10 : Persaingan Dimulai

1700 Words
Terik matahari terasa sangat menyengat, bahkan teriknya terasa seperti membakar kulit untuk siapapun yang berjalan dibawahnya, tapi tidak untuk Daniel, semangatnya membara seperti teriknya matahari. Laki-laki itu terlalu bersemangat karena hari ini merupakan hari yang penting untuknya. Sebagai seseorang yang paling berpengaruh di perusahaan, hari ini dia memiliki jadwal untuk terjun langsung kelapangan, memantau pembangunan proyek Hotel Intan yang tahun ini menjadi proyek yang paling dia impikan. Selama dua tahun Daniel mempersiapkan semuanya untuk proyek ini, dan sekarang dia harus melihat langsung seperti apa para pekerjanya bekerja. Suara-suara mesin pekerja mulai terdengar di telinga Daniel, dia semakin mendekat pada lahan besar yang sekarang sudah mulai terisi, bola matanya berkeliaran, memperhatikan setiap sudut dari gedung yang akan dibangun. "Apa semuanya lancar?" Daniel bertanya pada orang disampingnya. Barom─laki-laki yang ditunjuk sebagai penanggung jawab─mengangguk singkat, "Sejauh ini, semuanya lancar, Pak." "Bagus." Seulas senyum tipis terbit, dia kembali mengedarkan pandangannya untuk mencari sebuah kesalahan. Alih-alih mendapatkan kesalahan Daniel justru mendapatkan sebuah kejutan, dia terkejut karena tidak jauh dari tempatnya berdiri, salah satu pekerja baru saja pingsan akibat tertimpa balok besar yang tidak sengaja terjatuh dari atas, tanpa berkata Daniel segera menghampirinya dengan kepanikan luar biasa. "Panggil Ambulan!" ### Perasaan bersalah menghantam dadanya, sebagai ketua proyek, Daniel tentu punya tanggung jawab untuk melindungi semua pekerjanya dari bahaya apapun. Karena Daniel selalu berpegang teguh pada prinsipnya yang mengatakan ‘Aku akan melindungi semua orang yang bersedia membantuku’, dan tentu saja kata-kata itu masih berlangsung sampai sekarang. "Daniel." Daniel menoleh mendapati Sadra─dokter rumah sakit sekaligus temannya─keluar dari ruangan pekerjanya. "Dia baik-baik aja kan?" tanya Daniel panik. "Pak Farhan baik-baik aja, cuma kakinya yang luka, mungkin bakal kram dalam waktu yang lumayan karna balok yang menimpa kakinya lumayan besar." "Namanya Farhan?" "Ck, lo nggak tau nama pekerja lo sendiri?" Daniel menggeleng polos. "Minta maaf sana, sebagai bos besar lo harus punya hati yang baik." Sadra mendorong Daniel untuk masuk ke ruang periksa, Farhan segera menundukkan sedikit kepalanya setelah melihat Daniel, dia harus punya sopan santun kepada atasannya. "Saya minta maaf, ya, karena proyek saya anda harus terluka." Daniel memulai pembicaraan dengan canggung. "Ah, bapak tidak perlu minta maaf. Itu sudah menjadi resiko saya sebagai pekerja bangunan." "Sepertinya anda memiliki seorang anak, maka saya takut terjadi sesuatu dengan anda, apa yang harus saya jelaskan kepada anak anda nanti jika anda kenapa-kenapa?" Farhan tersenyum kecil membayangkan Nabila yang nanti akan panik ketika melihatnya seperti ini. "Saya punya anak perempuan, namanya Nabila." Nama itu tidak asing di telinga Daniel, Nabila? Tunggu dulu, apakah Nabila yang sering dibicarakan anak-anaknya? "Apa anak bapak bersekolah di SMA 1?" tanya Daniel penasaran. "Rasanya nggak mungkin masukin dia disekolah bergengsi kayak gitu, tapi kenyataannya iya, alhamdulillah Nabila mendapatkan beasiswa penuh di sekolah itu." Benar ternyata. Daniel tersenyum lebar, "saya juga punya tiga anak kembar yang satu sekolah dengan putri bapak." "Kembar?" "Iya, kembar, ketiganya laki-laki." Daniel terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "dan sepertinya, ketiganya menyukai putri bapak." ### Suara deru mesin mobil berhenti tepat didepan kediaman Kusnandi, tidak ada respon dari si anak pemilik rumah yang merasa jika mobil tersebut hanya numpang parkir saja di depan, karena tidak mungkin ada orang kaya yang akan bertamu kerumahnya. Ibunya sedang berada di dapur membuatkan minuman untuk Barga yang sejak sepuluh menit lalu sampai. Ketika sebuah salam terdengar dari suara yang sangat Nabila kenali, gadis itu buru-buru bangkit menuju pintu depan. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam─loh, Ayah kenapa?!" Suara keras Nabila terdengar hingga kedapur, membuat Farisha langsung menghampirinya lalu ikut terkejut ketika melihat kondisi suaminya, dia dipapah oleh seorang laki-laki yang tidak Farisha kenali. Rasa panik dan khawatir menyeruak dalam hati kedua wanita itu karena kondisi Farhan. Nabila membantu memapah Ayahnya berjalan hingga masuk keruang tamu, kali ini Farhan yang harus terkejut setelah mendapati seorang laki-laki yang seumuran dengan Nabila berada disofa ruang tamunya. "Saya Daniel pemilik proyek Hotel Intan, mohon maaf sebelumnya karena saya harus mengantar suami anda dalam kondisi seperti ini, ada sedikit kecelakaan kecil tadi pada saat pembangunan." Laki-laki tadi─Daniel─menjelaskan pada Farisha yang masih berdiri didekatnya, dia merasa perlu menjelaskan agar kekhawatiran di keluarga ini tidak semakin menjadi. "Papa?" "Abang, ngapain disini?!" Barga yang sudah mengenali suara Daniel langsung menghampiri, keduanya sama-sama terkejut karena pertemuan yang tidak disengaja ini. Daniel dengan cepat menoleh kearah Nabila lalu tersenyum samar, "oh. Papa tau kenapa Abang disini." Daniel mengangguk kecil sambil tersenyum meledek. "Duduk dulu, saya buatkan minum, ya." Farisha pamit kembali ke dapur, sekaligus memecah keheningan yang tiba-tiba mencekam. "Bila, dia siapa?" Farhan memperhatikan Barga secara saksama, selama ini Nabila tidak pernah membawa laki-laki manapun ke rumah, dan Farhan cukup kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba apalagi setelah anak itu mengenal atasannya. "Farhan." Melihat kegugupan diwajah Nabila, membuat Daniel berinisiatif untuk buka suara, "dia Barga, anak pertama saya." Daniel memang memberitahunya tadi kalau dia memiliki tiga anak kembar yang satu sekolah dengan Nabila, tapi Daniel tidak memberitahu nama dari ketiga anaknya. Tapi setelah mengetahuinya, Farhan langsung merasa familiar dengan nama itu, dia ingat cerita Nabila tadi pagi, tentang alasan putrinya selalu keluar malam dua minggu sekali, tentang temannya─ "Jadi dia yang kamu tolongin kemarin malam?" Ada tiga reaksi berbeda di ruangan itu. Nabila yang tertunduk takut, Daniel yang bingung, dan Barga yang tetap pada wajah datarnya. Nabila tentu tahu siapa itu Daniel, pria itu memang dikenalinya sebagai ayah dari ketiga bagaskara, tapi Daniel juga merupakan salah satu penyumbang terbesar untuk smansa sekolahnya. Dan membicarakan tentang Barga didepan Daniel, Nabila rasa itu bukan hal yang bagus. "Om, Barga, duduk dulu." Nabila berdiri tiba-tiba, lalu mempersilahkan kedua laki-laki itu untuk duduk karena sedari tadi mereka hanya berdiri sejak keterkejutan yang tidak disengaja. Daniel dan Barga mengambil tempat bersebrangan dengan Farhan dan Nabila, Farhan lebih dulu angkat suara setelah cukup lama terjadi hening. "Maaf pak sebelumnya, bukannya saya lancang sebagai bawahan anda, tapi saya ingin bertanya. Apa benar Barga, anak bapak, punya hobi balapan?" Daniel melirik Barga sejenak, anaknya itu masih saja tenang sejak kehadirannya, walaupun Daniel tidak tau apa yang akan Barga pikirkan tetapi dia tetap menjawab. "Iya, saya juga heran. Padahal sudah berulang kali saya larang, tapi dia tetap nggak mau dengar." "Jujur saja, saya tidak bisa membiarkan Nabila dekat dengan anak bapak." Daniel terhenyak. "Kenapa? Bukannya─" ucapan Daniel terhenti ketika Barga menyentuh lengannya, putra sulungnya itu mengambil napas sejenak sebelum menatap Farhan dengan serius. "Om, saya minta maaf karena sudah menganggu waktu yang seharusnya menjadi waktu untuk istirahat Om. Tapi apa boleh saya bicara sebentar dengan Om?" "Ga," Nabila memanggil dengan nada pelan, berharap bahwa Barga tidak akan melakukannya. Tapi Daniel justru berdiri menghampiri Nabila, untuk sosok seorang Ayah yang begitu mengerti keinginan putranya, Daniel mengerti arti usiran Barga barusan. "Jangan kesal sama Barga, dia emang datar anaknya." Daniel menepuk pelan bahu Farhan, entahlah, kenapa dia jadi sok akrab seperti itu? "Nabila, ayo kedapur sebentar, Om haus." Ajaknya seraya menarik tangan Nabila. Setelah Nabila dan Daniel menghilang dari ruang tamu, Barga langsung berdeham singkat, "Saya tau, mungkin saya kelihatan kurang ajar. Tapi saya cuma mau jelasin semuanya sama Om." "Sepertinya Bila sudah bicara sama kamu." tebak Farhan tepat sasaran. Barga mengangguk pelan. Farhan memperhatikan Barga lebih serius, "apa yang kamu pilih?" "Saya memilih keduanya." Satu jawaban yang sebenarnya tidak Farhan duga akan dijawab oleh anak muda didepannya, mereka baru pertama kali bertemu dan kesannya sudah seperti ini. Apa maksudnya? Dia akan berhenti balapan tetapi akan menjauhi Nabila? Farhan tidak mengerti. "Saya punya alasan." Barga kembali bicara, membuat Farhan penasaran. "Nabila pasti udah cerita awal pertemuan kami, saya pingin Om tau, kalo sejak hari itu pengaruh Nabila begitu besar buat saya. Saya punya dua saudara kembar laki-laki yang menyukai putri Om, mereka berdua selalu berusaha merebut perhatian Nabila secara langsung, Om tau? Putri Om memang sepopuler itu." Barga tersenyum tipis, teringat akan setiap kejadian dimana Raka dan Aksa selalu berebut membicarakan gadis itu. "Tapi saya nggak bisa kayak mereka, saya selalu mengawasi Nabila dari jauh, karena saya nggak punya keberanian untuk mencari perhatiannya secara langsung, maka dari itu saya pakai cara yang berbeda." "Semua ucapan yang selalu Nabila katakan, akan berbanding terbalik dengan apa yang saya lakukan. Nabila sosok yang hangat dan dia menyukai orang-orang yang hangat pula, tapi saya tidak, saya menjadi dingin untuknya. Saya juga tahu, Nabila tidak menyukai saya ikut balapan, tapi saya tetap melakukannya. Saya mencari perhatian dari putri Om dengan cara melanggar semua hal yang dia sukai. Om tau apa alasan saya selalu kecelakaan setiap dua minggu sekali? Itu karena agar saya bisa melihat Nabila lebih dekat, tidak seperti disekolah, dimana saya harus selalu bersembunyi hanya untuk memperhatikannya." Barga duduk lebih tegap, lalu melanjutkan. "Untuk dua pilihan yang om berikan. Sama seperti apa yang saya katakan sebelumnya, semua keinginan yang Bila ucapkan akan berbanding terbalik dengan apa yang saya lakukan. Saya tentu nggak bisa berhenti buat balapan, karena gimanapun juga itu hobi saya, dan jika bila meminta berhenti maka akan terus saya lakukan. Dan yang kedua, Om tentu tau apa jawaban saya." "Karena Bila ingin saya menjauh, maka dengan senang hati saya akan semakin mendekat kepadanya." Farhan menarik senyum tipis, seperti kembali ke masa lalu, Farhan melihat replika dirinya dari anak muda yang sekarang duduk dihadapannya. Setelah mendengar semua alasan Barga, dia dapat menarik satu kesimpulan yang sudah sangat jelas. Dugaannya pertama kali tentang Barga itu salah. ### Barga tidak berhenti mendengus sejak perjalanan pulang hingga sampai dirumah, ada dua alasan kuat kenapa dia merasa kesal. Pertama, dia tidak jadi ikut balapan malam ini karna Daniel memaksanya untuk langsung pulang kerumah. Dan yang kedua, Papanya itu tidak berhenti meledekinya, membuat telinga Barga menjadi panas. "Katanya nggak suka, tapi udah main-main aja kerumahnya." "Katanya nggak suka, tapi malah mau mendekat." "Katanya nggak suka, tapi─" "Papa bisa diem nggak sih?!" Barga menghentikan langkahnya didepan pintu, berbalik untuk menatap Daniel dengan kesal. Daniel sampai tertawa. Keras. Melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh putra sulungnya itu, akhirnya Daniel bisa melihat ekspresi lain selain wajahnya yang sedatar tembok. "Kok pulang barengan?" Raka yang baru saja keluar dari kamarnya melihat Daniel dan Barga didepan pintu masuk. Daniel melangkah masuk lebih dulu, mengulum senyum seraya berkata, "Itu kak, tadi ada yang main ke─" "Papa!" Daniel kembali tertawa, wajah Barga sudah memerah, bukan karena malu tapi kesal. "Kenapa Pa?" Sera dan Aksa juga datang dari dapur, Aksa menggenggam segelas s**u cokelat yang baru saja dibuatkan oleh Sera. Dengan dagunya Daniel menunjuk Barga. "Tuh tanya aja anaknya." Baik Raka, Aksa dan Sera langsung mengalihkan tatapannya pada Barga. Laki-laki itu hanya berjalan menuju tangga, sepertinya dia akan kekamar. Tapi, belum ada satu anak tangga yang dinaikinya, Barga kembali berbalik lalu menatap kedua saudara kembarnya dengan tatapan serius. "Siapin diri lo berdua buat bersaing sama gue." Kedua alis Raka dan Aksa menyatu bingung, namun sedetik kemudian mereka mengerti. "MAKSUD LO BERSAING APA?!" Barga menarik salah satu ujung bibirnya hingga terbentuk sebuah senyum miring, "lo berdua pasti ngerti, apa yang gue maksud."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD