Penolakan dari ibu nya Nina Zatulini

1008 Words
Kuseka lagi peluh yang meleleh di pelipis. Entah sudah berapa kali kulakukan hal sama. Sinar mentari hari ini begitu terik, tapi tidak menyurutkan langkahku dan Nina menyusuri jalan menuju rumah nya yang berada di desa atas. Kami berdua di sepanjang jalan yang ku lewati, tampak kebun yang ditanami pisang, singkong, pepaya, dan , paling utama Huma. Huma di daerah Nina merupakan makanan pokok seperti beras. "Setelah melewati Dua bukit dan sampai di atas bukit. Nina menunjuk satu bukit kepadaku. Yang masih jauh dari perjalanan menuju rumah anak didik saya. "Di kiri kanan jalan terdapat pohon pohon Kadu dan pohon cengkeh dengan menjulang tinggi keatas. Perjalanan pergi atau pun pulang kerumah Nina memakan waktu empat sampai lima jam dengan jalan kaki. Setelah itu aku dan Nina kembali melanjutkan perjalanan lagi dengan jalan kaki. Ketika tenggorokan mulai terasa kering, kami singgah di rumah saung yang dilewati, meminta izin minum air di sumur mereka. Bertemu tuan rumah yang baik yang membekali buah-buahan yang tumbuh di sekitar rumah mereka adalah hal yang kami tunggu-tunggu. Pepaya, mangga, nanas, jambu, menjadi makanan selingan perjalan kami selain bekal makanan apa adanya yang kami bawa. Jalan kaki sejauh 10 kilometer bukan hal yang berat lagi buatku setelah setengah bulan aku mengajar di tengah tengah desa atas dan desa bawah sama hal nya dengan Nina anak Cenayang sakti di desa atas tersebut. Kami dan Nina sudah terbiasa. Baik panas maupun hujan. Ketika panas matahari begitu garang, kami cepatkan langkah agar secepatnya tiba di bawah pohon rindang. Ketika hujan turun, kami akan mencari tempat berteduh agar tidak basah kuyup. Hujan deras akan menyulitkan perjalanan karena jalanan menjadi sangat becek. Jalanan becek membuat langkah kami agak berat. Jika begitu, kami mencari jalanan yang ditumbuhi rumput hijau tapi memakan waktu yang sedikit jauh. Kunjungan kali ini dalam rangka meminta persetujuan dari ibu nya Nina atau keempat ibu tirinya karna surat yang di kirim Nina kepada Suryana lelaki tua itu. Nina ingin, melanjutkan pendidikan menuju lebih tinggi. Memasuki wilayah Desa Atas, di bawah rindangnya pohon di sepanjang jalan, angin bertiup sesekali menerbangkan debu. Aku mulai terombang ambing dengan anganku sendiri. Aku takut, ibu nya dan ibu tirinya tidak akan setuju. Aku tak bisa apa-apa. Aku takut menghadapi kenyataan pahit, dendam Suryana akan kandas di tengah jalan. Aku berusaha sebisa mungkin melawan dendam diantara Suryana dan dukun sakti itu. Namun, begitu aku berusaha untuk menghalangi nya, keinginan hatiku bertolak belakang seolah olah aku harus membantu rencana lelaki tua itu. Sore Hari pun aku tiba di desa atas dan bener apa yang di katakan oleh lelaki tua dan para penduduk desa bawah bahwa hanya ada 40 suhunan rumah saja di desa atas tersebut. Riuh beberapa anak usia antara 6-12 tahun berlarian di depan rumah yang sedang asyik bermain dan beberapa yang ku kenal adalah murid didik ku di kelas. Nina mengajakku menuju rumahnya yang paling ujung sekita sepuluh menit dari bawah. "Akhir nya aku sampai juga ke rumah panggung Nina Zatulini dan langsung masuk ke dalam Nina atas perintah dari ibu nya. "Aku pun duduk beralas kan papan kayu yang terlihat sangat rapi dan lima orang yang sedang duduk bersama ku bertanya maksud dan tujuannya. "Maap Pak. Guru maksud tujuannya datang kesini ada apa ya?" Tanya salah satu wanita paruh baya itu. "Begini Ambu maksud tujuan saya datang kesini atas perintah dari kepala sekolah untuk memberi tahukan bahwa anak ibu yang bernama Nina Zatulini lulus dan berhak untuk sekolah menengah pertama. "Kata ku dengan mengusap keringat yang ada di keningku. "Plak......! Nina Tidak akan melanjutkan sekolahnya dan sudah sampai tingkat dasar saja" Geram wanita paruh baya dengan memukul papan tempat duduk tersebut. "Maapkan saya Ambu. Padahal Nina murid cerdas dan pendidikan itu penting di zaman sekarang."Kataku walau dalam hati ini bergetar rasa takut kepada wanita yang tadi memukul papan teras rumah itu. "Kau......! Jangan sekali sekali membujuk Nina untuk sekolah lebih tinggi dan jangan berharap bisa membawa Nina keluar dari desa ini. bila kau masing sayang dengan nyawamu." Ancam wanita itu kepada Ishaq. "Bila kau masih tetap dengan pendirian dan di suruh oleh kepala sekolah mu jangan salahkan bila saya dan yang lainya kejam. Dan saya ingatkan kalau kau hanya menanggapi ancaman saya sebagai lelucon benda ini malam ini juga akan masuk kedalam perut kepala sekolah." Ancam nya lagi wanita tua itu. "Maapkan saya Ambu. saya hanya sekedar menyampaikan apa yang di perintahkan oleh kepala sekolah.'' kata Ishaq dengan peluh keringat bercucuran. "Nina datang dengan memakai pakaian santai setelah tadi hilang untuk sekedar mengganti baju nya. Ia menatap ku dengan roman ketakutan, seketika itu menatap kearah wanita itu dengan sorot mata yang tajam sehingga wanita itu seketika tertunduk ketakutan. Sama hal nya wanita yang lainnya juga tertunduk. "Pak. Guru sebentar." kata Nina masuk kedalam kamar nya dan tidak lama dia keluar dengan membawa kantong plastik hitam dan di dalamnya hanya beberapa helai baju. "Pak. Guru silahkan pulang terlebih dahulu dan akan di antar oleh Ambu Tiara." Nina berkata dan memerintahkan kepada ibu tirinya. "Ambu Tiara tidak berani membantah dan hanya mengangguk seraya membawa kantong plastik yang di berikan oleh Nina Zatulini. "Aku pun beranjak dari Rumah Nina bersama seorang wanita yang perkiraan usia nya 40 tahun lebih menuju arah pulang yang berada di desa bawah. "Pak. Guru Ishaq apakah boleh saya bertanya'' Kata Ambu Tiara di sela berjalan kaki nya. "Silahkan Ambu Tiara panggil saja saya Ishaq tidak usah Pak.'' Jawab ku dengan mata tertuju ke depan. "Baiklah Ishaq. Kalau begitu Kau juga panggil Tiara saja'' kata nya. "Begini Ishaq Apakah kepala sekolah nama nya. Suryana'' Tanya Tiara. "Betul sekali Mbak Tiara'' Jawabku aku tidak mau lah orang yang di atas umurku dengan sebutan nama saja. "Apakah murni atas permintaan dari pihak sekolah menugaskan Nina untuk melanjutkan sekolahnya. Atau hanya untuk kepentingan pribadi Suryana karna terobsesi dendamnya kepada ayahnya Nina" Kata Tiara penuh dengan penekanan kepada Ishaq. "Aku pun berhenti seketika dan bergeming lalu menatap kearah wanita itu dan menjawab pertanyaan. "Kenapa Mbak mempunyai pemikiran sampai kearah sana." Tanyaku. "Ishaq......! Tinggal jawab saja. Iya atau tidak pertanyaan dari saya.'' kata Tiara dengan Sorot mata yang tajam. "Iya.......! Balasku seraya melanjutkan langkah kakinya. "Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD