Bab 6. Menebar Fitnah

1317 Words
Satu bulan berlalu sejak Langit memulai kehidupan baru sebagai suami dengan dua istri. Meskipun mereka semua berusaha hidup rukun dalam satu atap, namun kenyataannya, kehidupan mereka tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Jingga, yang sejak awal sudah berusaha ikhlas menerima pernikahan poligami ini, ternyata masih sering menanggung beban kesedihan yang mendalam di hatinya. Terlebih saat Langit tidur di kamar madu bersama istri keduanya. "Kenapa aku harus merasa seperti ini? Aku sudah berusaha menerima takdir ini, tapi rasa sakit hati ini selalu muncul," keluh Jingga dalam hati. Sementara itu, Helena, istri kedua Langit, juga merasa tak bahagia meski tahu bahwa posisinya masih belum diakui oleh hati Langit. Dia mengerti bahwa Langit belum mencintainya dan hanya Jingga yang ada di hati suaminya. Tetapi, ia juga hanyalah manusia biasa, seorang istri yang mengharapkan diperlakukan adil oleh suaminya. "Apa aku nggak berhak untuk bahagia dan diperlakukan dengan adil? Bukankah aku dan Mas Langit menikah demi memiliki keturunan, tapi kenapa Mas langit seperti jijik mau menyentuhku?" batin Helena dalam kepedihan. Langit, sebenarnya bukanlah pria jahat. Dia selalu memenuhi kebutuhan material keluarga, bahkan nenek Helena pun kini dirawat oleh dokter ahli di bidang penyakitnya, bahkan dia sendiri juga ikut mengontrol kondisi sang nenek di rumah sakit. Namun, hingga saat ini, Langit belum bisa memberi nafkah batin untuk Helena. Hal ini menambah beban hati Helena yang merasa kecewa dan diabaikan. "Aku tahu, sebagai suami memang sudah kewajibanku untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri-istriku. Tapi, kenapa rasanya sangat sulit?" pikir Langit dengan perasaan bersalah. *** Jingga terduduk merenung di sudut kamarnya, pikiran tak henti-hentinya mengutak-atik kebenaran di balik kata-kata Langit waktu itu. Suaminya itu mengatakan bahwa malam pertamanya bersama Helena tidak pernah terjadi, bahkan sampai saat ini. Jingga tidak tahu harus merasa bagaimana, apakah harus merasa lega karena Langit tidak melakukannya? Tapi, bukankah artinya ia begitu egois? Mengingat keputusannya sendiri, saat meminta Langit untuk menikah dengan Helena demi tujuan yang besar. Saat itu pintu kamar terbuka, terlihat Langit yang baru saja pulang dari rumah sakit, melangkah masuk ke dalam. Jingga berusaha menepis rasa gundahnya dan segera beranjak menghampiri suaminya. Dengan lembut, ia meraih tas tenteng yang Langit bawa dan meletakkan di tempatnya. "Terima kasih, Sayang," ucap Langit. "Sama-sama, Mas. Bagaimana hari ini? Pekerjaanmu lancar 'kan?" tanya Jingga, berusaha untuk terlihat normal. "Iya, Sayang, semuanya lancar. Bagaimana di rumah? Apa mama masih selalu menyindir atau berkata yang menyakitimu?" tanya Langit, dengan kepedulian yang tulus. Magdalena memang berubah sikapnya terhadap Jingga sejak kejadian itu, berbanding terbalik dengan sikapnya kepada Helena yang selalu baik dan lemah lembut. Jingga hanya bisa tersenyum kecut, mencoba menyembunyikan kekacauan dalam hatinya. "Nggak ada apa-apa kok, Mas. Aku baik-baik saja seperti biasa." Namun, Langit tahu jika istrinya itu berbohong. "Sayang, Mas minta maaf ya, kalau Mas tidak bisa menjadi suami yang baik untuk kamu. Mas selalu membuat kamu sedih, bahkan mama juga sekarang sering bersikap yang sengaja menyakiti kamu," ucap Langit. "Mas, kamu nggak perlu bicara seperti itu. Untuk apa juga kamu harus minta maaf? Kamu nggak ada salah. Mas, kamu sudah menjalani kewajiban kamu sebagai seorang suami yang baik untuk aku, tapi kamu belum menjalani kewajiban kamu sebagai suami untuk Helena," kata Jingga, mencoba mengungkapkan perasaan dalam hatinya. "Maksud kamu?" tanya Langit, tak mengerti maksud Jingga. "Mas, jujur sama aku, apa sampai sekarang kamu belum menyentuh Helena juga?" tanya Jingga sambil menatap dalam mata Langit, berharap suaminya itu akan jujur. "Aku tidak bisa, Sayang. Aku benar-benar tidak bisa melakukannya," kata Langit dengan suara bergetar. "Kenapa, Mas? Sudah sebulan lamanya kalian menikah dan kamu juga sudah beberapa kali tidur bersama Helena, tapi kenapa kamu belum melakukan kewajibanmu sebagai suami? Kamu juga tidak lupa 'kan, Mas? Tujuan kalian menikah demi memiliki keturunan," ujar Jingga. "Tapi, aku benar-benar tidak bisa memaksakan diri, Jingga!" keluh Langit, merasa frustasi. "Jangan egois, Mas! Semua sudah terlanjur terjadi, apa kamu nggak memikirkan perasaan Helena? Dia bukan hanya membutuhkan uang, tapi juga statusnya sebagai seorang istri," ucap Jingga seraya meneteskan air matanya. Langit merenung, mencoba mencari solusi yang terbaik di tengah kebingungan ini. Dia tahu semua yang Jingga katakan benar. Tapi, bagaimana caranya meyakinkan diri? Apa yang harus ia lakukan? Langit benar-benar sangat stres memikirkan kondisinya saat ini. Dalam hati yang kalut, Langit berusaha menemukan jawaban, mengevaluasi langkah dan pertimbangan yang mungkin harus ia jalani. Dia sadar betapa pentingnya keputusan yang harus diambil saat ini demi masa depan keluarganya, serta perasaan Helena yang selama ini sudah menantinya dengan setia dan sabar. *** "Helena, bagaimana? Apa sudah ada tanda-tanda kalau kamu hamil?" tanya Magdalena yang menghampiri menantunya itu di teras samping rumah. Helena tampak duduk sendirian, menikmati secangkir teh sembari menikmati udara sore dan menenangkan hatinya yang gundah. Namun, seketika dibuat terkejut mendengar pertanyaan ibu mertuanya. "Gimana ini? Aku harus jawab apa? Apa lebih baik, aku jujur saja sama mama kalau Mas Langit nggak pernah menyentuh aku sama sekali? Tapi, aku juga nggak mau kalau mama malah menyalahkan Mas Langit," batin Helena, merasa bimbang dan ragu untuk mengungkapkan perasaannya. "Sayang, kamu kenapa?" tegur Magdalena yang mengejutkan Helena dari lamunannya. "Maaf, Ma. Sebenarnya … sampai sekarang aku belum hamil karena Mas Langit tidak pernah menyentuh aku," ucap Helena lirih. Magdalena tersentak. "Apa? Langit tidak pernah menyentuh kamu? Ini maksudnya apa, kalian berdua tidak pernah berhubungan? Kamu tidak mau atau bagaimana?" Magdalena merasa heran, membuat Helena semakin merasa terpojok dan bingung dengan perasaannya sendiri. Seiring dengan rasa takut yang semakin membesar dalam hati, Helena menyadari bahwa ia harus mengambil keputusan yang bijaksana untuk menyelamatkan pernikahan dan kebahagiaannya bersama Langit. "Bukan maksud aku menuduh, tapi setiap kali kami mau berhubungan, tiba-tiba saja Mas Langit mengurungkan niatnya. Dia bilang tidak bisa melakukannya. Aku yakin, Ma, Mas Langit ragu karena Jingga selalu ada di pikirannya. Aku curiga, apa mungkin Jingga yang sebenarnya melarang Mas Langit untuk menyentuhku?" ujar Helena sedih. "Tapi, bagaimana mungkin Jingga melarang Langit? Bukankah dia sudah merelakan kalian untuk menikah? Jadi, menurut Mama, mana mungkin dia melarang Langit untuk menyentuh kamu sedangkan kamu sudah menjadi madunya," ucap Magdalena, mencoba mencari akal sehat dalam situasi ini. Helena menatap Magdalena dengan pandangan sedih, matanya mulai berkaca-kaca. "Mungkin saja, Ma. Mungkin saat itu hanya akal-akalan Jingga saja, dia sengaja melakukannya karena tidak mau kehilangan Mas Langit, jadi berpura-pura rela dimadu. Tapi ternyata, setelah aku dan Mas Langit menikah, dia malah bersikap seperti ini. Bahkan saat Mas Langit tidur di kamarku, Jingga beberapa kali meminta Mas Langit untuk pindah." Helena mulai menebar fitnah. Magdalena mencoba meresapi setiap kata yang diungkapkan Helena, berusaha untuk mengerti posisinya. "Kamu yakin Jingga seperti itu? Bukankah kalian berteman baik?" tanyanya, seakan tak percaya akan kejadian ini. "Aku juga sulit mempercayai hal ini, Ma. Tapi, semua orang bisa berubah demi mencapai keinginannya 'kan, Ma?" ujar Helena, meyakinkan ibu mertuanya. "Iya, kamu benar juga. Jingga benar-benar keterlaluan! Tapi, kamu tenang saja ya, Sayang. Jangan sedih, Mama pasti akan memberikan wanita itu peringatan keras!" tukas Magdalena, terpengaruh oleh fitnah yang dilontarkan oleh Helena. "Ma, tapi aku mohon, jangan katakan soal ini pada Jingga. Mama 'kan tahu sendiri, aku dan Jingga sudah bersahabat sejak lama. Aku tidak mau hubungan kami jadi renggang karena masalah ini. Aku hanya takut, Jingga semakin tidak menyukai aku dan mempengaruhi Mas Langit." Helena berusaha menyampaikan rasa cemas yang menyelimuti hatinya sambil menggenggam erat tangan Magdalena. "Hebat kamu, Helena. Kamu memang wanita yang baik dan Mama merasa beruntung memiliki menantu seperti kamu. Padahal kamu yang menderita, kamu yang disakiti, tapi kamu tetap membela Jingga. Mama tidak menyangka, Jingga bisa berbuat hal seperti itu. Tenang saja, ya. Mama tidak akan mengatakan apa-apa pada Jingga dan Mama pastikan, malam ini juga kamu dan Langit pasti akan melakukan malam pertama," kata Magdalena, tersenyum tipis. Helena merasa lega. "Tapi, bagaimana caranya membuat Mas Langit mau menyentuh aku, Ma?" Rasa penasaran dan harap campur aduk di dalam dadanya. "Tenang saja, Mama punya ide. Mama akan membantumu," ucap Magdalena, lalu menjelaskan rencana yang telah dia siapkan. Helena mendengarkannya dengan penuh perhatian, menggigit bibir seraya berusaha menemukan keberanian di balik kegelisahan yang kini menyelimuti hatinya. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD