Sebuah Misi

749 Words
Tinnn! Tin! Suara klakson mobil yang terdengar nyaring, bahkan tak membuat lamunan pria muda itu buyar, rasa penasaran Kate semakin menggeliat. Matanya cukup jeli menatap ke arah pria yang terlihat memasang wajah sayu dan tak b*******h. Terbiasa gerak cepat, Kate segera menghentikan mobil yang dia kendarai, dia memamerkan senyum cantik yang banyak membuat pria terkesima kala menikmati senyum itu. Meski dia bukan wanita yang beruntung, terbukti Kate ditinggalkan sang suami bahkan tepat di malam pertama. "Dek, kamu mau kemana?" Tanyanya pada pria muda yang tadi berjalan kaki sambil menendang batu kecil. Mungkin karena Kate dari desa jadi dia selalu berfikiran polos dan positif ke setiap orang. Pria itu tampak mengangkat kepalanya menatap ke arah Kate sejenak, ada binar di matanya lalu segera dia sembunyikan lagi. "Pulang, Mba..." jawabnya kembali menundukkan kepala. Tentu saja ekspresi wajah lesu pria muda itu membebani Kate. "Ke arah mana?" "Tulip Hijau, Mba..." jawab pria muda itu singkat. Tapi jawaban singkat itu membuat wajah Kate berbinar cerah. "Yaudah, yuk naik. Kita satu alamat..." sahut Kate ramah. Tentu saja apa yang ada dipikiran Axel dan Kate berbeda. Kate merasa iba dengan Axel yang harus berjalan kaki karena menghemat ongkos pikirnya "Gak usah, Mba. Ngerepotin..." sahutnya santun, tapi di wajahnya jelas menahan senyum penuh makna, sayangnya hal itu luput dari perhatian Kate. "Ehh! Kok ngerepotin. Kalau kamu minta gendong, mungkin mba keberatan..." candanya dan langsung berinisiatif mengajak pria muda itu bersamanya, merasa bahwa dia adalah Dewi penolong. Pria itu masih tertegun menatap ke arah Kate sedikit ragu. Tapi Kate tampak tak membiarkan pria itu berlama-lama. "Udah, hayuk barengan, kita se arah kok..." ajaknya lagi sambil membuka pintu sebelah dengan cepat. Pria itu tampak menyunggingkan senyum puas. "Gak pa-pa nih, Mba?" Tatapnya ke arah Kate. "Iya, dong. Yuklah. Keburu macet tar..." Kate menyahut dengan ramah. "Baiklah, Mba." Wajahnya tampak berbinar, seolah bersorak menang. Dia membuka pintu dan duduk di samping Kate dengan tenang. "Makasih, Mba. Sudah memberi tumpangan..." tatapannya membuat Kate salah tingkah, sorot mata itu begitu teduh. "Tenang aja. Kan kebetulan banget nih, kita se arah. Kamu kuliah dimana?" Kate melanjutkan mengemudi sambil menikmati pemandangan sore itu yang terasa melegakan. "Livingston University, Mba..." jawabannya perlahan, dan seketika. Ciiitttttt!!!! Derit suara antara ban dan aspal yang menyatu sedikit memekakkan telinga. Axel menoleh dan menegang, ada kekawatiran yang terlukis di wajahnya. "Ma-maaf. Kaget..." Kate nyengir kuda menoleh ke arah Axel yang akhirnya tersenyum lega. "kamu kuliah di Li-vingston?" Kate kembali meyakinkan bahwa pria yang duduk di sampingnya adalah mahasiswa sebuah universitas yang terkenal mahal dan salah satu menjadi universitas para anak konglomerat. "E-hm..." Axel menggaruk, sejenak dia terlihat bingung, keringat dingin menghiasi wajahnya. Beruntungnya dia berhadapan dengan Kate yang merupakan seorang wanita desa dengan pola fikir positive. "Beasiswa yah?" Tebakku asal. "Ehm, I-iya, Mba. Beasiswa..." sahutnya sambil menghela nafas lega. Axel tampak menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ohh, pantes. Tadi mba sempet kaget, kiraen kamu mahasiswa reguler. Kok jalan kaki, rasanya mustahil. Ternyata kamu beasiswa..." sahutnya lega. "Gak pa-pa, sih. Aman banget beasiswa..." imbuhnya lagi yang memang mengetahui nama besar kampus itu. "Iya, Mba. Aman banget. Alhamdulillah...dapet beasiswa..." Axel puas dengan jawabannya, dia langsung mengalihkan pandangan ke jendela sambil mengusap keringatnya yang tadi sempat menghiasi wajahnya. "Ihh, kamu keren banget loh! Nih buat kamu..." Kate mengacungkan dua jempol ke arah Axel dengan memamerkan barisan giginya yang rapi. "Makasih, Mba." Sahutnya menggaruk kepala. "Mba sendiri kuliah atau kerja?" Axel menoleh ke arah Kate yang memang mengenakan seragam formal ala-ala kantoran. "Iya, Alhamdulillah, kalau mba udah bisa nyari makan sendiri. Insya Allah, kamu soon...semangat, ya?" Kate menepuk bahu Axel dengan santai, tanpa sengaja pria itu menoleh ke arah Kate untuk beberapa detik. "Wahh! Hebat, Mba..." Kate hanya tersenyum mendengar pujian dari Axel. Tanpa sadar, mobil sudah masuk ke komplek Tulip Hijau. "Oh, ya, kamu di komplek apa, blok berapa nomer berapa, mba anter langsung aja..." tanyaku setelah beberapa saat terdiam. "Aku di cluster Royal blok C 18, Mba..." jawabnya tenang sambil menyembunyian senyum misterius dari wajah tampannya. Ciiittt! Seketika Kate kembali menginjakkan kaki pada pedal rem mendadak, membuat keduanya terguncang. "Whats?!! Royal blok C 18?" Kate menoleh ke arah pria itu dengan wajah serius. "I-iya, Mba. Kenapa, Mba?" Dia terheran setelah kembali merapikan duduknya yang tergeser akibat rem mendadak. "Mba C 18. Kita sebelahan, dong!" Seru Kate dengan wajah berbinar. "Hah?! Serius, Mba C17? Samping rumah dong?" Tatapnya lagi menahan senyum. Kate mengangguk antusias. "He-em! Kita tetanggaan. Upsh! Sebelahan. Kenapa kita gak pernah ketemu, ya?" Kate seketika bingung, dahinya bertaut. Karena dia merasa lumayan mengenal wajah-wajah yang menjadi tetangganya. menautkan dahiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD