Pagi itu, Moch Adjo berbaring di ranjang Baldacchino hasil ukiran tangan Stuart Hughes yang tepiannya dilapisi emas murni dan di buat oleh tiga kayu Ash, Cherry dan Classy Canopy.
Ranjang itu dibeli seharga 62.5 milyar rupiah. Di samping dekat kepalanya sebelah kanan, ada sebuah meja unik model elips karya Eames. Meja itu ia beli dengan harga 45 milyar belum termasuk ongkos
kirim.
Meja elips persis model meja Resolute milik presiden Amerika Serikat yang ada di Ruang Oval, White House.
Di atas meja, ada cangkir peninggalan Dinasti Ming berusia 500 tahun, ia beli dengan harga 368 milyar. Cangkir itu, selalu berisi kopi Pinogu asli. Ia impor dari kota leluhur nya.
Setiap pagi sebelum ia memulai harinya, ia pasti menyeruput kopi Pinogu nya bersama sebatang cerutu merk Cohiba yang ia impor langsung dari Kuba, tepatnya
cerutu peninggalan Fidel Castro. Ia memang berteman baik dengan orang itu.
Pagi kali ini, Moch Adjo hanya berbaring saja. Kakinya tak mampu melangkah menuju kursi sofa.
Moch Adjo' sekarang tidak memiliki istri. Ia tidak begitu percaya kepada perempuan. baginya, perempuan tidak lebih seperti Cleopatra yang melegenda itu. Bibir seperti gincunya beracun. parasnya menipu. Dan Moch Adjo' tidak suka penipu. Sepanjang di tinggal oleh istri dan anak nya hidupnya, ia ditemani selir - selirnya. Setiap jam, selir selir itu bergantian menemaninya. Selir
selir itu didatangkan dari setiap negara. Sampai pagi ini tercatat sudah ada 3500 selir yang pernah menjadi teman
hidupnya.
Setelah kepergian istrinya 10 tahun yang lalu. Namun, entah kenapa pagi ini, selir dari Indonesia tak berada di samping nya.
Punggung kakinya sebelah kanan bengkak. Ia tak tahu kenapa. Sudah tiga minggu ia tergeletak, tak bisa bergerak. Moch Adjo' hanya sendiri terbaring.
"Ia tak berkata-kata. Mulutnya seperti bergumam. Entah berdoa atau membaca mantra. Matanya telanjang tanpa kacamata pemberian aktor terkenal Arnold Schwarzenneger kala bermain di film Terminator 1 menatap langit kamarnya.
Matanya basah tapi tidak menangis. Ia hanya heran saja, mengapa orang yang kaya raya seperti dirinya bisa dihinggapi penyakit aneh.
Seorang tabib dari negara tirai bambu yang pernah mengobatinya mengatakan bahwa ini penyakit terserang panu. Namun, ia tidak percaya.
Bukan Moch Adjo' namanya kalau mudah percaya. Maka, diusirlah tabib dari tirai bambu itu.
Pada waktu berikutnya, ia mengundang dokter ahli penyakit kulit dari Universitas ternama di dunia.
Dokter spesialis yang paling top itu ia bayar 245 milyar rupiah setiap kunjungan. Namun, tidak ada tanda-tanda ia membaik.
Semula hanya titik biasa di bawah pinggang kirinya. Kira-kira dua sentimeter dari tulang belakangnya.
Selirnya yang dari Kazakhstan yang memberitahunya. Kala itu, ia memandikan Moch Adjo.! Moch Adjo' hanya tertawa
kecil.
“Ini titik rahasia keperkasaanku selama ini, katanya tempo itu.
Moch Adjo' meyakini, semenjak adanya
titik itu, keperkasaan tubuh dan hasratnya semakin bergelora.
Darah muda dan semangat hidupnya semakin hari semakin bertambah sempurna. Ini dapat dilihat dari
bagaimana Moch Adjo menghadapi selir-selirnya setiap waktu, serta orang orang yang dengki kepadanya. Ia lumat tanpa bekas.
Kemudian merasa titik itu adalah titik kekuatan dirinya. Pada hari-hari berikutnya, titik itu berkembang biak menjadi tiga titik yang masing-masing terpisah dan
jika disambungkan antara titik satu dan lainnya persis membentuk segitiga Bermuda yang misterius itu.
Seperti misteriusnya titik yang makin hari makin menjelma di area punggungnya. Ia tidak curiga sama sekali kalau titik itu
adalah penyakit yang akan membawa kematian bagi diri nya. Justru Ia bahkan semakin yakin bahwa semakin
bertambah titik itu, semakin abadilah ia. Semakin sempurnalah hayatnya.
Tiba pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan istrinya yang jauh di sana bahwa dirinya masih hidup sampai sekarang dan memberi tahukan bahwa ia terkena sihir yang amat dahsyat.
"Wahai suamiku sadarlah dan bertobat lah sebelum ajal menjemputmu.
"Suami ku Anakmu sekarang sudah besar dan sekarang berganti nama menjadi Muhammad Ishaq Adjo.
"Moch Adjo' kebenaran akan terungkap tidak lama lagi bahwa aku hanya korban pitnah dari saudara saudara yang tidak suka kepada dirimu dan ingin menguasai hartamu.
Moch Adjo pun terbangun terhentak dan titik-titik itu lama-kelamaan selain bertambah juga semakin gatal. Ia berusaha menahan
gatal yang dia rasakan itu. Titik-titik itu adalah area berbentuk cincin di permukaan kulit dengan tepian berwarna kemerahan yang timbul bersamaan dengan kulit
terkelupas dan rasa gatal yang maha dahsyat.
"Moch Adjo seketika berteriak dengan sangat keras dan histeris seluruh pelayan penjaga berdatangan menghampiri Tuan nya yang sudah terkapar.
"Salah satu orang kepercayaannya Moch Adjo pun mendengar kan bisikan dari Tuan nya yang sedang merintih kesakitan' dalam bisikan nya. Ia bermimpi bertemu dengan istrinya serta menjelaskan semua nya dan ini penyakit yang saya derita ini akibat terkena guna guna ilmu sihir yang di kirim oleh seseorang.
Siang itu semua dukun dukun ia datang kan dari seluruh dunia.
Waktu malam pun tiba, sesajian dari dupa purwarupa dan kembang tujuh warna menjadi asap-asap dalam seribu Doa.
Dihirupnya aroma kemenyan lalu dia tabur dalam nyala api bercampur mantra-mantra paling sakral agar
terbang menembus langit ke tujuh menyelamatkannya dari
maut.
Dia tidak ingin mati.
Diundangnya dukun tua dari tanah leluhurnya,
keturunan dari Tutankhamun, yang paling ia percayai. Ia tak ingin menyerahkan kepasrahannya kepada seribu dukun yang silih berganti datang mengobati dari seluruh penjuru dunia.
Ia mulai cemas.
Titik itu terus membiak.
Dukun tua itu berkelililing mengitari setiap inci istananya agar segala mimpi dan jampi bisa lekas hilang dari tubuh sang Tuan.
Setelah itu, tangan keriput dan suara basah sang dukun terpatah-patah seperti batuk atau masih kantuk karena Subuh sudah berjalan dalam doa-doa. Tangan keriput itu pelan-pelan meraba titik demi titik yang ada di sekujur tubuh Moch Adjo lalu air penuh mantra menyemburat keluar dari rongga
mulut sang dukun, membasahi sekujur area punggung Moch Adjo.
Seketika Moch Adjo berontak dan menjerit.
Aduuuhh ... ''panas...!...' Aduhhh.....!
"Punggung ku terbakar Suaranya menggelegar menggema memenuhi seisi ruangan istananya, persis seperti suara azan magrib dari toa masjid kampung.
Seluruh mahluk peliharaannya diam seribu bahasa. Sepasang burung beo di depan pintu kamarnya, yang selalu menemaninya, tiba-tiba tertunduk membisu.
Bahkan sembilan singa Afrika yang menjaga pelataran depan rumahnya, segera lari sembunyi di kamar paling ujung
rumahnya.
“Punggungku terbakar. Sakit...sungguh sakit. “Aku tak tahan lagi. Arrgghhhhhhhh!” Lelaki tua itu meronta-ronta.
Sakit akibat semburan air dari rongga mulut sang dukun membuatnya mendekati kematian.
bersambung.