Lisa yang ditanya akhirnya tidak bisa menahan tertawa. Dia tertawa dengan pelan sambil memukulkan majalah ke pundak Satrya. Lisa sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang Satrya katakan. Setiap kali ada masalah yang tidak bisa terpecahkan, dan ingin bercerita, Satrya selalu seperti ini. Benar-benar seperti mencoba menguji kesabarannya sebagai seorag istri. Untungnya, Lisa sudah kebal. Terlebih lagi, dia bukan gadis muda yang labil.
"Kita sudah hidup selama ini bersama. Jika memang kamu tega selingkuh, yang aku lakukan hanya pergi. Anak-anak sudah begitu besar. Meski dua yang bungsu belum benar-benar besar. Mereka pasti sudah sangat paham," jawab Lisa dengan santai. "Lagi pula, aku tahu kamu tidak akan menggadaikan keluarga ini hanya demi kesenangan perlahan, bukan?" lanjut Lisa. Ada senyum di wajahnya ketika tawanya akhirnya reda.
Satrya menghela napas, ada rasa syukur yang dia ucapkan dalam diam. Bersyukur karena memiliki istri seperti Lisa. Istri yang mana saat itu benar-benar menurutnya adalah malapetaka. Pernikahan mereka berdua, yang menurut Satrya, hanyalah untuk menutupi rasa malu. Sekarang, Satrya tahu bahwa Allah memberikan jodoh bukan seperti apa yang Satrya mau. Namun, jodoh seperti yang seharusnya ada untuk melengkapinya.
"Aku bersyukur punya kamu," puji Satrya. Jika anak-anak mereka ada di sini, mereka pasti sudah histeris karena melihat kemesraan orang tua mereka. Apalagi Saka pasti akan mengeluarkan celetukan sarkas yang membuat Lisa malu.
"Kamu ini, Mas. Kalau anak-anak lihat, kita bisa malu," ujar Lisa sambil memukul pundak Satrya. Pundak yang sekarang masih tegap, tapi tidak sekokoh dulu. Namun, masih bisa menjadi tempat berlindung bagi anak-anak mereka dan juga Lisa.
"Ya, mereka enggak ada di rumah ini," ujar Satrya dengan santai.
Si kembar tiga memang belum pulang. Sedangkan Rayden sibuk di yayasan Lisa. Si bungsu sendiri berada di rumah Kakeknya, ayah Lisa. Yang mana memang sering kesepian karena seorang diri di rumah besar. Simbok sudah lama pergi. Yang mana hal ini menjadi kesedihan bagi Lisa dan sang Ayah.
Setelah kepergian Simbok, memang ada beberapa asisten rumah tangga yang ditugaskan di sana. Namun, Pak Handoko sama sekali tidak nyaman. Bahkan banyak dari para asisten rumah tangga ini yang mencoba menggodanya. Bahkan di usia Pak Handoko yang tidak lagi muda, masih banyak yang ingin menumpang hidup padanya.
"Biarkan si bungsu di rumah Papa. Sekolah juga lebih dekat dari sana juga. Yang perlu diperhatikan adalah biarkan Jani melihat ke sana sesekali. Takutnya ada sesuatu yang kurang," ucap Satrya dengan penuh perhatian.
Lisa mengangguk dengan setuju. Setidaknya jika ada anak bungsu mereka, sang Ayah tidak lagi kesepian. Pak Handoko juga tidak ingin diajak tinggal bersama mereka. Berkata bahwa tidak ingin meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu. Yang mana mungkin lebih banyak kenangan kelam berada di rumah itu. Hanya saja, Pak Handoko benar-benar ingin berada di sana. Entah apa yang Pak Handoko ingin kenang.
"Jadi sebenarnya apa yang Mas pikirkan sekarang?" tanya Lisa lagi. Karena Satrya sudah mau membuka suara, itu artinya bahwa dia sudah mau bercerita. Lisa hanya tinggal bertanya, dan Satrya akan bercerita dari A sampai Z.
"Kamu inget teman aku yang dokter, yang menikah sama orang Kalimantan? Yang mana dia bener-benar dimusuhi seluruh keluarganya?" tanya Satrya. Jika Lisa tidak ingat, dia akan menceritakan sejak awal. Jika Lisa ingat, Satrya akan menceritakan tentang intinya saja.
"Yang jadi teman dekat kamu, karena nolongin kamu itu? Yang kamu kegigit ular berbisa saat survey lokasi? Pas itu aku lagi hamil Rayden?" tanya Lisa lagi. Dia ingin memastikan teman mana yang Satrya maksud. Karena sejujurnya, teman Satrya memang sebanyak itu. Lisa bahkan hampir tidak mengenal semuanya. Kecuali memang sangat dekat seperti Fajar.
"Iya, yang itu. Yang sudah meninggal lama karena bencana alam di sana," jawab Satrya dengan sendu. Dia masih ingat bagaimana wajah tampan dari dokter baik hati itu. Meski hampir sepuluh tahun mereka tidak bertemu satu sama lain.
"Lalu? Apakah ada hal yang belum terselesaikan?" tanya Lisa dengan bingung. Dia tidak menyangka bahwa gundahnya sang Suami karena orang yang sudah lama pergi.
"Sebelum dia pergi, sekitar seminggu sebelumnya, dia telepon Mas. Dia bilang kalau dia meninggal nanti, tolong sesekali jenguk istri dan anaknya. Dia bahkan becanda kalau Lisa izinkan, nikahi juga gakpapa.
Pas itu, Mas cuma nganggepnya sebagai becandaan. Dan setelah dia meninggal, kamu juga tahu kalau Mas minta yayasan kamu untuk ngasih beasiswa kepada anak-anaknya. Meski ini sifatnya diam-diam karena istrinya juga orang yang cukup keras kepala.
Lalu, kemarin Mas ada kabar bahwa ternyata, istrinya Almarhum juga menjadi korban di pesawat yang hilang ini. Mas sekarang bingung, apa yang harus dilakukan? Saat itu, Almarhum meminta Mas untuk menjodohkan anaknya yang seumuran si kembar, kalau istrinya juga ikut menyusulnya," ucap Satrya. Dia berbicara sambil menerawang. Sepertinya mengingat pembicaraan yang sudah terjadi bertahun-tahun silam.
"Mas saat itu gak janji sama dia. Namun, sekarang Mas kepikiran. Anak itu seorang diri, dan akan membesarkan adik-adiknya. Bukannya lebih baik dia menjadi menantu kita? Kita sudah kenal sama anak sulungnya. Dan kamu bilang bahwa dia anak yang baik," lanjut Satrya. Entah mengapa hal ini membuatnya bimbang. Dia tidak bisa setegas sang Ayah saat menjodohkan dirinya dengan Lisa puluhan tahun lalu.
"Menjodohkan ya, lalu siapa yang akan kita jodohkan dengannya? Yang pasti Rayden harus kita coret. Hanya ada Saka dan Raka. Namun, Mas tahu sendiri tentang tabiat dua anak lelakimu itu. Jika tentang paling menurut, Rayden bisa kita pilih. Namun, Rayden bukan kandidat yang tepat. Dia terlalu muda," balas Lisa.
Lisa juga ikut menerawang. Memikirkan dua anak lanangnya yang sekarang masih berada di dermaga. Yang mungkin sudah bertemu dengan anak perempuan dari mendiang sahabat suaminya.
"Raka sudah punya pacar. Meski aku tidak terlalu suka dengan Davny, tapi anak itu adalah anak yang baik. Hanya hidupnya terlalu berada di tempat yang gemerlap dan glamour. Dia tidak akan menurut dengan mudah. Sedangkan Saka, dia sampai sekarang belum punya pacar. Karena memang belum ingin ke jenjang serius," tambah Lisa. "Atau mungkin kita angkat anak saja?" usulnya.
Satrya menggeleng. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, mengadopsinya bukanlah pilihan yang bagus. Lagi pula, gadis itu mungkin tidak mau. Inilah yang membuat Satrya gundah sejak kemarin. Tidak ada jalan yang pas untuk masalah yang mereka hadapi saat ini.
"Mungkin, kita harus mengadakan acara kocokan kayak arisan?" celetuk Satrya. Lisa sendiri hanya melongo ketika mendengar saran dari suaminya itu.
Jodoh? Kocokan?