"Nabil? Ngapain kesini?"
Nabila tersenyum lalu mendekat kearah Aksa yang sedang duduk dilantai ruang OSIS. "Ini buat persiapan, ya?" tanyanya.
Aksa mengangguk, "iya dikerjain sekarang, biar nanti H-3 sebelum hari H bisa langsung dipasang."
"Gue bantu, ya?" tawar Nabila yang dibalas anggukan cepat oleh Aksa.
"Boleh, boleh!"
Usai jam sekolah habis, Nabila langsung pergi menuju ruang OSIS. Untung saja Nabila mendengar percakapan beberapa siswi dikelasnya tadi yang membahas tentang ulang tahun sekolah, kalau tidak, Nabila pasti lupa akan kegiatan itu.
Raka sempat melarangnya untuk menemui Aksa dengan alasan ‘nanti gue diledekin sama dia dirumah karena nggak jadi pergi sama lo’, itu yang Raka bilang. Tapi yang namanya Nabila tidak akan pernah mendengarkannya, tahun lalu pun Nabila turut membantu pelaksanaan kegiatan karena terpilih menjadi mc acara lalu turut menyumbangkan sebuah lagu karena suaranya yang diakui bagus.
"Nabil jadi mc lagi, kan?"
Dan sepertinya, tahun ini dia terpilih lagi.
Nabila mengangguk samar, "sebelum kesini tadi sempet ketemu Pak Eko, dia bilang sih gitu," sambil bicara, tangan Nabila pun ikut bergerak untuk memberi lem pada ujung kertas warna-warni digenggamannya.
Keduanya kembali sibuk dengan urusan masing-masing, Nabila yang terlalu serius dengan apa yang dia kerjakan, dan Aksa yang sibuk mengatur ritme detak jantungnya yang menggila setelah Nabila berada diruangan ini.
Aksa berdeham, "Nabil tadi sakit, ya?" Sebenarnya ini lebih seperti pertanyaan basa-basi karena Aksa sudah tahu kalau Nabila sakit dari i********: Raka, tapi dia sengaja mencari topik pembicaraan agar bisa terus mendengar suara Nabila.
Modus mah memang selalu punya cara.
"Tau dari mana?" Padahal kan tadi nggak ada yang jenguk dia diUKS selain Raka sama Lalisa.
"i********: Raka. Karena Aksa tau kalo dia lagi dalam masa jomblo sekarang, jadi besar kemungkinan kalo caption itu dia tujuin buat Nabil, Aksa bener?"
Nabila meringis kecil, semudah itukah orang-orang menebak?
"Lagian Raka juga nggak pernah semanis itu ke pacar-pacar dia sebelumnya, dia cuma bisa kayak gitu buat Nabil doang. Nabil tau kan? Bahkan semua orang juga tau, kalo Raka itu suka sama Nabil," ucap Aksa tenang, tapi seakan teringat bahkan kalimatnya salah, Aksa langsung buru-buru meralat kalimatnya, "Aksa juga suka loh ya sama Nabil!"
"Loh?" Nabila mengerjap mendengar ucapan Aksa yang kelewat cepat.
Wajah Aksa memerah, dia langsung mengalihkan tatapannya dari Nabila karena merasa malu, "y-ya Nabil juga pasti tau tentang yang satu itu."
"Permisi."
Keduanya menoleh kearah pintu. Ada Guanlin disana.
"Eh, ada Kak Nabila." Guanlin tersenyum ramah.
Aksa tidak suka melihat Guanlin tersenyum kepada Nabila, apalagi setelah insiden Zinde waktu itu. "Ngapain lo disini?! Bukannya kerja!" ujar Aksa galak.
Sekedar informasi saja, Guanlin ini salah satu anggota OSIS kelas sepuluh.
"Saya mau ambil minum kak buat─loh wajah kakak kenapa merah? Kak Aksa sakit?" Fokus Guanlin teralihkan pada wajah Aksa yang hingga sekarang masih memerah, dan semakin memerah karena Guanlin sudah membahasnya.
"Iya gue demam! Ambil obat diUKS sana buat gue!" suruhnya makin galak.
"Kok saya kak?"
"Berani lo ya ngelanggar perintah ketua?!"
Nabila menyentuh lengan Aksa, merasa kasihan pada Guanlin, "Sa, jangan galak-galak," katanya pelan.
Pergerakan Nabila barusan benar-benar membawa pengaruh besar untuk Aksa, wajahnya yang kesal perlahan melunak tapi makin-makin memerah, merendahkan sedikit suaranya Aksa kembali berucap, "Guanlin, tolong ambilin obat demam ya buat gue."
"Iya," Guanlin menjawab, tatapannya beralih pada Nabila lalu senyumnya kembali terbit, "Saya pergi dulu ya kak."
"Udah sana buruan!" Tentu saja itu suara Aksa lagi.
Tipikal anak terakhir yang menjadi ketua, tidak dapat dibantah.
Belum sempat Guanlin menutup pintu, tapi pintu tersebut sudah dibuka lagi lebih dulu oleh seseorang, bahkan Guanlin yang masih berada di depan ruangan sempat terdengar menyapa orang tersebut.
Kali ini, bukan Aksa yang merasa frustasi akan kehadiran Guanlin. Tapi Nabila yang harus frustasi karena melihat Barga yang tiba-tiba muncul dari sana. Nabila sebelumnya bersyukur karena seharian ini tidak dipertemukan dengan Barga, tapi sekarang laki-laki itu malah menampakkan diri.
Barga juga sama terkejutnya setelah melihat Nabila diruang OSIS, tapi dia buru-buru mendatarkan kembali wajahnya dan hanya berusaha fokus pada Aksa yang sudah memasang tanda tanya lewat matanya.
"Kenapa, Bang?" tanya Aksa, tumben sekali dia mau memanggil Barga dengan panggilan Abang ketika disekolah.
"Sa—Aksa, Nabila pulang duluan ya, udah disms sama Ayah." Nabila buru-buru bangkit, dia tidak bisa bertemu dengan Barga sekarang.
"Assalamualaikum," pamit Nabila, gadis itu hanya menunduk sebentar ketika melewati Barga.
"Ah, ada lo sih!" Aksa menggerutu kesal, merasa terganggu karena kehadiran Barga yang terlalu tiba-tiba, padahal dia tadi berhasil mengusir Guanlin agar bisa berduaan dengan Nabila, tapi Barga mengganggu semuanya. "Lo juga ngapain sih kesini? Tumben banget," lanjutnya lagi.
Awalnya, Barga ingin menyuruh Aksa memberitahu kepada orang tuanya kalau dia akan pulang malam hari ini, seperti biasa Barga akan balapan, tapi dia ingin menyuruh Aksa berbohong dengan mengatakan kalau dia ada tugas kelompok. Tapi sepertinya Barga tidak jadi berbohong setelah mendapat penghindaran dari Nabila. Barga merubah rencananya.
"Lo yang jemput Mama di kedai biasa, gue ada urusan." Setelah mengatakan itu, Barga segera pergi dari depan ruang OSIS, hanya satu hal yang perlu dilakukannya sekarang, yaitu menemui Nabila.
Aksa hanya menghela napas panjang, lalu pintu depan kembali lagi terbuka dan menampakkan Guanlin disana dengan sebuah obat demam digenggamannya.
"Kak ini obat─”
"BUANG AJA! GUE NGGAK JADI SAKIT!"
###
"Kenapa lo ngehindarin gue?"
Nabila tersentak kaget, kepalanya mendongak cepat lalu mendapati Barga sudah berdiri didepannya dengan wajah datar seperti biasa. Nabila mengalihkan lagi tatapannya pada ponsel miliknya yang tiba-tiba saja bergetar, ada panggilan masuk dari ojek online yang baru saja dia pesan.
"Hallo, Mas?"
Nabila mengangguk mendengarkan ucapan ojek online tersebut yang bilang bahwa dia sebentar lagi sampai.
"Saya di depan gerbang smansa ya mas, nanti mas ber─"
Barga merebut ponsel Nabila cepat. "Mas, saya cancel, ya."
Nabila terbelalak kaget lalu merebut kembali ponselnya dari tangan Barga. "Nggak cancel mas, kesini aja, saya tunggu." Dimatikan panggilan itu secara sepihak, takut kalau Barga bertindak aneh lagi.
"Nggak sopan, Ga!" sungut Nabila kesal.
Sebenarnya Nabila kaget dengan kedatangan Barga yang tiba-tiba, apalagi setelah insiden dirinya menghindar di lapangan sekolah tadi. Nabila hanya butuh waktu untuk berpikir, ucapan Ayahnya masih terus saja terngiang dan Nabila tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. Jadi, Nabila memilih untuk menjauh sementara dari Barga selama dia berpikir.
Tapi alih-alih menghindar, Barga malah mendekat padanya.
"Cancel aja, gue perlu ngomong sama lo."
"Nggak bisa, gue harus cepet pulang, besok aja ngomongnya." Tolak Nabila cepat, dia butuh waktu sebentar untuk menjauh.
"Oke."
Keduanya diam, tidak ada lagi yang memulai pembicaraan. Nabila bingung, padahal tadi Barga mengiyakan ketika Nabila bilang ingin menunda pembicaraan mereka, tapi kenapa laki-laki itu tidak kunjung beranjak pergi? Barga sekarang hanya berdiri di depan Nabila seraya memperhatikan jalan raya yang sepi.
Tin!
Nabila langsung mengangkat tangannya dan beranjak menghampiri ojek onlinenya, "Duluan, Ga," pamitnya sebelum menjauh.
"Mba Nabila, ya?" tanya pria itu sambil menyodorkan helm untuk Nabila.
Nabila mengangguk dan berniat menerima helm tersebut sebelum tangan Barga lebih dulu mengambilnya.
Barga mengembalikan helm itu kepada pemiliknya seraya bertanya, "berapa Mas tarifnya?"
Walaupun bingung tapi pria tersebut tetap menjawab, "sepuluh ribu, Mas."
Barga merogoh saku celananya cepat, mengeluarkan uang dua puluh ribu dari dompetnya, lalu menyerahkannya kepada pria itu. "Sisanya Mas ambil aja, tapi maaf, pesanannya saya cancel."
"Barga!" Nabila berteriak kesal ketika Barga tiba-tiba menarik tangannya untuk kembali masuk ke dalam sekolah. Dia bahkan belum meminta maaf pada mas-mas tersebut karena perlakuan Barga tadi.
Cekalan jemari Barga pada lengan Nabila terlepas ketika mereka sampai di parkiran sekolah, parkiran ini sepi karena memang sekolah sudah dipulangkan sejak satu jam yang lalu, Nabila hanya melihat tiga mobil yang salah satunya milik Aksa dan beberapa motor milik siswa yang sepertinya milik anak-anak yang masih memiliki kegiatan ekstrakulikuler.
"Lo kenapa sih, Ga?"
"Lo yang kenapa?" Barga balik bertanya dengan suara datar.
"Tadi lo udah bilang oke padahal ke gue."
"Gue bilang oke untuk ngejawab pernyataan lo yang bilang mau pulang cepet, bukan yang mau ngomong besok." Barga mengalihkan tatapannya kearah Nabila. "Jawab semua pertanyaan gue, kalo lo emang mau pulang cepet," lanjutnya serius.
"Kenapa lo ngehindarin gue?"
Nabila menunduk, matanya memperhatikan batu-batu kecil dibawahnya, tapi isi kepalanya sudah berkeliaran kemana-mana.
"Jawab, Bila." Barga bersuara lagi, membuat Nabila semakin sulit untuk membuka mulutnya.
Akhirnya, dengan sisa-sisa keberaniannya Nabila mendongak untuk membalas tatapan Barga. "Gue nggak ngehindar," jawab Nabila pelan.
"Tapi kenapa lo pergi gitu aja tanpa nyapa gue tadi?" tanya Barga lagi.
"Bukannya selama ini kita memang nggak pernah saling sapa kalo di sekolah? Lo baru ngomong sama gue kalo gue lagi ngobatin lo saat lo kecelakaan. Kalo lo bantuin gue dari Zinde juga, lo selalu bicara ketus, datar. Sekarang gue bingung, salah gue dimana?"
Barga tertegun ditempatnya berdiri, hati kecilnya membenarkan semua perkataan Nabila, mereka memang tidak pernah saling sapa disekolah, lalu kenapa Barga harus marah saat Nabila menjauhinya tadi?
Sorot mata Barga berubah sendu. "Lo nggak kayak gini sebelumnya." Logikanya menolak semua jawaban Nabila, Barga juga sangat tahu kalau mereka memang tidak pernah saling sapa, tapi sebelum-sebelumnya Nabila selalu biasa saja jika berpas-pasan dengan Barga, tidak pernah menghindar seperti tadi.
"Gue mau tanya," ucap Nabila tiba-tiba, setelah logika dan hatinya bertarung, akhirnya Nabila memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang mengganjal dihatinya sedari tadi. Ditatapnya mata Barga dengan serius, "kalo gue suruh lo berhenti balapan, apa lo bakal lakuin itu?"
Barga tersenyum miring, tidak butuh waktu lama untuknya menjawab, "nggak."
"Tuhkan!" Nabila mengacak rambutnya frustasi, sudah dia duga, memangnya Nabila siapa sampai Barga harus mendengarkan perintahnya?!
"Kenapa lo tanya gitu?"
Nabila tidak kuat lagi, walaupun pintar tapi Nabila tetap tidak bisa mengindari masalah seperti ini. "Ayah ngelarang gue buat deket sama lo, kalo lo masih balapan." Nabila menatap Barga dengan sorot tak terbaca, "gue bisa aja milih buat ngejauhin lo, karena gue nggak setega itu buat ngejauhin lo dari hobi lo, dan juga lo pasti nggak bakal dengerin nasihat gue. Tapi, kalo gue ngejauh, janji gue gimana?"
Alasan kuat mengapa Nabila tidak memilih untuk menjauhi Barga, itu karena janjinya. Siapa yang akan mengobati Barga jika laki-laki itu kecelakaan lagi? Nabila tidak akan sejahat itu untuk meninggalkan Barga.
Barga menghela napas panjang, tidak lagi membalas perkataan Nabila, dia justru beranjak menuju motornya lalu mengeluarkannya dari parkiran.
"Naik," suruh Barga ketika dirinya sudah lebih dulu menaiki motor tersebut.
"Mau kemana?" Nabila bertanya bingung.
"Ketemu Ayah lo."