Melihat Nadine berdiri di depan pintu membuat d**a Keenan seakan runtuh, meskipun ia terlihat tenang. Ia tahu, cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Tetapi tetap saja Keenan terkejut, hingga dengan panik ia duduk di kursi roda kembali seolah ingin menyembunyikan kebenaran yang baru saja istrinya lihat.
Pandangan Keenan tajam mengarah pada Nadine, mencoba menunjukkan ketegasan meski rasa khawatir mulai menguasai pikirannya. "Cepat tutup pintunya!" ucapnya hampir seperti membentak, suaranya terdengar kasar karena gugup yang melingkupinya.
Nadine terhenyak, tetapi dia segera menutup pintu tanpa sepatah kata. Lalu mendekati Keenan perlahan dengan wajah penuh keraguan. Ada sesuatu di matanya, antara rasa takut dan rasa penasaran—yang membuatnya terus maju meski tubuhnya gemetar.
"Tuan Keenan ...." Suara Nadine pelan tetapi penuh keberanian. "Aku tadi nggak salah lihat, 'kan? Tuan sebenarnya bisa berdiri? Tuan Keenan sudah sembuh, atau ...?" Ia menghentikan kata-katanya saat Keenan kembali menatap dengan sorot mata tajam, mencoba mengendalikan situasi.
Keenan tahu apa yang ada dalam pikiran Nadine saat ini, tetapi ia tak bisa membiarkan istri yang tak ia anggap mengetahui semuanya. Ini bukan hak wanita itu, ini adalah rahasianya. "Bukan urusanmu," ucapnya dingin, mencoba memutus keberanian sang istri untuk bertanya lebih jauh.
Dengan suara yang lebih tegas, Levin melanjutkan, "Tapi, satu hal yang pasti, jangan sampai masalah ini diketahui oleh siapapun. Ini adalah rahasia besar. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengetahuinya." Ia harus memastikan bahwa hal tersebut tidak akan menyebar, apa pun yang terjadi.
Pikiran dan emosi terus bergemuruh dalam dadanya saat ia mencoba menutup rapat kenyataan yang baru dilihat oleh Nadine. Rahasia itu adalah dinding terakhir yang ia miliki dan ia tidak bisa membiarkan siapapun menghancurkannya—tidak Nadine, tidak siapapun.
"Rahasia besar? Jadi benar, sebenarnya Tuan Keenan sudah bisa berdiri dan tidak lumpuh, tapi Tuan merahasiakan hal ini dari Nyonya Denada. Tapi, kenapa? Padahal 'kan, Nyonya Denada itu sangat perhatian terhadap Tuan, Nyonya pasti senang kalau sampai tahu anaknya sebenarnya sudah tidak lumpuh lagi," kata Nadine, benar-benar tak mengerti.
"Cukup! Jangan terus berkicau seperti burung beo." Keenan menatap Nadine dengan mata yang membara, suaranya tajam menusuk udara di antara mereka. "Kamu itu hanya istri yang tidak pernah aku inginkan. Jadi jangan banyak bertanya, apalagi sampai mau tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Ancaman itu terucap dingin, membuat bulu kuduk Nadine meremang, seolah-olah rahasia gelap sedang mengintai siap dibuka.
"Tutup mulutmu! Anggap saja kamu tidak pernah melihat kejadian tadi. Karena jika rahasia besar ini terbongkar, kamu tidak akan tahan menanggung akibatnya," lanjut Keenan, ancaman semakin terasa.
Nadine menatap Keenan dengan wajah memelas, tetapi matanya tetap tegar, tanpa sepatah pun rasa sakit yang terlihat. "Tuan, aku janji nggak akan mengatakan hal tadi sama siapa pun." Suaranya lembut namun penuh tekad. "Tapi, apa bisa Tuan ceritakan, sedikit saja. Supaya aku nggak terus dihantui rasa penasaran. Bagaimanapun juga, aku ini istri Tuan Keenan. Ya, walaupun istri yang tidak diinginkan."
Keenan mengernyit, takjub sekaligus frustrasi melihat keberanian wanita yang ia anggap lemah itu. Dalam pikirannya, wanita cupu ini ternyata punya nyali yang tak kalah besar.
"Tidak semua hal yang kamu lihat itu adalah yang sebenarnya," kata Keenan dingin. "Kalau itu bukan urusanmu, lebih baik kamu diam saja. Jangan merasa kamu berhak tahu, apalagi untuk ikut campur urusanku!"
Ucapannya seperti palu godam yang memaksa Nadine menelan segala keraguan, sementara hawa dingin ketegasan Keenan menyelimuti ruang itu, menegaskan jarak yang tak terlangkahi di antara mereka.
"Apa Nyonya Denada juga tidak boleh tahu? Tapi, 'kan-"
"Tanpa terkecuali," potong Kenan tegas, tatapannya semakin tajam, seakan siap menerkam mangsanya.
Nadine menelan ludahnya dengan susah payah. "Ya, Tuan. Baik, aku minta maaf," ucapnya. "Oh ya, Nyonya Denada minta Tuan Keenan untuk turun sekarang, sarapan dan katanya Tuan akan ke perusahaan hari ini." Ia menyampaikan pesan nyonya rumah.
Keenan mengangguk tanda setuju, sehingga Nadine langsung saja mendorong kursi roda suaminya itu, menuju ke ruang makan. Dalam hatinya, ia berjanji akan menjaga rahasia besar yang baru saja diketahuinya dengan menganggap jika Keenan lumpuh sehingga berada di kursi roda.
***
Untuk pertama kalinya Nadine mendampingi Keenan pergi ke perusahaan, sesuai perintah Denada. Sebelumnya, Denada sudah lebih dulu mengingatkannya untuk mengawasi setiap gerak-gerik Keenan dan melaporkan semua detail yang terjadi. Perintah itu membuatnya bingung sekaligus gelisah. Apa alasan di balik itu semua? Kenapa harus seperti itu?
Rasa penasaran semakin mengusik pikiran Nadine saat mereka tiba di perusahaan. Ketika akhirnya mereka berada di ruangan Keenan, pertanyaan-pertanyaan itu tak lagi bisa ia tahan.
Nadine menatap Keenan yang tampak sibuk, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati sebelum suara kecil di dalam kepalanya mendesak untuk berbicara. "Tuan Keenan," katanya pelan, mencoba menyembunyikan getar di suaranya. "Maaf, kalau aku kepo atau terkesan lancang, aku hanya terlalu penasaran. Tapi, apa boleh aku tanya sesuatu? Kenapa Tuan Keenan seperti tidak menyukai Nyonya Denada? Bukannya beliau itu ibu kamu? Aku justru melihat Nyonya Denada sangat perhatian terhadap Tuan, selalu ingin memastikan semuanya berjalan baik untuk Tuan Keenan."
Nadine mencoba membaca ekspresi wajah suaminya, tetapi yang ia dapat hanyalah kesunyian. Ia menghela napas pelan, merasa perlu melanjutkan meskipun bibirnya hampir bergetar. "Atau ... apa memang seperti ini sikap orang kaya kepada anak-anak mereka? Tidak memberi kebebasan, hanya terus mengawasi? Tapi—"
Ucapan Nadine tersendat. Kata-kata berikutnya tiba-tiba terlepas dari mulutnya sebelum ia sempat menahan, "Tapi, itu lebih baik lah. Tidak seperti orang tuaku yang benci dengan anaknya sendiri." Suaranya mengecil hingga hampir tak terdengar.
Keenan melirik dengan tatapan tajam, lalu berkata, "Apa maksudmu bicara seperti itu? Apa kamu sedang berusaha mencari simpatiku? Dengarkan baik-baik, aku sama sekali tidak tertarik dengan kehidupanmu, apalagi sampai merasa kasihan pada orang sepertimu. Kamu dan Nyona Denada itu sama saja, orang-orang yang rela melakukan apa pun demi uang." Nada suaranya begitu dingin dan menusuk.
Tak mengerti, Nadine mengerutkan kening, wajahnya memancarkan kebingungan. "Maksud Tuan apa?" tanyanya lirih, masih penasaran dengan tuduhan itu.
"Sudahlah, kamu tidak perlu repot-repot menanyakan sesuatu yang bukan urusanmu," balas Keenan dingin tanpa memberi ruang untuk perdebatan. "Bukankah sudah aku katakan sebelumnya? Jangan pernah ikut campur dalam urusanku." Tangannya terangkat, menunjuk sofa di sudut ruangan. "Kamu boleh bermain-main, atau duduk di sana. Yang penting, jangan mengganggu pekerjaanku."
Nadine menggembungkan pipinya dengan kesal, menggumamkan keluhan yang nyaris tak terdengar. Akhirnya, ia menyerah dengan sikap dingin Keenan. "Oke, aku akan diam," ujarnya, lalu berbalik menuju sofa yang ditunjuk.
Tubuhnya dengan ringan direbahkan di sana, meskipun hatinya masih terusik oleh sikap arogan pria itu. "Ya ampun … begini banget ya, jadi istri yang nggak dianggap. Tapi, lumayanlah. Daripada selalu berada di dalam lingkungan keluarga toxic," ucapnya pelan.
Ternyata, Keenan mendengar semua itu. Tetapi ia memilih membisu dan tak menggubris. "Denada, bukankah ini yang kamu inginkan? Aku pergi ke perusahaan demi memastikan segalanya tetap di bawah pengawasanku, supaya kemajuan itu nyata, bukan sekadar janji kosong. Tapi setelah itu, kamu mengincar seluruh hartaku. Bahkan, pernikahan ini kamu yang atur dengan rapi seperti bidak catur, kamu yang pegang kendali," batinnya, amarah dan kebencian membara di dalam d**a Keenan, membakar segala rasa sayang yang pernah ada.
*
Karena lelah dan tak bisa tidur tadi malam, membuat Nadine tertidur lelap di atas sofa tanpa sadar, lelah menggenggam segala beban yang dipikulnya sendiri.
Melihat akan hal itu, Keenan mendekat dengan langkah pelan, menatap wajah polos istrinya yang damai dalam tidur—seolah tak mengerti badai yang membara di antara mereka. "Dasar bodoh," gumamnya dalam hati, getir. "Kenapa kamu masih bertahan menjadi istriku? Kenapa masih sabar menghadapi semua sikapku? Ck, semua ini hanya soal uang."
Keenan berbalik, hendak pergi dari sana. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya, memaksa ia berhenti. Kejutan merebak di d**a, membekukan langkah yang telah setengah melangkah pergi.
"Ma, aku capek, Ma. Bawa aku pergi."
Bersambung …