Tujuhbelas

1710 Words
"Setiap tempat memiliki penunggu, kamu harus cukup kuat ketika diganggu." ❣❣❣ Aku nggak tahu bagaimana detailnya, tetapi saat aku di rumah, tiba-tiba datang seseorang yang mengatakan bahwa Life mengalami kecelakaan kerja sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Mendengar kabar itu, aku segera ikut bersamanya untuk pergi ke rumah sakit dimana Life dirawat. Aku terlalu panik hingga lupa membawa ponsel. Yang aku khawatirkan saat itu adalah kakak Die, Life. Aku tahu, dia bukan saudara kandungku. Sikapnya padaku selama ini juga menyebalkan. Hanya saja, bagiku yang nggak punya saudara kandung, memiliki saudara sepertinya secara tiba-tiba merupakan suatu keajaiban. Bagiku, Life adalah seorang kakak, terlepas seburuk apapun peringai yang dimiliki olehnya. Saat kami tiba di rumah sakit, seseorang yang merupakan teman kerja Life dan memperkenalkan dirinya sebagai Romi, membawaku ke ruangan Life. Dia berkata bahwa keadaan Life sudah lebih baik, hanya belum sadarkan diri. "Kamu tunggu di sini. Jika bosan, kamu bisa ke ruang tunggu, di sana ada televisi dan juga orang lain yang juga menunggui keluarga mereka," jelasnya. Aku mengangguk mengiyakan pesan yang dikatakannya. "Kakak mau kemana?" tanyaku padanya. "Aku harus pulang. Ada keluarga yang menungguku di rumah." jawabnya. "Ah, baiklah." Kepalaku mengangguk mengerti. "Tenang saja, seluruh biaya rumah sakit sudah dibayar dan ditanggung perusahaan," katanya seolah memintaku untuk nggak mengkhawatirkan soal biaya. "Ya, terima kasih," ucapku. Kak Romi mengangguk. "Tapi," ucapku ragu. "Kenapa?" tanya Kak Romi seolah tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. "Ada apa dengan Life? Mengapa dia sampai dilarikan ke rumah sakit? Kakak belum menceritakan soal itu padaku," ucapku penasaran. Kak Romi tersenyum tipis. "Kamu tampak berbeda, Die," katanya. "Eh?" Aku melongo. Merasa terkejut karena dia sudah tahu soal Die. "Dulu kamu begitu nggak peduli, sekarang bisa aku lihat kamu mengkhawatirkan Life," katanya. “Senang sekali melihat perubahanmu. Tapi maafkan aku.” "Soal apa, Kak?" tanyaku bingung. "Aku juga nggak tahu detailnya. Kami menemukan Life tergeletak di tanah, terkapar pingsan. Dia mengeluarkan darah, jadi kami bawa ke rumah sakit. Jika mengatakan dia jatuh dari atas, aku juga nggak yakin. Pasalnya, dia nggak mengalami luka serius seperti tangan yang patah atau kaki yang retak," jelas Kak Romi panjang-lebar. "Tolong jaga Life, besok pagi aku akan kembali ke sini," katanya lantas pamit untuk pulang. Aku hanya mengangguk dan berpesan agar kak Romi hati-hati. Setelahnya, aku pun duduk di dekat Life, menjaga saudaraku itu dengan rasa cemas yang sudah menurun. Life sudah baik-baik saja, pernyataan itu sudah membuatku lega. Aku duduk di dekat ranjang Life, menatap lelaki yang sedang tertidur itu dengan seksama. Ada perasaan sedih bergelayut di dalam hatiku. Aku jadi teringat soal mama, papa dan juga sepupuku, Han. Aku merindukan mereka. Aku mengerutkan dahi saat melihat garis ungu bak urat yang menyembul di pergelangan tangan Life. Urat berwarna ungu yang menyerupai akar serabut tanaman itu menarik perhatianku. Maksudku, apa iya urat manusia bisa menyembul seperti itu? Terlepas betapa putihnya Life, itu terasa aneh. Aku tergoda memegangnya jadi aku ulurkan satu jariku ke sana. Garis-garis panjang dengan banyak cabang itu berubah warna menjadi merah seperti warna kapiler darah. Aku semakin merasa tertarik. Jadi, aku menyentuhnya dengan tanganku. Mataku membulat sempurna saat garis-garis berbentuk seperti urat syaraf itu seakan terlepas dari tangan Life dan hendak pindah ke tanganku. Aku buru-buru melepas tanganku, tubuhku bergerak mundur. Aku tercenung, menatap gumpalan garis yang kini menyatu dan melayang-layang di udara. Gagal masuk ke tubuhku, membuat gumpalan itu mengubah diri membentuk diri mereka seperti sebuah celurit. Aku semakin melangkah mundur. Jujur saja, aku takut. Kakiku bahkan gemetar. Aku menelan ludah, hanya dalam seperkian detik, celurit itu melayang dan hendak menebas tubuhku. Namun seperti terhalang oleh sesuatu. Celurit itu pecah lalu meledak di udara. Mereka kembali menjadi garis-garis ungu yang memanjang di tangan Life. Aku ternganga, menatap rantai yang melayang di depanku. Sepertinya, rantai itu yang menyelamatkan aku. Lebih mengejutkan lagi, saat melihat dimana rantai itu berakhir. Seorang lelaki yang pernah aku lihat berdiri di sudut ruangan. Wajah pucatnya, tatapan matanya yang kosong itu membuat bulu kudukku menegang. Itu ayah Life dan Die. Mengapa dia di sini? Jika bukan untuk merantainya agar tetap di pemakaman, mengapa dia memiliki rantai di lehernya? Untuk apa dia di sini? Kenapa dia menyelamatkan aku? Apa karena saat ini aku adalah Die, anaknya? Aku buru-buru keluar saat lelaki itu menghilang. Pergi menuju ruang tunggu untuk bisa berkumpul dengan manusia sepertinya adalah langkah yang tepat. Setidaknya, aku harus memulihkan kewarasanku. Aku harus tahu bahwa aku masih manusia, bukan setan. Bahkan jika setiap hari yang aku lihat adalah kumpulan orang mati, aku bukan bagian dari mereka. Bukan! Aku menonton TV bersama orang-orang lain yang juga menunggui keluarga mereka yang sakit. Aku bahkan tertawa saat ada adegan lucu. Juga, beberapa orang mengajakku bicara. Mereka menanyakan aku darimana, siapa namaku dan pertanyaan lainnya. Memang, hanya ini hanya sekadar basa-basi tetapi sanggup membuatku melupakan kejadian menakutkan yang baru saja terjadi. "Jadi kakakmu masuk rumah sakit?" tanya seorang wanita yang aku perkirakan seusia mamaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Sakit apa?" tanyanya. "Saya tidak tahu, katanya kecelakaan kerja," jawabku. "Parah?" tanya wanita itu lagi. Aku menggeleng. "Tidak, hanya pingsan dan butuh sedikit perawatan. Tidak ada tulang yang patah atau retak," jelasku menyalin apa yang Kak Romi katakan padaku tadi. "Ah, syukurlah," kata wanita itu merasa lega. "Di mana orang tuamu?" tanyanya. Aku menggeleng pelan. "Ah, sudah meninggal?" tebaknya. Aku tersenyum tipis. "Dua-duanya?" Aku mengangguk. "Maaf," kata wanita itu merasa bersalah. "Tidak apa-apa, Bu." Wanita itu membelai pipiku lembut. "Sabar ya, cantik," katanya. Aku tersenyum tulus. "Kalau Ibu?" tanyaku balik. "Ah, anakku masuk rumah sakit," jawabnya. "Jika boleh tahu, anak ibu sakit apa?" tanyaku dengan sedikit ragu, khawatir wanita itu akan merasa tersinggung. Wanita itu tersenyum getir dengan sorot mata nanar. "Kanker," jawabnya pelan. "Maaf," ucapku secara otomatis, merasa sedih dan bersalah. Wanita itu menggeleng pelan. "Tidak apa, sudah takdirnya," jawabnya. "Sabar, Bu," kataku yang berinisiatif memegang tangan itu, berniat untuk memberinya kekuatan. Wanita itu tampak tersenyum lagi, kali ini senyuman yang lebih baik. Aku memeluknya, dia membalas pelukanku. Untuk beberapa detik, hatiku terenyuh sampai aku dikejutkan dengan penampakan seorang gadis remaja berlumuran darah yang memintaku untuk pergi. Aku terhenyak lalu otomatis melepas pelukanku dari wanita itu. "Ada apa?" tanya wanita itu melihatku ketakutan. "Ma, maaf," ucapku saat melihat gadis remaja itu berada di sisi wanita itu lalu memeluknya. Meski tentu saja wanita itu nggak tahu. "Maaf," ucapku lagi lalu segera pergi dari sana. Bersamaan dengan itu, aku melihat beberapa perawat berjalan melintasiku dengan terburu. Mereka mendorong seorang pasien dengan kain putih yang menutup wajahnya. Tak lama kemudian, aku melihat dari jauh bagaimana wanita itu menjerit, memanggil-manggil nama anaknya tanpa tahu bahwa raga dan ruh anaknya berada di dekatnya. Aku segera pergi dari sana. Ini rumah sakit, terlalu berbahaya berada di sini. Sejak tadi, aku memang nggak banyak melihat setan tetapi aku sudah mencium bau anyir, kemenyan dan busuk sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah sakit ini. Aku berhenti, duduk menyandarkan diri di tembok untuk sejenak. Aku lelah karena tersesat. Seingatku ruangan Life nggak jauh dari ruang tunggu tetapi entah bagaimana aku malah tersesat. Sudah begitu sejak tadi aku nggak melihat siapapun di lorong untuk bisa aku tanyai. Jadi, berakhirlah aku di sini. Lorong sunyi sepi dengan penerangan yang cukup buram. Aku memejamkan mata, meringkuk dalam dudukku yang sedikit jongkok. Aku tenggelamkan wajahku di lutut dengan kedua tangan yang terlipat sebagai bantal. "Ah, aku capek," gumamku pelan. "Kakak capek?" Pertanyaan yang terdengar hampa itu membuatku terdiam beberapa saat, bernapas pun terasa sesak. "Kakak tersesat? Mau aku antar?" tawarnya. Aku masih diam. Sedang berusaha meyakinkan, apakah itu manusia atau setan. "Kakak," panggilan hampa itu terdengar lagi. Aku mencoba memakai logikaku. Seorang anak kecil melihat seorang remaja duduk di lorong sepi dan menawarkan bantuan. Apa itu mungkin? Remaja saja tersesat apalagi anak kecil, benar bukan? Dia setan. Begitu kesimpulan akhirku. Aku berdiri tiba-tiba lalu berjalan cepat. Mengabaikan teriakan anak kecil yang terus memanggil-manggilku itu. Aku mulai berlari saat anak kecil itu mulai berjalan mengikutiku. Aku berlari lebih cepat ketika anak kecil itu juga berlari. Cukup jauh aku berhenti, menoleh kiri-kanan, nggak ada orang sama sekali. Aku tahu ini sudah malam, tapi ini rumah sakit. Apa iya nggak ada orang sama sekali? Aku menoleh ke belakang, mencari tahu apakah setan anak kecil itu sudah pergi atau belum. Kosong, hanya redupnya lampu lorong rumah sakit yang terlihat seram. Selain itu, nggak ada apapun. Apa setan itu sudah pergi? Aku menghela napas lega. Saat berbalik badan dan melihat seorang berpakaian perawat sedang duduk di tengah lorong. Aku mengucek mataku, memastikan apa yang aku lihat. Dia benar-benar seorang perawat, terlihat dari pakaian dan topi khas perawat yang dikenakannya. Ngapain perawat itu di sana? Aku bergidik ngeri ketika perawat itu mulai mengesot, berjalan mendekat padaku. Semakin lama semakin cepat dan gerakannya semakin aneh saja. Aku berteriak ketika perawat itu tiba-tiba meloncat lalu bergelantungan seperti cicak di atas atap lorong rumah sakit. Aku menjerit sambil berlari dengan ketakutan. Aku mulai panik saat melihat setan anak kecil itu kembali. Dia tampak menakutkan dengan gigi tajam bak gigi hiu dan juga pisau daging di tangannya. Aku segera berbelok ke lorong sebelah kiri karena di depan dan belakangku ada setan yang mengejar. Aku pasti akan mati jika di lorong yang aku pilih ini juga ada setannya. "Aaaaaaaaa," jeritku ketakutan ketika ada yang menepuk pundakku dari belakang. "Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!" teriakku histeris sembari mengibas-ibaskan kedua tanganku ke udara. "Tenang, Dik!" Suara seorang lelaki itu membuatku menghentikan kibasan tanganku. Aku membuka mata yang sempat aku pejamkan karena takut. Seorang lelaki dengan pakaian perawat tersenyum ramah ke padaku. Wajahnya agak pucat tetapi senyumnya cukup membuatku merasa aman. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya merasa cemas. Aku mengangguk kecil. "Sedang apa di sini?" tanyanya. "Eh, anu.." Aku menggaruk-garuk kepalaku. Sedang memikirkan alasan yang tepat untuk menjelaskan padanya bagaimana bisa aku terdampar di sini. Mustahil jika harus kukatakan secara jujur bahwa aku baru saja dikejar-kejar setan yang menakutkan. "Mau ke toilet," jawabku berbohong. Lelaki itu tergelak pelan. "Toilet? Ini kamar mayat," katanya sambil menunjuk papan nama dimana tertuliskan kamar mayat. "Heh?" Pupil mataku membulat sempurna. "Kamar mayat?" teriakku tanpa sadar. Dia tersenyum. "Kamu diganggu?" tebaknya. Aku mengangguk kecil, mengaku. "Setiap tempat itu memiliki penunggu, jadi kamu harus cukup kuat ketika diganggu. Di rumah sakit ini memang banyak arwah yang belum tenang. Jadi, suka mengganggu siapa saja yang bisa melihat mereka. Maaf ya, kamu pasti ketakutan," katanya. "Ah, nggak apa-apa," kataku seraya mengangguk-nganggukkan kepalaku sebagai tanda maklum. "Biar nggak tersesat lagi, mari aku antar," katanya menawarkan. Aku mengangguk setuju. Tak lupa mengucapkan terima kasih. Bersama lelaki itu, aku bisa menemukan ruangan Life. Dia tersenyum ramah padaku sebelum mengucapkan salam perpisahan. "Lain kali, jangan berkeliaran lebih dari jam dua belas di rumah sakit ini. Karena aku belum tentu bisa menolongmu lagi," pesannya. Aku mengangguk, berjanji untuk mematuhi apa yang dia pesankan padaku. "Terima kasih," ucapku lagi. Dia melambaikan tangan lalu berjalan pergi. Saat dia menembus tembok, aku hanya bisa tersenyum dengan ketakutan yang samar. Dia setan. Haha. Aku masuk ke dalam dan berjanji untuk nggak keluar lagi dari kamar Life apapun alasannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD