Bab 02. Pria Dingin Dan Arogan

1348 Words
Nadine tercekik, napasnya tersengal-sengal ketika tangan Keenan semakin erat mencengkeram lehernya. Sorot mata pria itu gelap, hampir seperti kesetanan, seolah-olah tak peduli bahwa dia sedang melukai seorang wanita. Benar-benar pria dingin dan Arogan. Merasa panik, tetapi Nadine tahu menghadapi pria seperti Keenan tidak bisa dengan kekerasan. "Tuan Keenan, aku mohon ... lepaskan," lirihnya, mencoba mengendalikan ketakutan. Namun, tatapan Keenan semakin dingin, suaranya terdengar tajam dan menusuk, "Dasar wanita matre! Demi uang, mau saja kamu berada di ranjangku. Kamu tahu bagaimana kondisiku, tapi kamu bersedia menjadi istri pengganti!" Kata-kata itu menghujam seperti pisau di dadanya. Nadine tak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi. Itu semua bukan kebenaran, namun situasi memaksanya untuk menahan lidahnya. Bagaimana ia bisa membela diri ketika posisinya saat ini begitu lemah? "Tuan Keenan, aku mohon ... lepaskan dulu," kata Nadine lagi, suaranya nyaris hilang dalam erangan. Ia berusaha untuk tetap tenang, meski amarah dan penghinaan yang dirasakannya bercampur menjadi satu. Rasanya seperti dunia menertawakannya, tetapi ia harus bertahan. Nadine tak punya kekuatan untuk melawan dan menyadari bahwa berusaha lembut adalah satu-satunya jalan. Akhirnya, dengan gerakan kasar, Keenan melepaskan cengkeramannya. Nadine terbatuk, memegangi lehernya yang masih terasa sakit, tubuhnya hampir lunglai karena kelegaan bercampur ketakutan. "Keluar dari sini!" usir Keenan penuh amarah. Mematung sejenak, Nadine merasa hatinya terluka oleh kebencian yang tertuju padanya. Tetapi akhirnya ia menguatkan langkah, menahan tangis. "Tuan Keenan, Tuan tidak bisa mengusirku dari sini. Apa Tuan lupa, aku ini istri Tuan. Kita sudah menikah, ingat itu! Jangan harap aku akan pergi begitu saja. Tenang, aku juga tidak akan berbuat macam-macam walaupun Nyonya Delina sangat menginginkan kita punya anak. Ya, memang itu 'kan, tujuan utama pernikahan ini?" Nadine mengucap dengan santai, namun suaranya menggema penuh tekad. Keenan mengepalkan erat kedua tangannya, matanya menyala. "Dasar bodoh! Kamu sedang menghinaku? Apa kamu tidak lihat bagaimana kondisiku sekarang?" Suaranya meninggi, menggetarkan udara di antara mereka. Nadine tersenyum tipis, senyum misterius. "Tuan Keenan, stop! Jangan marah-marah terus. Nanti kamu cepat tua dan tidak akan bertahan lama hidup di dunia ini." Keenan mendengus keras, kemarahannya menyatu dengan kekhawatiran yang mengaduk-aduk jiwa. "Sekarang kamu menyumpahiku? Berani sekali, kamu!" tukasnya. "Duh, suamiku," bisik Nadine sambil mencoba melembutkan suasana, suaranya kini pelan tetapi penuh tipu daya. "Sebenarnya, kamu itu tampan. Tapi kalau kamu terus marah-marah, kamu malah terlihat tua dan jelek. Itu maksudku sebenarnya, Tuan Keenan." Di balik gurau itu, Nadine menahan takutnya yang paling dalam. Di sela tawa kecilnya, terasa ada api berbahaya yang membara—perang sunyi dalam sebuah ikatan yang penuh ranjau. "Berani sekali wanita cupu ini mengatakan hal seperti itu tentangku. Hanya dia satu-satunya wanita yang tidak takut denganku!" Keenan menggerutu di dalam hati, merasa direndahkan oleh sosok wanita yang bahkan tidak ia kenal dengan baik. Nadine, dengan ekspresi santainya, berujar, "Tuan Keenan, kenapa malah melamun? Duh, jangan dipikirkan ya." Seakan-akan ucapannya tadi tak menyinggung Keenan sedikit pun. "Heh, wanita berkacamata, apa kamu ini tidak sadar diri? Sampai berani menghinaku seperti itu!" Keenan akhirnya meluapkan kekesalannya, nada suaranya masih terdengar tajam dan dingin. Ia benci rasa tidak dihormati, terutama oleh seseorang yang kini berstatus istrinya—meski hanya di atas kertas. "Ya ampun, Tuan. Aku 'kan sudah bilang, tidak usah dipikirkan, apalagi sampai dibawa ke hati. Lagi pula, apa yang aku katakan tadi benar, sebenarnya Tuan Keenan ini sangat tampan." Nadine dengan percaya diri menimpali, membuat Keenan semakin kesal. Tetapi kalimat berikutnya benar-benar mengganggu pikiran pria itu. "Bersikap dingin itu boleh, tapi kalau sama istri sendiri, seharusnya lebih ramah, setidaknya tersenyum. Ini malah seperti kulkas sepuluh pintu," ucapnya dengan nada seolah menggurui. "Sial! Siapa dia, berani berkata seperti itu?" umpat Keenan dalam hati. Tanpa banyak bicara lagi, ia memilih untuk menegaskan batas antara mereka berdua. "Diam! Lebih baik sekarang, cepat ganti bajumu dan tidur di bawah. Jangan berharap kamu bisa tidur seranjang denganku!" tegasnya, nada suara menusuk, seperti pisau yang meluncur dengan kejam. Ia ingin memastikan Nadine paham di mana posisinya. Nadine, tanpa menunjukkan tanda protes, justru menjawab dengan santai, "Iya, siap, Tuan. Tenang saja, aku bisa tidur di mana pun. Di sofa itu juga empuk, yang penting masih sekamar dengan suamiku. Supaya Nyonya Delina tidak curiga atau marah. Aku mau ganti baju dulu." Ucapannya tak menggoyahkan prinsip Keenan, tetapi ia merasa heran. Kenapa Nadine tetap terlihat tenang dalam keadaan seperti ini? Sebuah sikap yang mencolok, di mana langkah wanita itu tiba-tiba terhenti di tengah ruangan. "Ada apa lagi?" tanya Keenan ketus, ingin tahu apa yang membuat istrinya berhenti di situ. "Tuan, aku lupa. Tadi 'kan aku langsung ke sini, belum sempat membawa pakaian ganti apapun," ucap Nadine dengan raut memelas. Keenan mendengus kesal. "Cih, jangan menatapku seperti itu. Benar-benar sangat menjengkelkan. Siapa bilang kamu tidak punya pakaian ganti. Di dalam lemari itu isinya adalah pakaian khusus yang sudah disiapkan untukmu, kamu bisa pakai semuanya," ujarnya seraya menunjuk ke arah lemari tersebut. "Ternyata laki-laki ini punya sisi baik juga," pikir Nadine sambil melangkahkan kaki menuju lemari yang tadi ditunjuk oleh Keenan. Rasa penasaran membawanya untuk segera membukanya. Ketika pintu lemari terbuka, mata Nadine langsung membelalak tak percaya. Di dalamnya tergantung deretan pakaian yang terlihat sangat indah, lengkap dengan piyama yang halus dan mewah. Ia bahkan tidak sanggup menahan keterkejutan. "Tuan, semua ini pakaian ganti untukku? Apa ini tidak terlalu mahal?" tanyanya sambil melirik ke arah Keenan, mencoba memastikan. Keenan menatap Nadine sebentar sebelum menjawab singkat, "Ya." Tatapannya datar, seperti tidak ada apa-apa yang istimewa. "Apa wanita ini tidak pernah memakai pakaian yang bagus sebelumnya? Bukankah keluarganya juga bukan orang miskin?" batinnya, mendadak penasaran. Bagi Nadine, apa yang ada di depan matanya saat ini sungguh istimewa. Rasanya seperti diberi kemewahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tidak peduli apa alasannya, ia merasa terberkati malam ini. Tanpa banyak berpikir, ia pun segera mencari pakaian yang paling cocok untuk digunakan saat ini. Pilihannya jatuh pada piyama lembut berwarna pastel yang terlihat begitu nyaman. Namun, saat Nadine hendak mengganti pakaian di tempat itu juga, tiba-tiba suara Keenan yang tegas menghentikannya. "Hentikan! Apa yang mau kamu lakukan?" tanya pria itu, nada suaranya terdengar sedikit panik. Nadine menoleh ke arah Keenan dengan ekspresi kebingungan. "Ya … tentu saja mau mengganti pakaian. Memangnya salah?" Ia memandang suaminya dengan nada bingung, lalu menambahkan, "Kita ini pasangan suami istri yang sah, 'kan? Apa aku salah kalau ganti baju di depan suamiku sendiri?" Kata-katanya meluncur begitu saja, tanpa ragu. "Jangan menggodaku! Kamu pikir, aku akan nafsu melihatmu. Ganti pakaian di kamar mandi atau di tempat lain," kata Keenan, nada suaranya naik satu oktaf. Nadine langsung menolak. "Aku nggak mau. Aku akan tetap ganti di sini," ucapnya dengan kekeh. "Terserah kamu saja, dasar keras kepala," ujar Keenan dingin, sebelum membaringkan tubuhnya dan membelakangi Nadine. Tatapan Keenan yang tajam tadi masih terbayang di pikiran Nadine. Hatinya terasa seperti dipukul sesuatu yang tak terlihat, menyakitkan, tetapi ia tetap mencoba menenangkan diri. Ia tersenyum tipis, mencoba meredam segala rasa yang bergolak. "Lihat saja nanti, apa yang akan aku lakukan. Aku hanya berharap semuanya berjalan lancar, supaya aku bisa cepat keluar dari neraka ini," gumamnya dalam hati. Meski ucapan itu terdengar tegas dalam pikirannya, ada rasa perih yang sulit diabaikan. Tetapi apa pilihan yang ia punya selain menerima kenyataan ini? Nadine beranjak perlahan, mengganti pakaian, memastikan penampilan yang sempurna, seperti aktris yang mempersiapkan diri sebelum pentas besar. Setelah itu, Nadine membawa beberapa perlengkapan ke dalam kamar mandi. Di depan cermin, ia menatap pantulan wajah yang rasanya tak lagi ia kenali. Sebuah senyum samar muncul saat ia melepas kacamata yang sempat dilepas saat hari pernikahan. Wajah itu, dengan segala kebohongan yang harus diselipkan di balik senyuman. Ia menyemprotkan parfum, aroma segar memenuhi ruangan sempit itu, seperti usaha terakhirnya untuk menutupi kekosongan dalam hati. "Semua harus terlihat sempurna. Bukan untuk dia, tapi untuk aku sendiri," batinnya mantap. * Setelah merasa semuanya cukup, Nadine keluar dari kamar mandi. Ia melangkah perlahan hingga berdiri di samping Keenan yang tampak memejamkan mata. "Tuan, aku sudah siap. Coba kamu lihat," ucapnya dengan nada santai, meski ada sedikit gemetar dalam suaranya. Entah apa yang merasuki Keenan saat ini, mendengar perintah Nadine, ia membuka mata dan ekspresi terkejut seketika terlihat di wajahnya. Reaksinya seperti badai kecil yang menerpa pikirannya saat melihat penampilan wanita yang ada di hadapannya saat ini. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD