Bab 1

1107 Words
Malam yang berkabut, suara-suara binatang aneh membuat Azura bergidik ngeri. Padahal itu hanya suara binatang-binatang kecil seperti jangkrik. Dia menggandeng erat tangan Essi teman baiknya. Mereka berdua hendak pergi mencari puskesmas terdekat karna teman sekelompok mereka sedang sakit perut di perkemahan. "Si, aku rasanya jadi takut." Kata Zura sambil memegang tengkuknya yang merinding. "Kita ini tidak di hutan-hutan belantara. Kita hanya perlu mendaki sedikit lagi, maka akan menemukan jalan. Darisana kita bisa menumpang angkutan umum." "Apa kita sebaiknya kembali? Sepertinya ini bukan jalannya." Essi melihat sekeliling untuk mengamati. Kemudian matanya melihat cahaya terang. "Sepertinya di balik tanjakkan itu ada sebuah rumah sangat besar. Kita memang sudah tersesat." "Aku tidak mengerti kenapa harus kau tadi yang di suruh ketua panitia." "Kau tau sendiri aku jadi bahan bullyan orang itu. Kau saja yang terlalu baik mau menemani." Tanpa banyak kata-kata lagi, Essi dan Zura kembali berjalan menuju cahaya terang dari sebuah rumah. Rasanya kaki mereka berdua udah mau patah karna berjalan terus. Sesampainya di depan rumah mewah yang sangat besar itu, mereka hanya bisa menggeleng takjub melihat keindahannya. Bak Istana megah dengan warna emas dan silver berkilauan karna cahaya lampu yang sangat terang. "Wah, aku barutahu orang kaya mau membangun rumah di perbukitan seperti ini." Kata Zura sambil berdecak kagum. "Lebih baik kita melanjutkan jalan lagi. Aku takut kita malah kemalaman." Ajak Essi melanjutkan jalannya. Mereka kembali berjalan mengikuti jalanan yang sudah ada. Kini jalanan tampak begitu indah dengan lampu-lampunya, tapi sangat seram karna tak satupun kendaraan lewat atau tak satupun orang yang terlihat. Ya, tanpa di kasih taupun mereka tau jalanan itu pasti di buat khusus untuk si pemilik rumah agar bisa melintas dengan nyaman. ...... Lama mereka berjalan, kaki pun rasanya sudah mau patah karna ujung jalan tak kunjung ditemukan. Bahkan napas mereka sudah mulai ngos-ngossan karna sudah terlalu lama berjalan. "Apa sebaiknya kita kembali?" Tanya Zura yang mulai memiliki perasaan tak enak. Rasanya dia memang sudah merasa tak enak semenjak sedari tadi. "Apa lebih baik begitu?" Tanya Essi balik. Dia juga merasakan hawa-hawa yang mulai membuatnya merinding. Tanpa berpikir keras lagi, mereka akhirnya memutuskan untuk berbalik saja, daripada malah bertemu lelaki hidung belang. Zura mengkerutkan keningnya ketika matanya melihat cahaya hijau yang terang di balik bunga semak di pinggir jalan. "Si, apa kau lihat itu?" Ucapnya sambil menunjuk. "Seperti lampu." Jawab Essi. Zura hendak mendekat tapi tangan Essi menariknya. "Sebaiknya jangan sembarangan, kita tidak tau daerah seperti apa ini." "Tapi aku ingin melihat. Kau tunggu disini." Kata Zura menenangkan. Mungkin hanya sebuah lampu, pikirnya. Zura membuka semak itu, dan ternyata hanya botol kaca berisi cahaya hijau seperti lampu. Dia mengambilnya dan mengamati dalam. "Darimana cahayanya berasal?" Tanyanya bingung ketika tak melihat batrai, listrik, atau apapun. Seperti sulap. Tiba-tiba botol itu mengeluarkan panas yang menyengat, sehingga Zura tak sengaja menghempaskannya ke tanah. Botol itu pecah terkena batu, tapi cahaya hijaunya melayang cepat bak angin memasuki kuku Zura seperti terhisap. Zura kaget setengah mati. Dia berteriak dan langsung berlalu menghampiri Essi kembali. "Essi! Cahaya hijaunya masuk ke kuku-kuku ku." Ucapnya sambil menunjukkan 5 jari tangan kanannya. Essi melihat, dan mengamati. "Mungkin hanya perasaanmu saja. Sudah ku bilang jangan sembarangan. Lebih baik kita cepat kembali." Essi langsung menarik Zura cepat. "Aku yakin cahaya itu tadi masuk ke kuku-ku. Mereka seperti hidup." Kata Zura mulai panik. Takut akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. "Makanya ayo kita cepat kembali." Kata Essi berjalan cepat, sambil menggandeng Zura. .......... Mereka sampai di depan rumah mewah yang mereka lihat tadi. Tapi Zura terpekik kaget melihat rumah itu. "Si!" Dia memukul pundak Essi pelan agar gadis itu berhenti. "Apa ini rumah yang kita lewati tadi?" Tanyanya. Essi mengangguk mengiyakan. "Ini rumah yang tadi." "Apa kau yakin? Kenapa bentuknya berubah? Warnanya juga kenapa berubah?" Kata Zura mengerjapkan matanya tak percaya. "Apanya yang berubah? Tidak ada yang berubah. Sama seperti tadi kok." Lagi, Zura mengerjapkan mata, tak ada perubahan. Dia mengucek mata, tapi yang dia lihat tetap rumah yang berbeda. Yang dia lihat sekarang bukan rumah yang tadi, tapi istana berwarna biru kristal. Dia langsung melihat kuku-kukunya, apa ada hubungannya dengan cahaya hijau tadi pikirnya. Essi mendadak bingung melihat tingkah Zura. "Ada apa?" Zura bimbang, apa dia memberitahu saja? "Kalau aku bilang yang aku lihat sekarang bukan rumah yang tadi, apa kau percaya?" Tanya Zura dengan wajah serius. Essi menggeleng. "Sudah lupakan. Ayo kita cepat kembali." Ucap Zura melangkah duluan. Dia mendadak jadi takut, pasalnya istana itu sangat menakutkan walaupun warna biru kristalnya menakjubkan. .......... Zura menarik nafasnya dalam, kemudian dia hembuskan secara perlahan. "Apa ini hanya mimpi?" Tanyanya pada diri sendiri. Dia duduk menjauh dari teman-temannya yang mengelilingi api unggun. Ada acara perayaan pelantikan organisasi di kampusnya jadi dia terpaksa ikut karna dia bagian dari organisasi itu. Mata Zura terbelalak kaget ketika seorang senior cantik berprofesi sebagai model yang ia kenal tiba-tiba lewat didepannya dengan langkah yang anggun. Tapi bukan kecantikan wanita itu yang membuatnya terbelalak kaget, tapi cahaya biru kristal yang melingkar di semua jari dan pergelangan wanita itu. "Kak Miyi!" Panggil Zura, dan langsung menghampiri. Wanita bernama Miyi itu berbalik dan mengerutkan kening, bingung, mengapa Zura tiba-tiba memanggilnya. "Ada apa Ra?" "Kenapa tangan kakak bercahaya?" Tanya Zura sambil menunjuk tangan kanan Miyi. Miyi mengerutkan kening lagi. "Tanganku baik-baik saja. Tak ada cahaya apapun." Ucapnya sambil menunjukkan tangannya pada Zura. "Apa kau baik-bak saja?" Zura mengucek matanya, takut salah liat. Tapi seberapa kalipun dia mengucek mata, tetap tak ada perubahan. Jelas-jelas dia melihat garis biru yang melingkar dan mengeluarkan cahaya di tangan Miyi, tapi Miyi bilang tidak ada. "Aku salah lihat kak. Maaf menggagu." Kata Zura akhirnya. Miyi tersenyum, lalu meninggalkan Zura untuk bergabung dengan yang lainnya. "Ada apa denganku? Ada apa dengan mataku? Kenapa aku melihat apa yang tidak bisa di lihat orang lain? Apa cahaya biru itu? Kenapa cahaya yang ada di tangan kak Miyi sama dengan cahaya yang ada dirumah tadi?" Tanya Zura dalam hati. Zura berjalan ke belakang tendanya. Dia mau lihat ke arah hutan-hutan. Dia mau memastikan apa dia bisa melihat setan atau tidak. Kalau dia bisa, berarti cahaya hijau tadilah penyebabnya. Zura melototkan matanya untuk melihat ke arah ranting-ranting pepohonan. Lama dia memperhatikan pohon-pohon. Dia bersumpah, kalau melihat hantu akan lari terbirit-birit ke perkumpulan api unggun. Mata Zura turun ke bawah pohon, mungkin hantu-hantu sedang tidak bermain di atas. "Kau sedang melihat apa?" Suara seorang laki-laki mengagetkan Zura. Kakinya mendadak lemas dan tidak bisa bergerak. Zura menoleh ke samping kanan, ke arah batang pohon yang besar. Seorang lelaki sangat tampan menurutnya bersender dengan santainya di batang pohon itu. Bukan, bukan kehadiran lelaki itu yang mebuat Zura lemas, tapi di rambut-rambut lelaki itu mengeluarkan cahaya biru yang mengganggunya sedari tadi. "Ra..ra..rambutmu..." ucap Zura sambil menunjuk kepala lelaki itu. ............
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD