
Denada membalas tanpa basa-basi, "Ya sudah, lakukan tugasmu!"
Tanpa menunggu lama, Nadine bergegas melangkah masuk ke dalam kamar yang megah, membawa segelas s**u dengan tangan yang gemetar. Di dalam sana, Keenan duduk santai di atas kasur, tubuhnya disandarkan ke sandaran dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Tuan Keenan, diminum dulu susunya. Kata Nyonya Denada, Tuan biasa minum s**u sebelum tidur," kata Nadine, mencoba menahan ketakutannya, suaranya lirih dan penuh waspada.
Namun, yang terjadi selanjutnya jauh dari harapannya. Keenan tiba-tiba meraih tangan Nadine dengan cengkeraman kasar—sedemikian kuat hingga gelas s**u itu terlepas, tumpah mengotori lantai berkilau. Nadine terhuyung jatuh ke atas kasur, napasnya tercekat ketika tangan Keenan langsung mencekik lehernya. Mata pria itu membelalak, dipenuhi bara amarah dan kegilaan yang membekukan darah. Tatapan Keenan bukan lagi sekadar tajam, melainkan seperti seekor predator yang siap memangsa mangsanya tanpa ampun. Dalam keheningan yang mencekam itu, Nadine merasakan ketakutan paling mencekam, seolah nyawanya berada di ujung tanduk.
Bersambung …