Delapanbelas

1605 Words
"Keluarga adalah suatu hal yang nggak bisa dibuang walaupun ingin." ❣❣❣ "Kenapa kamu di sini?" Pertanyaan itu meluncur lagi dari mulut Life untuk kesekian kalinya. Sejak lelaki menyebalkan itu sadarkan diri hingga sekarang, dia menanyakan hal yang sama. Aku nggak menjawab, sedang konsentrasi mengupas apel yang berada di pangkuanku. Tadi kak Romi datang kemari untuk menjenguk Life. Dia juga membawakan satu kg apel merah. Sungguh teman yang baik. "Oi, Die," panggil Life, mulai marah karena diabaikan. Aku masih diam, masih konsentrasi pada apel-apelku, kali ini sedang memotongnya kecil-kecil. "Die, kamu nggak sekolah?" Pertanyaan Life berganti. Lelaki itu mulai kreatif. Aku mengangguk mengiyakan. "Kenapa?" Aku mendongakkan kepala sebentar, menatapnya datar. "Izin," jawabku lalu menunduk lagi. Life menghela napas, jengkel. "Kenapa kamu di sini padahal aku sudah baik-baik saja, apa ucapanku belum jelas padamu? Jangan mencoba bersikap baik padaku, aku nggak akan menolongmu lagi." Life sepertinya sudah sembuh. Dia mulai mengomel dengan lancar. "Oi, Die, kamu dengar aku? Pulang sana!" usir Life. Aku meletakkan pisau di atas meja lalu menoleh pada Life. "Kamu mau?" Aku mengangkat apel yang sudah selesai aku potong-potong, hanya tinggal menancapkan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut saja. Life menatapku dengan ekspresi datar, sebal karena ucapannya selalu diabaikan. "Pegel," keluhku. Life mendesah pelan. "Makan saja sendiri," jawabnya kemudian. Sikap ketusnya nggak menghilang walau sedang sakit. "Ya sudah," kataku lantas memasukkan potongan apel itu ke mulutku. Life hanya memalingkan wajah, sementara aku terus makan. Bunyi perut keroncongan Life tiba-tiba terdengar. Life menyentuh perutnya dengan tangan kiri. Dia lapar, jelas. Aku melengkungkan senyuman. Entah kenapa ngerasa lucu. "Ah, aku ke toilet dulu!" Aku berdiri, meletakkan sepiring apelku di tepi kasur Life lantas berjalan keluar dari ruangan. Sengaja, aku biarkan pintunya terbuka sedikit. Aku mengintip ke dalam setelah berpura-pura keluar. Life memakan apel yang tadi aku tawarkan dengan semangat. Lelaki itu benar-benar kelaparan. Aku memilih menutup rapat pintu ruangan dengan hati-hati, berusaha agar nggak ketahuan kalau mengintip. "Ah," seruku pelan saat berbalik badan dan mendapati Die berdiri di depanku. "Die." Die menatapku datar, dingin. Ekspresinya saat ini benar-benar menusuk dan mematikan. Die terlihat kalem, tapi seram. "Hai," sapaku canggung. "Kita perlu bicara!" tegasnya. Hening. Aku hanya mampu menelan ludah saat merasakan atmosfer di antara kami semakin menegang. "Kita bicara di kantin," usulku. Die mengangguk setuju. Kami berjalan menuju kantin rumah sakit. Sepanjang jalan, kami hanya diam. Tenggorokanku terasa seperti dicekik karena keheningan di antara kami. Entah kenapa, aku seperti sudah melakukan kesalahan besar padanya. "Kamu mau?" tawarku menunjukkan minuman yang aku beli sebelum duduk di sampingnya. Die mengangguk. Aku meletakkan minuman di meja Die. Gadis itu segera mengambil minuman itu dan meneguknya setengah. Aku yang melihatnya begitu hanya mampu meminum minumanku sedikit demi sedikit. "Tadi aku diantar Tsabit." Aku langsung terbatuk mendengar kata 'Tsabit' disebut. "Kenapa harus sama dia?" protesku, nada suaraku tanpa sadar sedikit meninggi. "Lantas, aku harus dengan siapa? Kamu sudah nggak masuk dua hari dan nggak ada di rumah. Bertanya pada tetangga percuma. Mereka nggak tahu kalian kemana. Seandainya Tsabit nggak mengajakku pergi ke tempat kerja Life, aku nggak akan tahu bahwa Life masuk rumah sakit dan kamu di sini." Die mengomel, baru kali ini aku mendengar dia mengoceh seperti itu. "Maaf." Aku menundukkan kepala, merasa bersalah. Die menarik napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan, berusaha menenangkan emosinya. "Handphonemu kemana, Pol? Mengapa nggak ngabarin?" tanya Die, kali ini suaranya sudah kembali biasa. Walau tentu saja, suaranya adalah suaraku. "Ketinggalan di rumah," jawabku jujur. "Kamu sama sekali nggak pulang?" tanya Die lagi. Aku mengangguk. "Demi Life?" tanya lagi. Sekali lagi aku mengangguk. "Kenapa? Bukankah dia bukan kakakmu? Dia hanya orang lain," ujar Die heran. "Dia kakakmu, Die, gadis yang aku cintai. Jadi, dia bukan orang lain." Die menoleh ke arahku, terkejut. Matanya bahkan melotot, merasa greget. "Kamu sedang menggombal huh?" sindirnya. Aku menggeleng lalu tersenyum tipis. "Nggak, itu beneran. Aku memang mencintaimu, kamu juga kan?" Die menatapku tajam. "Kata siapa?" sangkalnya. Aku menunjukkannya. "Kamu." "Cih, kapan aku bilang begitu?" elaknya lagi. "Saat aku ke rumahmu waktu itu," jelasku. Die merengut kesal. "Nggak, itu hanya terbawa suasana," sahutnya bersikukuh menyangkal. Aku menghela napas. "Aku bersungguh-sungguh, Die. Aku mencintaimu," kataku mencoba meyakinkannya. "Nggak boleh, Pol." "Kenapa?" Die hanya merapatkan bibirnya. "Karena kamu lebih tua?" tebakku. "Aw!" jeritku saat jidatku dijitak Die. Gadis itu sangat nggak terima untuk mengakui bahwa dia lebih tua dariku. "Hm." Aku berpikir sejenak. Mencoba mencari jawaban lain. "Karena aku terlalu ganteng untukmu?" tebakku lagi. Aku buru-buru mundur saat melihat tangan Die hendak menjitak jidatku lagi. "Hentikan itu," pintaku. "Jika bukan dua hal itu, kenapa aku nggak boleh mencintaimu?" "Karena aku bisa membuatmu mati, Pol," jawab Die dengan wajah sedih. "Semua orang akan mati, Die." Die diem, matanya mulai berair. "Kamu ini, bukankah yang cengeng itu aku? Mengapa kamu yang menangis?" tanyaku sembari mengusap air mata Die yang belum jatuh. "Meski ragaku lelaki, aku tetap perempuan, Pol," katanya. "Walau aku nggak sepertimu yang dikit-dikit nangis setiap ketemu Setan." Aku tersenyum geli. "Jadi maksudmu aku yang suka menangis alias cengeng, nggak peduli sebagai lelaki atau perempuan huh?" kataku pura-pura ngambek. Die mengangguk. "Ya," jawabnya yang membuatku mencubit gemas pipinya. "Dasar." Die hanya mengulas senyuman kecil. "Tapi, seandainya hubungan kita bisa terjalin tanpa salah satu di antara kita harus mati, apa kamu akan menjawab pernyataan cintaku, Die?" tanyaku bersungguh-sungguh. Die hanya diam, sorot mata yang ditunjukkannya saat ini sulit diterjemahkan. "Kita bertukar tubuh tanpa harus memenuhi syarat, bukankah itu artinya, hal itu terjadi karena kita memiliki perasaan yang sama, Die?" tanyaku mengungkapkan hipotesisku. "Eh?" "Perasaan kita sama, Die. Itu artinya kita-.." "Senasib," potong Die cepat. Aku tertawa geli. "Masih nggak mau mengakui sampai akhir huh? Padahal waktu itu, kamu sudah menerima cintaku," sindirku. "Cintai saja orang lain, Pol. Kamu pantas hidup bahagia," katanya mengajukan usulan yang jelas-jelas akan aku tolak. "Siapa lagi yang bisa aku cintai selain kamu, Die?" "Tsabit." "Najis!" Hening beberapa detik lalu kami saling tertawa, lelucon barusan sungguh terasa menggelikan sekaligus menjijikkan. Aku jadi teringat lagi soal insiden di kolam renang waktu itu. Segera, aku menggelengkan kepalaku beberapa kali, mendadak merinding. Ngeri. "Oh ya, Die, apa Tsabit bertingkah aneh padamu?" tanyaku. Die menggeleng. "Nggak, dia biasa saja," jawab Die. "Kenapa?" Aku menghela napas lega. "Nggak apa-apa," sanggahku. "Apa ada yang kamu sembunyikan dariku, Pol?" tanya Die. Aku menggeleng. "Nggak ada," jawabku berbohong. "Sungguh?" Aku hanya mengangguk kecil. "Ya sudah." Hening lagi. Kami sibuk meminum minuman masing-masing. "Bagaimana di sekolah?" tanyaku mencoba membuka topik pembicaraan lagi. "Biasa saja," jawabnya. "Kamu nggak menimbulkan masalah apapun kan?" tanyaku sedikit khawatir. "Tentu saja nggak. Aku sudah nggak melihat Setan, masalah apa yang bisa aku buat, Pol?" jawab Die yakin. "Entahlah," kataku mengedikkan bahu, bingung. “Aku hanya mengkhawatirkanmu saja.” "Ah, tapi orang tuamu berencana untuk mengikut sertakan aku di les privat, mereka bilang nggak mau nilai-nilaimu turun," ujar Die yang membuatku hanya menggaruk-garuk kepalaku. "Kamu pasti pusing disuruh belajar terus," kataku merasa kasihan. Die menggeleng. "Itu lebih baik, daripada nggak bisa belajar karena setan." Aku terdiam, tiba-tiba teringat soal Setan kepala waktu itu. "Setan kepala di kolong mejamu, siapa?" tanyaku penasaran. Die mengedikkan bahu. "Aku nggak tahu," jawabnya. "Dan nggak mau tahu." "Hm," gumamku. "Hentikan rasa penasaranmu, Pol. Kita berdua bisa terbunuh jika kamu terus melanggar batas," kata Die mengingatkan. Aku hanya mengangguk mengerti. “Baiklah. Maafkan aku.” "Tadi kamu bilang datang bersama Tsabit, di mana dia sekarang?" tanyaku heran, baru sadar nggak ada Tsabit di antara kami. "Ah, soal itu. Dia bilang takut padamu, jadi nggak berani kemari," jawab Die menjelaskan. "Takut padaku?" ulangku, nggak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Die mengangguk. "Apa kalian bertengkar?" tanya Die. Aku menggeleng. "Nggak, tuh." "Lalu kenapa dia takut padamu? Bukankah meski ragamu aku, sikapmu padanya tetaplah Pol?" Aku mengangkat kedua bahu. "Entah." Die nggak bertanya lagi. Gadis itu mengusulkan agar kami segera menemui Tsabit yang lebih memilih untuk menunggu di depan rumah sakit. Aku setuju dengan usul Die. Jadi kami pergi menemui Tsabit. "Bagaimana di sini?" tanya Die. "Apanya?" tanyaku kurang mengerti tentang topik yang kami bahas. "Keadaannya," jawab Die. "Ah, Life baik-baik saja, dokter bi-.." "Bukan Life, aku nggak peduli padanya. Yang aku tanya bagaimana keadaan di sini untukmu? Apa kamu nggak melihat atau diganggu setan di sini?" potong Die, menjelaskan dengan cepat maksud pertanyaannya. "Ah," kataku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang nggak gatal. Baru paham tentang apa yang ditanyakan Die. "Nggak," jawabku. Die menatapku nggak percaya. "Kamu nggak melihat satu pun? Ini rumah sakit, Pol. Banyak jiwa-jiwa yang akan mati dan kamu nggak melihat mereka?" Die menaikkan intonasi bicaranya. Aku hanya mengangguk meyakinkan. "Aku nggak lihat, Die. Apa kamu lupa? Aku bersama Life." Die memasang wajah datar lagi. "Ah, aku lupa soal itu," kata Die. "Maaf." "Nggak apa-apa." Kami berjalan lagi, melintasi lorong rumah sakit. Maafkan aku berbohong lagi padamu, Die. Mana bisa aku katakan bahwa setiap aku jauh dari Life, aku melihat setan di mana-mana? Aku nggak mau kamu khawatir, Die. Aku melihat tapi nggak diganggu. Karena mereka nggak tahu bahwa aku bisa melihat mereka. "Oh ya Die, apa selama dengan Life, nggak akan ada satu setan pun yang bisa kamu lihat?" tanyaku. Die mengangguk. "Ya, kenapa?" "Nggak apa-apa, kok." "Serius?" "Iya." Lantas kenapa aku bisa melihat arwah ayahnya Life dan Die? Kenapa? "Ah, itu Tsabit," kata Die sambil menunjuk ke depan membuatku menoleh ke arah Tsabit yang sedang membeli siomay. Kami sudah di depan rumah sakit, tepatnya di pinggir jalan. "Sedang apa dia?" tanyaku heran. "Akhir-akhir ini dia suka membeli jajanan di jalan," kata Die memberikan info. "Jangan dekat-dekat dengannya," kataku mengingatkan. "Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Die. Aku mengangguk. "Ya." Die terkekeh. "Jangan khawatir, ini ragamu, apa yang bisa terjadi?" tanya Die lalu tertawa geli. Justru karena itu tubuhku segala hal bisa terjadi, Die. Peka, dong. "Apa kamu langsung pulang?" tanyaku saat melihat Tsabit yang sempat terkejut melihatku berjalan mendekat. Die mengangguk. "Ya, kenapa? Apa kamu mau ikut bersamaku?" tanya Die. Aku menggeleng. "Nggak, aku harus menjaga Life." Die berdecak pelan. "Kenapa juga kamu harus menjaganya? Dia bukan kakakmu, bahkan meski dia kakakku, kamu nggak harus melakukannya, Pol." Aku hanya mengulas senyum tipis. "Die, keluarga adalah suatu hal yang nggak bisa dibuang walaupun ingin. Bagaimanapun kamu menolak, kenyataannya, bagimu dia tetaplah seorang kakak." Die mendesah berat. "Ayo pulang, Bit!" ajaknya begitu Tsabit sudah di depan kami. "Heh? Secepat itu?" tanya Tsabit yang bahkan belum menyapaku. Tsabit menoleh ke arahku dan bergidik ngeri. "Du-duluan ya," katanya terbata lantas menyusul Die yang sudah berjalan lebih dulu. Angin berhembus, membawa bau anyir bercampur bau bunga Kamboja dan Melati yang seketika membuatku menoleh ke kiri. Aku tertegun, menatap bayangan seorang lelaki yang nggak asing berdiri nggak jauh dariku. Rantai di lehernya masih ada. Aku mengerjapkan mata dua kali, jantungku seakan diperas saat membaca gerak bibirnya yang bergerak pelan. Anehnya, suaranya sampai di telingaku seolah dia berbisik dari jauh. "Pol."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD