Happy Reading
"Ayah, Kania mau menggantikan posisi CEO setelah ayah pensiun, boleh nggak?" tanya Kania dengan nada lembut setelah menikmati makan malam yang disuapi oleh Ayah Alex.
Wajahnya tampak lebih segar dibandingkan sebelumnya saat ia pertama kali dirawat di rumah sakit. Kondisinya memang semakin membaik. Setelah diberikan kesempatan kedua untuk hidup, Kania merasa seperti terlahir kembali. Ia bertekad untuk menjadi dirinya sendiri, mengutamakan kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya serta orang-orang yang dicintainya, terutama Ayah Alex. Ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu, di mana ia terlalu abai terhadap kesehatan sang ayah.
Dulu, Kania terlalu sibuk mengejar cinta Julio, fokus pada hubungan yang ternyata sangat menyakitkan dan mengabaikan Ayah Alex yang sebenarnya membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya. Kania baru menyadari betapa pentingnya kehadiran sang ayah setelah beliau tiada. Ia menyesal karena tidak peka terhadap kondisi kesehatan Ayah Alex yang memiliki riwayat hipertensi dan akhirnya mengalami penyumbatan jantung.
Jika saja di kehidupan sebelumnya Kania lebih memperhatikan Ayah Alex, lebih sering berkomunikasi, menanyakan kabarnya, dan mendorongnya untuk memeriksakan kesehatan secara rutin, mungkin semuanya tidak akan berakhir dengan meninggalnya sang ayah. Mungkin Ayah Alex masih hidup dan sehat di sampingnya.
Setelah kepergian sang ayah, Kania terus dihantui rasa bersalah karena terlalu terlena dengan dunia asmara dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Ia juga menyadari bahwa Ayah Alex mungkin memendam beban pikiran tentang kondisi rumah tangganya yang jauh dari kata harmonis. Namun, Kania selalu menyembunyikan masalah rumah tangganya dari sang ayah, tak ingin menambah beban pikirannya. Kini, Kania berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih memperhatikan sang ayah.
Ayah Alex mengerutkan keningnya, ekspresi wajahnya menunjukkan kebingungan bercampur heran. "Bukankah dua bulan lalu kamu meminta pada ayah agar jabatan CEO diberikan pada Julio? Kenapa sekarang jadi minta jabatan itu?" tanyanya dengan nada penuh keheranan.
Ia mengingat dengan jelas permintaan Kania sebelumnya dan perubahan sikap putrinya ini membuatnya penasaran. Ada apa sebenarnya di balik permintaan Kania yang tiba-tiba berubah?
"Apa? Kenapa waktunya berubah? Seharusnya ayah memberikan jabatan CEO itu setengah tahun lagi, ups!" Kania menutup mulutnya dengan telapak tangan, menyadari bahwa ia hampir saja keceplosan.
Ia melirik Ayah Alex yang tampak semakin penasaran. Kania berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjelaskan perubahan keputusannya tanpa mengungkapkan kebenaran tentang kembalinya ia dari masa lalu.
"Itu dulu, sekarang aku berubah pikiran."
"Kamu istirahat dulu, nak. Besok sudah boleh pulang dan Julio yang akan menjemputmu," ujar Ayah Alex dengan lembut, mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia khawatir kondisi Kania akan drop jika terlalu banyak berpikir.
"Ayah juga istirahat, mending malam ini pulang aja. Kasihan punggung ayah, tuh! Sudah minta berbaring," celetuk Kania, khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya. Ia merasa tidak enak membiarkan ayahnya menungguinya di rumah sakit.
"Kamu nggak apa-apa di sini sendirian? Nanti ayah akan menyuruh salah satu pelayan nunggu kamu." Ayah Alex menatap putrinya dengan penuh perhatian.
Kania langsung mengangguk. "Iya, Yah. Sekarang ayah pulang dan istirahat," ujar Kania dengan tulus.
Ia tidak ingin egois dan membiarkan ayahnya yang sudah lelah terus menemaninya. Di saat sakit seperti ini, ayahnya yang sebenarnya juga mulai tidak sehat, selalu ada di sampingnya. Sementara suaminya, Julio, yang selalu ia cintai dan ia berikan segalanya, entah berada di mana. Kania merasa sangat miris dengan keadaan ini.
Ayah Alex mengangguk, ia memang merasa tubuhnya sudah lelah dan ingin segera beristirahat. Ia mencium kening putrinya dengan penuh kasih sayang sebelum meninggalkan ruangan. Kania menatap kepergian ayahnya dengan tatapan sendu. Ia berjanji dalam hati untuk melindungi dan menjaga ayahnya dengan segenap jiwa dan raga.
***
Keesokan harinya, sinar matahari siang menembus jendela kamar rumah sakit. Hari ini Kania telah diperbolehkan pulang. Rasa lega bercampur dengan kegelisahan memenuhi hatinya. Tas-tasnya telah rapi terkemas, dibantu oleh pelayan sang ayah. Segala perlengkapannya telah siap untuk dibawa kembali ke rumah, namun ada satu hal yang mengganjal di hatinya: ayahnya bersikeras agar ia pulang bersama Julio, dan itu berarti ia harus menunggu suaminya itu datang menjemput.
"Ayah, aku ingin pulang sekarang, tidak perlu menunggu Julio. Ayah kan sudah ada di sini, kita pulang berdua saja, ya?" rengek Kania, suaranya memelas. Ia benar-benar belum siap bertemu Julio, bayangan kejadian di masa lalu masih menghantuinya, membuat dadanya sesak.
Kania teringat dengan jelas kejadian serupa di masa lalunya. Julio memang menjemputnya pulang dari rumah sakit, tetapi saat itu ia datang bersama Feya. Yang membuat Kania semakin sakit hati adalah kenyataan bahwa Feya seharusnya sudah berada di perusahaan, tetapi Julio masih menyempatkan diri untuk menjemputnya setelah perjalanan dinas keluar kota. Julio bahkan menjemput Feya di kantor terlebih dahulu sebelum menjemputnya di rumah sakit. Bayangan Julio dan Feya bersama, tertawa dan berbincang akrab, membuat luka lama di hati Kania kembali menganga.
Saat itu, cemburu yang membakar jiwa membuat Kania kehilangan kendali. Ia marah, mengamuk, dan bahkan melontarkan kata-kata kasar kepada Feya, menuduhnya sebagai perempuan murahan yang sengaja mendekati suami orang. Didorong oleh emosi yang meluap-luap, Kania bahkan menampar Feya. Wajah polos Feya yang tampak terkejut dan terluka justru semakin membakar amarah Kania. Pembelaan Julio terhadap Feya semakin memperkeruh suasana, membuat Kania semakin membenci wanita itu dan bertekad untuk menyingkirkannya dari kehidupan Julio. Namun, tanpa disadari, perilakunya yang impulsif dan penuh amarah justru membuat Julio semakin menjauh dan membencinya.
"Kali ini, semuanya akan berbeda," batin Kania dengan tekad yang membara. "Aku tidak akan peduli lagi dengan mereka. Terserah mereka mau berbuat apa di belakangku atau di depanku, aku tidak akan peduli! Silahkan kalian bersenang-senang. Aku akan menceraikan Julio setelah ini! Aku akan mengubah alur hidupku dan aku tidak akan pernah tinggal diam dengan Feya yang sudah membuat kehidupanku menderita. Aku akan memulai hidup baru, hidup yang bebas dari bayang-bayang mereka, tapi sebelumnya, aku akan memberikan pelajaran untuk keduanya!"
Kania membayangkan masa depannya yang baru, hidup yang mandiri dan bahagia tanpa adanya Julio dan Feya di hidupnya sekarang. Ia tidak akan lagi membuang waktu dan energi untuk memperjuangkan pernikahan yang hanya bertepuk sebelah tangan, pernikahan yang justru membawanya pada kematian tragis di tangan suaminya sendiri. Ia akan merelakan Julio untuk Feya, wanita yang dicintainya. Ia akan melepaskan Julio agar pria itu bisa bahagia dengan pujaan hatinya, dan yang lebih penting, ia akan melepaskan dirinya sendiri dari jeratan dua orang yang telah membuatnya menderita.
Kania memejamkan mata, membayangkan kehidupan yang tenang dan damai, jauh dari drama dan konflik yang selama ini membelenggunya. Ia akan fokus pada dirinya sendiri dan sang ayah, mengejar impian dan kebahagiaannya. Ia akan membuktikan pada dirinya sendiri, dan juga pada Julio bahwa ia bisa hidup bahagia tanpanya. Kania menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar, dan melepaskan segala beban yang selama ini ia pikul. Ia siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Babak yang penuh harapan dan kebahagiaan. Ia akan menjadi wanita yang mandiri, kuat, dan bahagia. Ia akan menjadi Kania yang baru.
"Nanti saja, kita tunggu Julio, dia sudah di dalam pesawat," ujar sang ayah.
Kania terdiam, bagaimana caranya dia bisa mengatakan pada sang ayah jika dia sudah tidak menginginkan pria itu lagi.
"Ayah, aku ingin bercerai dari Julio," ujar Kania dengan suara lirih namun tegas, tatapannya kosong menatap lurus ke depan.
Mendengar ucapan putrinya yang tiba-tiba itu, sontak membuat Pak Alex sangat terkejut. Ia menatap Kania dengan pandangan tak mengerti, kerutan di dahinya semakin dalam.
"Kenapa tiba-tiba kamu meminta cerai? Bukankah kamu sangat mencintai Julio?" tanya Pak Alex.
Ingatannya melayang kembali ke masa lalu, ketika Kania melakukan berbagai cara agar Julio bersedia menikah dengannya. Ia ingat betul betapa bahagianya Kania saat Julio akhirnya mau menikahinya meski ada campur tangannya. Pernikahan mereka digelar dengan meriah, dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Kania tampak begitu berseri-seri di hari pernikahannya, seperti putri raja yang mendapatkan pangeran impiannya.
Lalu, mengapa sekarang putrinya ini bicara ingin bercerai? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benak Pak Alex, membuatnya semakin bingung dan cemas. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh putrinya.
Kania menggelengkan kepalanya pelan.
Tidak, Kania sudah tidak mencintai pria itu lagi. Semua rasa cinta yang pernah begitu besar di hatinya telah padam. Perasaan itu telah mati saat Julio, pria yang begitu dicintainya, membiarkannya terluka parah dan kehilangan nyawanya. Julio lebih percaya pada Feya, wanita yang memfitnahnya dengan keji, menuduhnya melakukan perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Julio bahkan tidak membawanya ke rumah sakit sampai dia meninggal.
Mengingat di kehidupan sebelumnya, membuat hatinya terasa sesak dan perih. Air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha menahannya agar tidak jatuh.
"Tidak ayah, aku sudah tidak mencintai pria itu lagi! Aku ingin segera bercerai darinya!" seru Kania dengan mata yang menyala bagai bara api, suaranya meninggi, menunjukkan betapa besar rasa sakit dan kekecewaannya.
Tangannya terkepal erat, menunjukkan kemarahan yang membara di dalam hatinya. Ia tidak bisa lagi membayangkan hidup bersama Julio, dia hanya akan mati di tangan suaminya sendiri.
"Kania, kamu tidak bisa bercerai dengan Julio karena itu adalah janji ayah padanya. Sudah, kamu nggak usah mikir aneh-aneh, setelah dari perjalanan ke luar kota, Julio pasti akan datang ke sini," ucap sang ayah dengan nada menenangkan, mencoba meredakan emosi putrinya. "Tadi Julio mengatakan pada Ayah jika dia akan langsung ke sini menjemputmu setelah sampai." Pak Alex berusaha meyakinkan Kania bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ayahnya selama ini memang tidak tahu jika Julio sama sekali tidak pernah memperdulikannya. Kania selalu menutupi perilaku Julio yang acuh tak acuh dan dingin di depan sang Ayah. Ia selalu menciptakan cerita-cerita indah tentang betapa perhatian dan penyayangnya Julio, membuat ayahnya percaya bahwa rumah tangganya baik-baik saja. Kania membohongi dirinya sendiri dan orang lain, termasuk ayahnya yang begitu ia sayangi. Ia tidak ingin membuat ayahnya khawatir dan kecewa.
"Tapi, yah—" Kania mencoba untuk menjelaskan, namun terpotong oleh ucapan ayahnya.
"Nak, kenapa tiba-tiba kamu menjadi seperti ini, biasanya kamu begitu menginginkan kehadiran suamimu itu, lalu kenapa kamu meminta cerai sekarang?" sela Pak Alex.
Dia merasa putrinya memang berbeda setelah sadar dari pingsannya akibat jatuh dari tangga dua hari yang lalu.
"Tidak, aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, Yah. Aku ingin pisah dari pria itu!" jawab Kania dengan lugas dan tegas, bahkan dia sama sekali tidak mau menyebut nama suaminya.
Rasa benci dan muaknya terhadap Julio begitu besar, sehingga ia tidak sanggup lagi untuk menyebut namanya.
Pak Alex semakin merasa aneh dan bingung. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kania yang dia tidak tahu? Apakah Julio menyakiti perasaannya?
"Sayang... Ayah tahu kamu pasti merasa kesal karena suamimu tidak langsung pulang ketika dikabari jika kamu jatuh dari tangga, tapi Julio di sana juga sedang menyelesaikan pekerjaannya," ujar Pak Alex, mencoba mencari alasan yang masuk akal atas perubahan sikap putrinya. Ia berpikir mungkin Kania hanya merasa kesal dan kecewa karena Julio tidak segera pulang untuk menjenguknya.
Kania menghela napas panjang, mencoba untuk bersabar. Baiklah. Kali ini dia tidak akan terburu-buru. Meskipun sebenarnya dia merasa sangat kesal dan kecewa, tetapi dia tidak bisa membangkang kepada ayahnya karena Kania sangat menyayanginya. Ia tidak ingin membuat ayahnya sedih dan kecewa.
"Baiklah kalau begitu, tapi izinkan aku kembali ke perusahaan dan mengambil alih posisi tertinggi di perusahaan Ayah!" ucap Kania, mengalihkan pembicaraan.
"Tapi nak, jabatan itu sudah Ayah berikan kepada Julio, dulu kamu tidak mau menggantikan ayah karena ingin menjadi istri dan ibu rumah tangga, kenapa sekarang berubah?" tanya Pak Alex heran. Ia ingat betul ketika Kania menolak tawarannya untuk memimpin perusahaan, karena ingin fokus mengurus rumah tangga dan menjadi istri yang baik untuk Julio.
Kania memejamkan matanya, kemudian membukanya perlahan. Kilatan kebencian terlintas di matanya, seolah ada api yang membara di dalam dirinya. "Sekarang aku ingin, aku lelah jika hanya berdiam diri di rumah. Ayah tahu jelas bagaimana kemampuanku, bukan?" ujarnya dengan nada suara yang dingin dan tegas.
Pak Alex menghela napas panjang, merasakan kekhawatiran yang semakin besar di hatinya. Sifat keras kepala putrinya ini memang sama persis dengan mendiang istrinya. Ia tahu betapa sulitnya mengubah pendirian Kania jika ia sudah memutuskan sesuatu.
"Baiklah, ayah akan menyetujui permintaanmu, tapi kita bicarakan ini dengan Julio dulu!" senyum di bibir Kania langsung melebar mendengar jawaban itu.
"Terima kasih, yah. Aku sangat mencintaimu!"
Kania langsung memeluk ayahnya, dadanya terasa sesak, hari ini dia tidak ingin dilihat sebelah mata oleh suaminya, dia akan membuktikan jika dia bukan wanita bodoh manja, sifat yang selama ini diketahui oleh semua orang. Kania memang tidak pernah memperlihatkan sisi dirinya yang sebenarnya. Dia lulusan terbaik universitas Harvard dan tidak ada yang tahu hal itu. Bahkan Julio pun tidak tahu. Selama ini dia menyembunyikannya karena merasa takut jika nanti Julio tidak akan menyukainya jika tahu dirinya lebih unggul.
Sekarang Kania yang manja dan pura-pura bodoh sudah tidak ada lagi, setelah kehidupan keduanya ini, dia akan menjadi wanita yang kuat untuk membalaskan dendamnya. Mulai dari mengambil alih jabatan tertinggi di perusahaan. Kania tidak pernah menyangka jika dirinya diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali ke masa lalu. Kania tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk balas dendam kepada orang-orang yang telah menyakitinya.
***
kania berjalan anggun di depan Julio dan Feya. Ya, akhirnya Julio benar-benar datang bersama Feya, persis seperti di masa lalu. Namun, dia tidak akan cemburu atau menampar Feya kali ini. Kania bahkan tidak tersenyum sama sekali ketika melihat keduanya datang.
"Pasangan yang serasi!" gumam Kania sambil berdecih.
Julio yang berjalan di belakangnya pun dapat mendengar dengan jelas ucapan sang istri yang sejak pertama melihat sudah tidak ada nada manja atau merengek lagi.
Pria itu berjalan lebih cepat untuk menyamai langkah istrinya, dia merasa heran dengan tingkah Kania yang sangat aneh. Bukankah seharusnya Kania saat ini berjalan dengan menggandeng lengannya dengan erat, seperti lintah yang menempel. Tetapi, Kania bahkan tidak mau menatapnya atau pun menyapanya.
"Apa tadi yang kamu ucapkan?" tanya Julio melirik istrinya. Dia melihat tangan Kania yang bebas, biasanya tangan itu pasti akan memeluk lengannya jika dia ada di sisinya.
"Apa? Memangnya aku tadi bilang apa?" jawab Kania cuek dan terkesan dingin.
Julio begitu terkejut dengan perubahan istrinya yang seperti ini. Kenapa nada bicara Kania dingin sekali.
"Kamu tadi mengucapkan kata pasangan yang serasi? Apa maksudmu?" Julio kesal karena Kania seakan menyindirnya yang sedang berjalan bersama Feya di belakangnya.
Kania menyunggingkan senyumnya, sepertinya membuat Julio marah akan mempercepat langkahnya untuk membuat pria itu menceraikannya.
"Ya, begitulah, ku rasa kalian memang sangat serasi, berjalan berdua di belakangku, seperti dua asisten yang sedang kasmaran!" cibir Kania.
Julio tidak suka ketika Kania menyebutkan kata "dua asisten yang sedang kasmaran" Itu sangat menghinanya. Julio adalah suaminya dan dia hanya dianggap asisten hanya karena berjalan berdampingan dengan Feya. Bukankah Kania sendiri yang tidak mau berjalan bersamanya?
"Aku ini suamimu, Kania!"
Bersambung