Tak hanya di rumah, namun sepanjang perjalanan menuju perusahaan, Nadine hanya diam, tak berbicara jika itu tidak penting. Yang terpenting dia sudah menjalankan tugasnya, mendampingi Keenan dan membiarkan pria yang berpura-pura lumpuh itu terdorong pelan dalam kursi rodanya.
Nadine duduk terpaku, menatap kosong ke depan meski tubuhnya kini sudah sampai di ruang direktur. Namun di balik ketenangannya itu, badai emosi mengamuk dalam diamnya.
"Tuan Keenan, aku akan duduk di sini. Kalau memang ada yang Tuan butuhkan, katakan saja." Nadine bersuara dengan nada datar, namun kata-katanya menyimpan kepedihan yang terpendam. "Jujur saja, aku bosan. Duduk di ruangan ini tanpa melakukan apa-apa."
Keenan menatap dingin, lalu melepas suara, "Kalau begitu, kamu keluar saja. Jalan-jalan atau melihat-lihat di luar. Kalau mau belanja, bisa minta antar sopir."
Namun, Nadine menggeleng cepat, mencoba menahan panas di dadanya. "Tidak perlu. Aku tidak ingin pergi belanja."
Keenan menyahut dengan sindiran, "Kenapa? Apa uang bulanan yang aku berikan tidak cukup?"
Ketegangan memenuhi udara. Di antara diam dan kata-kata itu, Nadine merasakan betapa hatinya tersayat, terjebak dalam labirin kesunyian dan kekuasaan yang tak terlihat, di mana setiap langkahnya terbatasi oleh kepura-puraan dan keegoisan.
Walaupun pernikahan Nadine dan Keenan hanya hasil dari perjodohan dan tanpa rasa cinta, keduanya tidak pernah sekalipun melakukan hubungan suami istri, bahkan tidur saja terpisah, namun Keenan tetap menjalankan kewajibannya. Dia selalu mengirimkan uang mingguan ke rekening Nadine, bukan untuk kebutuhan rumah tangga, melainkan untuk kebutuhan pribadi istrinya tersebut. Namun lucunya, Keenan tak pernah tahu apakah Nadine benar-benar menggunakan uang itu. Rasanya aneh, seakan dia mencoba memenuhi peran sebagai suami, tetapi dengan jarak yang begitu dingin dan asing.
Keenan mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya dan menyerahkannya pada Nadine. "Ambil ini," ujarnya sambil mendorong kartu itu ke arah sang istri.
Nadine memandang kartu itu dengan alis yang bertaut. "Untuk apa? Dan ini kartu apa?" tanyanya bingung, yang dilihatnya hanya kartu berwarna hitam.
"Kamu yakin tidak tahu ini apa? Ini black card, kamu bisa memakai kartu ini sepuasnya," jawab Keenan santai. "Kamu bisa belanja apapun yang kamu mau, ke salon untuk mempercantik dirimu, atau melakukan hal lain yang bisa membuat kamu lebih tenang." Matanya masih setenang biasanya, tanpa emosi. "Setahuku, wanita yang sedang memiliki masalah biasanya merasa lebih bahagia setelah berbelanja atau memperbaiki diri di salon."
Sambil mendengarkan ucapan Keenan, Nadine menatap kartu tersebut dalam diam, mencoba memahami maksud di balik ucapan suaminya. Apakah itu bentuk perhatian? Atau hanya upaya untuk meredam sesuatu yang tidak ingin ia hadapi? Sejujurnya, ia bahkan tidak yakin uang atau belanja bisa menyelesaikan keruwetan yang tersimpan dalam hatinya. Namun, dari cara Keenan bicara, seakan-akan baginya itulah solusi paling sederhana—sebuah formula universal yang cocok untuk semua wanita.
Kemudian, Nadine beralih menatap Keenan dengan tatapan penuh amarah yang tersimpan rapi di balik bibir yang rapat. "Tidak semua wanita seperti itu dan aku tidak membutuhkannya. Uang mingguan yang Tuan Keenan berikan juga masih utuh." Suaranya dingin, penuh penolakan yang tajam seperti belati.
Keenan hanya mengangkat bahu, tanpa niat memaksa. Ia dengan tenang menyimpan kartu kreditnya, melewatkan momen itu tanpa kata lagi.
Sementara Nadine buru-buru menuju ke sofa dan menjatuhkan dirinya ke atas sana, wajahnya membara dalam kesal yang sulit disembunyikan.
"Memangnya aku secupu apa? Sampai-sampai harus pergi ke salon untuk merawat diri." umpatnya dalam hati, jari-jarinya mencengkeram bantal sofa seolah ingin menyalurkan kemarahan yang membara dalam dadanya. "Setiap malam aku sudah berusaha berdandan, tapi kamu? Sama sekali nggak pernah melirik aku," lanjutnya. Bayangan pahit dalam hatinya seperti racun yang menyebar perlahan. "Asal kamu tahu, beruang kutub, sumber masalah dalam hidupku itu adalah kamu."
Nadine membiarkan diri terkulai, tubuhnya melemah, bersandar di sofa dengan tangan terlipat di d**a — pertahanan terakhir dari luka yang belum sembuh.
*
Satu jam berlalu, tetapi seolah waktu bergerak sangat lambat, setiap detik terasa membosankan baginya. Dia diminta menjadi asisten Keenan, namun suaminya itu bahkan tak memberi pekerjaan. Hanya diperintahkan duduk diam, seperti sebuah boneka tak bernyawa yang harus tunduk pada kehendak sang pemilik.
Dalam diam itu, Nadine merasakan dinginnya pengabaian dan kehilangan, menusuk lebih dalam daripada kata-kata yang bisa diucapkan. Hatinya meronta-ronta, ingin teriak namun terbungkam dalam kesendirian yang semakin menusuk. Akhirnya, ia bangkit dari tempat duduknya.
"Ada apa? tanya Keenan dengan nada datar, tanpa menatap wajah Nadine yang berdiri di hadapannya.
"Tuan, apa boleh aku minta izin? Aku mau pergi sebentar saja. Aku janji, setelah makan siang aku pasti sudah kembali ke sini," pinta Nadine, suaranya terdengar hati-hati, hampir seperti ragu.
Keenan mendongak, menatap wanita itu sejenak sebelum menjawab, "Bukankah sudah aku katakan, kamu boleh pergi ke mana pun kamu mau. Menghibur diri, atau melakukan apa saja yang bisa membuatmu melupakan masalahmu," ucapnya, sengaja menunjukkan ketidakpeduliannya.
"Iya, tapi aku bukan mau jalan-jalan, shopping, atau ke salon. Aku benar-benar ada keperluan," jawab Nadine cepat, suaranya tegas namun terdengar sedikit canggung.
Keenan mendengus pelan. "Terserah apa pun alasannya. Silakan pergi," sahutnya singkat, tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
"Terima kasih, Tuan Keenan. Aku pasti akan kembali tepat waktu," kata Nadine, lalu berbalik dan segera keluar dari ruangan tanpa menunggu respons lebih lanjut.
Sedangkan Keenan hanya diam, menatap punggung sang istri yang menghilang di balik pintu. Ke mana Nadine akan pergi? Dalam hati, Keenan mulai merasa penasaran. Bukan karena benar-benar ingin tahu, tetapi karena rasa curiga bercampur khawatir sepertinya mulai menggerogoti pikirannya. Keenan mengambil ponselnya di atas meja, lalu dengan gerakan cepat, ia menekan nomor seseorang.
"Kamu awasi ke mana Nadine pergi dan kabari saya secepatnya," perintahnya dengan nada dingin.
Setelah mendengar jawaban dari seberang telepon, Keenan memutuskan panggilan tanpa basa-basi. Saat menaruh kembali ponselnya, sebuah pikiran melintas. Apa yang sebenarnya Nadine sembunyikan? Wanita itu selalu menjadi teka-teki yang sulit ia pecahkan.
***
Ternyata, tujuan Nadine saat ini adalah pergi ke rumah sakit. Sejak menikah, ia hampir tidak pernah datang ke sana lagi untuk menjenguk neneknya yang masih koma dan dirawat intensif. Ia sangat merindukan wanita tua yang sudah melahirkan ibunya itu, tetapi status barunya sebagai seorang istri dengan misi tertentu dan selalu dalam pengawasan, membuatnya harus menahan diri. Ia tidak lagi bebas pergi seperti dulu. Rasa rindu begitu menyiksa, seakan-akan ada bagian dari dirinya yang ikut terkunci di ruangan itu bersama sang nenek.
Nadine melangkah dengan hati berdebar, semakin dekat ke ruangan tempat neneknya berada, membuatnya semakin tak sabar. Namun, langkahnya terhenti saat melihat ayahnya sedang berdebat dengan seorang dokter di depan ruang tersebut. Ia mencoba memusatkan perhatian pada percakapan mereka, meskipun rasa gugup mulai menguasai diri.
"Maaf, Pak Robert, Anda benar-benar tidak bisa menghentikan pengobatan Bu Melati. Kondisi beliau belum pulih, bahkan masih dalam keadaan koma. Menghentikan perawatan sekarang sangat berbahaya," ucap dokter dengan tegas, namun tetap terdengar penuh simpati.
Nadine tersentak mendengar hal itu, hatinya mendadak menciut. Kenapa ayahnya ingin menghentikan perawatan neneknya? Itu tidak masuk akal. Jantungnya berdetak lebih cepat, dipenuhi berbagai pertanyaan dan ketakutan yang tak bisa digambarkan. Rasanya ia ingin menerobos ke arah mereka, berbicara, meminta kejelasan, namun ia memutuskan untuk menahan diri sejenak dan kembali mendengarkan obrolan ayahnya dan sang dokter.
Robert terlihat kekeh dengan keputusannya. "Saya tidak peduli! Saya tidak akan pernah lagi membayar pengobatan ibu mertua saya yang tidak ada gunanya. Lagi pula, saya sama sekali tidak ada urusannya dengan tua bangka itu!" ujarnya dengan kejam.
Tak tahan lagi, Nadine akhirnya melangkah mendekat dengan tatapan membara, suaranya bergetar penuh kemarahan, "Apa maksud Papa berbicara seperti itu?" Matanya menatap tajam, menyiratkan luka yang dalam.
Robert terkejut, tetapi cepat berubah menjadi raut kesal yang penuh amarah. "Seharusnya kamu sadar diri! Semua ini terjadi karena kamu, Nadine!" ujarnya tajam, seolah menyiram bensin ke bara dendam.
Nadine menggigit bibirnya, suaranya mengeras, "Kenapa gara-gara aku? Aku sudah melakukan semuanya yang kalian minta. Kalian sudah terima uang yang banyak, bisa untuk pengobatan nenek juga seperti janji Papa. Tapi, kenapa Papa tiba-tiba menghentikan semuanya? Papa benar-benar kejam, Papa nggak punya hati! Bahkan binatang saja masih punya perasaan!"
Robert mendengus penuh emosi, wajahnya memerah. "Kurang ajar! Berani sekali kamu menghina Papa, ayah kandungmu sendiri!" Tangannya terangkat, siap menampar pipi Nadine yang menurutnya berani membangkang.
Namun, tiba-tiba sebuah genggaman kuat mencengkeram lengan Robert, menghentikan gerakan amarah itu. Keheningan seketika pecah dan mereka terkejut, mata terbelalak ketika melihat siapa sosok di balik genggaman tersebut.
Bersambung …