Bab 7. Suara Desahan (21+)

1227 Words
Saat makan malam berlangsung, Helena tampak sibuk di dapur membuat segelas minuman untuk suaminya, Langit. Namun, tiba-tiba saja ia merasakan perutnya mules. Sehingga memutuskan untuk pergi ke toilet, meninggalkan minumannya di sana. Setelah merasa lega, Helena kembali ke dapur dan mengambil minuman yang tadi telah dibuatnya. Dengan penuh semangat, ia membawa minuman tersebut ke ruang makan. "Helena, kamu buat minuman apa itu, Sayang?" tanya Magdalena, ibu mertuanya. "Oh, ini Ma, aku hanya membuatkan minuman jahe untuk Mas Langit sebelum tidur," jelas Helena sambil tersenyum manis. "Kata Jingga, Mas Langit kalau lagi capek suka minum air ini. Supaya besok tubuhnya kembali bugar," tambahnya lagi. Magdalena tersenyum penuh kasih. "Iya, kamu benar sekali. Kamu ini benar-benar istri yang perhatian ya," pujinya. Helena merasa lega mendengar pujian dari ibu mertuanya. Tapi di sisi lain, Jingga hanya tampak terdiam dan terus menikmati makanannya, begitu pula dengan Langit yang tak menggubris. Merasa ingin dihargai oleh suaminya, Helena akhirnya mendekati Langit dengan bersemangat. "Mas, ini kamu minum ya, teh jahenya. Aku sudah susah payah membuatkannya untuk kamu," ucapnya dengan penuh harap, seraya meletakkan segelas minuman hangat itu di atas meja. Sambil menunggu respons dari suaminya, Helena bergumam di dalam hati, "Malam ini kamu pasti akan menjadi milikku seutuhnya, Mas." Kemudian, Langit tampak mengangguk dan mengucap, "Terima kasih ya." Helena tersenyum dan duduk kembali di sampingnya. "Oh iya, tidak hanya Langit, tapi Helena dan Jingga juga harus minum s**u sebelum tidur. Kebetulan Oma sudah menyiapkannya untuk kalian berdua," ujar Saras tiba-tiba, dengan senyum hangat. "Mama menyiapkan s**u untuk Helena juga?" tanya Magdalena, terkejut dengan kelakuan ibu mertuanya yang tiba-tiba menunjukkan kepedulian kepada Helena. "Memangnya kenapa? Tidak salah 'kan, kalau mama mau membuatkan s**u untuk kedua cucu menantu Mama?" ujar Saras dengan tegas, membuat Magdalena terdiam dan bersusah payah menelan salivanya. "Ternyata, oma perhatian juga sama aku. Apa mungkin sekarang oma sudah mulai menerima kehadiranku?" Batin Helena, merasa senang dan lega. "Syukurlah kalau nenek tua ini sudah mulai menerima kehadiran Helena. Buktinya, dia sekarang sudah adil membuatkan s**u untuk Helena juga, tidak hanya Jingga," pikir Magdalena dalam hati. "Mbak, tolong ambilkan s**u yang tadi Oma buatkan ya," perintah Saras kepada salah satu pembantu di rumah mereka, dengan nada yang lembut namun tetap berwibawa. "Baik, Oma," jawab ART yang biasa disapa Mbak Ina. Beberapa saat kemudian, Ina kembali dengan membawakan dua gelas s**u hangat yang telah dibuat oleh Saras. Wanita tua itu langsung mengambilnya dan memberikan s**u hangat tersebut kepada Helena dan juga Jingga. "Ini s**u yang sudah Oma buatkan untuk kalian. Selain langit yang meminum jahe bagus untuk kesehatan, s**u ini juga sangat bagus untuk kesuburan kalian berdua," kata Saras. Helena dan Jingga sama-sama tersenyum. "Terima kasih, Oma," ucap Jingga. "Terima kasih ya, Oma, karena sudah perhatian sama aku. Aku janji, aku akan segera memberikan cicit untuk Oma," ucap Helena. Magdalena tampak tersenyum senang. "Pasti dong, Mama juga sudah sangat menginginkan kamu untuk segera memberikan seorang bayi yang lucu di keluarga ini," ucapnya. *** Tak seperti biasanya, Jingga merasakan tubuhnya begitu panas. Padahal AC di dalam kamarnya itu sudah begitu dingin, namun sama sekali tak berpengaruh di tubuhnya. "Kenapa rasanya panas sekali, ada apa ini?" batin Jingga. Rasanya seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalam d**a, suatu perasaan yang sulit dijelaskan. Sayangnya, malam ini adalah giliran Helena, madunya, untuk tidur bersama sang suami. Hal itu membuat Jingga hanya bisa berguling-guling di atas kasur seperti cacing kepanasan. Tapi tiba-tiba saja, Langit masuk ke dalam kamar dengan wajah memerah, seolah menahan sesuatu, membuatnya merasa terkejut. "Mas Langit, kamu kenapa datang ke sini? Dan kamu kenapa?" tanya Jingga sambil mencoba menahan perasaan yang sedang melanda dirinya. Langit tak langsung menjawab, ia mengunci pintu terlebih dulu lalu mendekati istrinya itu. "Sayang, aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi denganku sekarang ini," ucapnya terengah-engah dan rasanya sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Lalu, Langit pun langsung saja mencium bibir Jingga. Rasa candu dan hasrat yang tak tertahankan melahap dalam dirinya. Semakin tak tertahankan, begitulah perasaan Jingga saat ini. Semua rasa yang sedari tadi ia pendam, kini meledak dan ia tumpahkan pada suaminya, Langit. Dalam sekejap, rasa gejolak yang semakin menggebu kini tersalurkan pada orang yang seharusnya, suaminya sendiri. Jingga merasa berbeda kali ini, ada hasrat yang membara di dalam dirinya, yang membuat ia tak mampu menahan diri. Dengan berani dan penuh gairah, ia membalas ciuman Langit, melumat bibirnya dengan penuh semangat. Ciuman mereka semakin dalam, lidah mereka saling bergulat, saling mempengaruhi dan menjelajahi setiap rongga mulut satu sama lain. Terucap desahan dan lirih rasa yang menambah nafsu mereka. Tak kalah berani, tangan Langit mulai merambah pada tubuh Jingga yang penuh hasrat. Jemarinya yang nakal mulai menjelajahi area yang membuat nafsunya semakin memuncak, dia meremas dan membelai dua gundukan sintal milik sang istri yang sangat ia rindukan. Desahan Jingga semakin tak terbendung, menggumamkan sebuah kenikmatan yang luar biasa. "Agh … Mas," ucapnya lirih. Langit semakin tak bisa mengendalikan dirinya, dia semakin liar saja. Tak sabar, ia melepaskan pakaian Jingga yang menghalangi, membuat bukit kembar itu terbuka lebar untuk dirinya jelajahi. langit merasakan sensasi yang kuat, bagai bayi yang haus dan mencari s**u ibu, ia menyesapnya dengan rakus. Desahan kepuasan semakin menggema di kala tangan Langit mencapai di bawah sana dan memainkan jarinya pada area paling sensitif Jingga. Jingga merasakan gairah yang semakin memuncak, seolah tak dapat dibendung. Ia mencium leher Langit dengan penuh nafsu, berusaha mengukir tanda kepemilikannya di sana dengan menggigit dan menyesapnya. Pikirannya yang liar mulai membayangkan bagaimana ia ingin menjelajahi lebih dalam tubuh Langit. Tangan Jingga pun mulai bergerak nakal, menyelinap masuk dan menemukan tongkat ajaib yang menegang di balik boxer, seolah menantinya. Dengan lembut, Jingga memijatnya, memberikan sensasi yang luar biasa pada Langit. "Agh … Sayang, nikmat sekali," racau langit dengan masa terpejam. Setelah Jingga menyudahinya, Langit yang juga tampak tak bisa menahan desakan gairah yang semakin meluap, segera melepaskan segitiga yang menutupi lembah kenikmatan milik Jingga sehingga dengan mudah untuk dia akses. Lalu, memberikan Jingga sensasi yang tak tertahankan dengan lidahnya yang lincah dan mengecupnya dengan kuat, membuat tubuh Jingga terus menggeliat. Bahkan wanita itu juga menekan kepala Langit dan menjambak rambutnya, melampiaskan rasa hangat itu. "Agh … Mas. Aku nggak kuat lagi," erang Jingga, tak lagi mampu menyembunyikan rasa nikmat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Keringat bercucuran, membuat tubuh Jingga terasa panas dan lemas sekaligus. Dia begitu terlena dalam pesona gairah yang semakin menggebu, mereka tidak bisa menghentikannya dan terus saja mengejar kenikmatan yang menjelma. Langit segera menyudahi permainannya di bawah sana, dengan gerakan cepat, ia memasukkan juniornya yang sudah tak bisa menahan sesuatu yang rasanya ingin meledak dan minta untuk segera dipuaskan. Gerakan yang awalnya lambat semakin dipercepat, diiringi suara desahan yang tak bisa lagi mereka sembunyikan. Keduanya tampak begitu menikmati permainan itu. *** Namun, di kamar lain, Helena tengah diliputi kebingungan. Ia menunggu Langit yang belum kembali ke kamar, setelah tadi sempat pamit pergi sebentar. "Kemana ya, Mas Langit? Pasti obatnya sudah bereaksi sekarang. Apa-apa jangan-jangan, dia ke kamar Jingga?" gumam Helena. Pikiran itu membuat rasa penasaran dan juga kekhawatiran Helena muncul. Dengan langkah gesit, ia pun menuju ke kamar Jingga. Dan setibanya di depan pintu kamar tersebut, ia mendengar suara desahan yang tak terbendung itu. Emosi Helena terusik hingga ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. "b******k, kenapa jadi Jingga yang menikmatinya?" batin Helena kesal. "Helena, kenapa kamu berdiri di depan kamar Jingga?" Tiba-tiba, terdengar suara seseorang yang menyadarkan Helena dari perasaannya yang bercampur aduk antara amarah, kesal dan patah hati. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD