Bab 03. Malam Pengantin Gagal

1402 Words
Mata Keenan terbelalak takjub saat melihat Nadine malam itu. Ia benar-benar tak menduga bahwa wanita yang biasanya tampak sederhana, bahkan cenderung cupu, kini mampu menampilkan sisi dirinya yang lain—sisi yang memikat dan penuh pesona. Nadine telah melepaskan kacamatanya, rambutnya yang biasanya terikat kini terurai dengan lembut, sementara piyama selutut yang dikenakannya tampak membuat auranya semakin menawan. Bau harum juga menyerbak di sekitar. Rasanya, Keenan seperti melihat sosok yang sama sekali berbeda, seolah wanita di depannya bukanlah Nadine yang baru ia kenal. Keenan mencoba menenangkan diri. Ia duduk dan bersandar dengan gaya santainya seperti biasa, tetapi pandangannya tak bisa lepas dari Nadine. Wanita itu tersenyum hangat dan senyumnya membuat Keenan merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Namun sebelum Keenan sempat menyingkirkan pikirannya, Nadine dengan perlahan membuka rompi piyama yang ia kenakan, memperlihatkan lingerie tipis berwarna pastel yang membingkai tubuhnya. Keenan terperangah, merasa heran sekaligus terkejut. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada tak suka. "Tentu saja, semua ini untuk suamiku," jawab Nadine ringan, meski ada kegugupan kecil yang terselip di matanya. Dalam hatinya, dia bergejolak. "Ya ampun, Nadine, kenapa kamu harus melakukan hal ini? Pasti aku terlihat seperti w************n sekarang," batinnya, penuh keraguan. Namun di sisi lain, ia juga mencoba membesarkan hati. "Tapi, apa salahnya? Bagaimanapun juga, laki-laki es ini adalah suamiku sekarang. Nggak salah 'kan, kalau aku ingin membuatnya melihatku sebagai wanita yang menarik, sebagai istrinya yang layak?" Nadine berusaha memadamkan suara-suara kecil dalam dirinya, sembari meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang tepat untuk membangun kedekatan di antara mereka. Keenan menghela napas berat sambil memalingkan wajah. "Lebih baik tidak usah membuang waktu." Ia mendengus kesal, mencoba menahan gejolak emosi yang merayap di dadanya. Seandainya Keenan adalah pria normal, mungkin sekarang ia sedang tenggelam dalam pesona yang ditawarkan Nadine. Wanita itu berdiri di depan matanya dengan tubuh yang menggoda, tampak memikat seperti bunga yang sedang merekah. Pemandangan seperti ini seharusnya mampu membangkitkan hasrat dalam dirinya, membuatnya kehilangan kendali. Di malam pengantin mereka, seharusnya Keenan merengkuh Nadine, merasakan hangat tubuh istrinya dan mengisi malam dengan cinta yang penuh gairah. Namun kenyataannya berbeda, ia tidak merasakan apa-apa. Bahkan tubuhnya, yang seharusnya merespons secara alami, justru mati rasa. Bukannya menikmati, Keenan malah merasa tersiksa dengan ketidakteraturan yang terjadi di dalam dirinya. Lamunan Keenan terhenti saat Nadine tiba-tiba bergerak mendekat. Jantungnya berdebar saat wanita itu tanpa malu-malu duduk di pangkuannya. Nadine adalah wanita yang ia anggap cupu, lemah, tidak berarti dan kini wanita tersebut berada begitu dekat, mencoba menantang batas kesabarannya. Keenan menatap Nadine tajam, mencoba menekan amarah yang mulai mendidih. "Minggir dari sini! Berani sekali kamu melakukannya!" bentaknya, dengan nada penuh penolakan. Namun Nadine, dengan ketenangan yang tidak diduga, membalas ucapan Keenan tanpa sedikit pun rasa gentar. "Tuan Keenan, tenang. Jangan marah-marah. Aku ini istrimu dan aku harus segera hamil," katanya santai, seolah tidak peduli pada diri suaminya yang sedang diliputi gejolak. Akan tetapi di balik sikap santainya, Nadine merasakan sesuatu yang bergetar hebat di dalam dirinya. Benar-benar tak Keenan sangka, Nadine, wanita yang ia remehkan, ternyata tak kehilangan semangat juangnya. "Dasar wanita bodoh! Kamu sendiri juga tahu bagaimana keadaanku. Aku tidak akan mungkin bisa menghamilimu!" tukasnya, mengingat sudah banyak wanita yang mendekatinya dengan berbagai macam cara namun sama sekali tak ada yang berhasil mengobati penyakitnya. Sekarang buktinya ada di depan mata, penampilan Nadine yang begitu seksi dan bahkan mereka sudah dekat seperti itu saja tak membuat Keenan bernafsu sama sekali. Namun, Nadine tak peduli dengan ucapan Keenan. Meskipun belum berpengalaman, ia memutuskan untuk mencoba dengan caranya sendiri. Ia menatap Keenan, berusaha menunjukkan kelembutan dalam pandangannya. Bukannya mengintimidasi, ia ingin menunjukkan bahwa ia tulus. Tetapi pria itu, dengan sorot mata tajamnya, malah memalingkan wajahnya begitu istrinya mencoba mendekat. "Menjauh dariku, wanita cupu!" ucapnya dingin, kata-kata Keenan terasa seperti pisau yang menusuk. Lagi dan lagi, Nadine mencoba mengabaikan cemooh itu. Tanpa ragu, tangannya menyentuh pipin Keenan, lembut. Ia mengarahkan wajah suaminya itu agar kembali menatapnya. Hingga kini, mereka kembali berhadapan. Nadine tidak tahu apa yang mendorongnya, mungkin tekadnya untuk membuat Keenan melihatnya lebih dari sekadar istri yang hanya pantas untuk dihina. Ia mulai menciumi leher suaminya, berusaha memecahkan tembok dingin itu, berharap tindakannya bisa menggugah hati sang suami, atau setidaknya menggoyahkan pertahanan sinis pria tersebut. Tetapi semuanya sia-sia. Keenan bukannya merespons, pria itu malah menyeringai sinis, tawa dingin mengirimkan gelombang penghinaan ke hati Nadine. Tanpa ragu, ia mendorong tubuh istrinya dengan keras hingga wanita itu terjatuh ke lantai. Punggung Nadine menghantam keras dan ia meringis, merasakan sakit di bokongnya. "Akh, sakit sekali," gumamnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Kenapa harus sekasar ini sih, Tuan Keenan?" rintihnya dengan suara lemah, sambil berusaha bangkit. Namun, jawaban yang ia dapat hanya menambah luka di hatinya. "Sudah aku katakan, kamu tidak perlu melakukan hal bodoh seperti tadi. Aku sama sekali tidak tertarik pada wanita cupu sepertimu!" ucap Keenan tanpa ekspresi, seolah Nadine tidak lebih dari sebuah gangguan kecil di hidupnya. "Cepat tidur dan jangan mengganggu istirahatku." Ia kembali membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan mata dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara Nadine masih terduduk di lantai, diam. Dingin dari lantai merambat ke kulitnya, tetapi ia tahu dingin itu tidak akan pernah menyamai beku yang ada di hatinya sekarang. Dalam hatinya, Nadine merasa sangat kesal, padahal ia sudah mencoba melakukan yang terbaik, mengenyampingkan harga dirinya, bahkan urat malunya seperti sudah putus. Tetapi hasilnya nihil, malam pengantin gagal karena ia sama sekali tak bisa membuat Keenan menyentuhnya malam ini. "Oke, nggak apa-apa, Nadine. Masih ada lain waktu, walaupun sekarang gagal," batin Nadine, lalu segera menuju ke sofa dan membaringkan tubuh lelahnya di atas sana. *** Sejak dulu, Nadine terbiasa bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Kebiasaan itu tetap ia bawa meski kini berada di kediaman Lewis, walaupun ada pelayan yang biasa melakukannya. "Nona, nanti Nyonya Denada atau Tuan Keenan bisa marah kalau sampai saya membiarkan Nona membuat sarapan sendiri." Suara wanita paruh baya yang paling lama bekerja di sana, Bi Wati, menyisakan kekhawatiran di udara. Nadine menatap Bi Wati dengan mata yang sayu namun penuh tekad. "Jangan panggil aku Nona, Bi. Panggil aku Nadine saja. Aku juga bukan siapa-siapa, walaupun aku adalah istri Tuan Keenan," katanya pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya yang menyembunyikan duka yang dalam. Bi Wati menghela napas, hatinya tergerak melihat Nadine yang tetap gigih meski lelah dan terpinggirkan. "Tidak bisa, Nona. Bagaimanapun juga, Nona Nadine sudah menjadi bagian dari keluarga Lewis. Nona yang sabar, ya. Sebenarnya, Tuan Keenan adalah orang yang ramah, tapi ada luka di balik sikap dinginnya sekarang," bisiknya dengan nada penuh arti, seolah berkata bahwa tidak semua yang tampak adalah apa adanya. Momen itu meninggalkan keheningan penuh rasa—di antara batas aturan dan keinginan, antara kesendirian dan harapan yang terus bergelora dalam diri Nadine. Nadine menatap Bi Wati dengan serius, merasa penasaran. "Oh ya? Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Tuan Keenan, Bi?" tanyanya. "Maaf, Nona Nadine. Bibi tidak mungkin menceritakannya," ujar Bi Wati, merasa tak enak karena dia yang telah memulainya. Namun, Nadine mencoba memahami situasi ini dan berkata dengan suara yang berusaha tenang, "Iya, Bi. Nggak apa-apa kok," jawabnya dengan sedikit senyum. Nadine memutuskan untuk tidak mencari masalah, apalagi di rumah yang baru saja ia masuki sebagai istri pengganti atau lebih tepatnya istri tak dianggap oleh Keenan. Tiba-tiba, suara Denada—nyonya di rumah itu, memecahkan keheningan, "Apa yang kamu lakukan, Nadine?" tanyanya dengan nada yang lebih seperti teguran daripada pertanyaan biasa. Merasa terkejut, Nadine mencoba menjelaskan sambil mempertahankan kesopanannya, "Maaf, Nyonya, saya hanya membuatkan sarapan untuk Tuan Keenan dan juga untuk Nyonya. Saya hanya tidak mau tinggal di sini secara gratis. Apalagi, saya sudah menjadi istrinya Tuan Keenan." Namun, Denada hanya menatap menantunya dengan wajah dingin sebelum mengucapkan sesuatu yang mengubah atmosfer di ruangan itu, "Kamu tidak perlu melakukannya! Di rumah ini sudah ada pelayan untuk semua tugas itu. Sekarang, kamu naik ke atas dan bangunkan Keenan. Dia harus pergi ke perusahaan. Kamu yang akan mendampinginya nanti." Nadine semakin terkejut oleh perintah Denada yang tegas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab, "Tapi, Nyonya—" Namun, kata-katanya terpotong begitu cepat. "Saya tidak suka dibantah. Cepat lakukan apa yang saya perintah!" kata Denada lagi, nada suaranya semakin menusuk. Nadine tidak lagi memiliki ruang untuk membantah. Kata-kata Denada yang tajam sudah meluruhkan keberaniannya. Dengan langkah ragu, ia melangkah ke atas menuju ke kamar Keenan. * Saat ia membuka pintu kamar, sesuatu di depan mata membuat jantungnya berhenti sejenak. Pemandangan itu menghentikan langkahnya, membuat tubuhnya kaku. Nadine bahkan tidak bisa menarik napas dengan benar. "Tuan Keenan? Tu-tuan bisa berdiri?" Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD