04 : Nabila dan Hari Jumat

1786 Words
Hari jumat, adalah hari yang membahagiakan untuk kelas XI IPA 1, terutama buat Raka. Soalnya, mata pelajaran setiap hari jum'at itu nggak berat, asik, gurunya juga enak-enak, terus pulangnya cepet Raka paling suka hari jum'at dibandingin semua hari, ah, ralat, kecuali hari minggu tentunya, yang bisa membuatnya tidur dirumah seharian. Pokoknya, senin sampai sabtu, pilihan Raka tetap jatuh pada hari jumat. Sebenernya sih alasan utamanya karena ada pelajaran olahraga hari ini. Jadi, Raka bisa puas melihat rambut panjang Nabila yang diikat menjadi kuncir kuda. Bagi Raka, ada dua hal yang bisa buat Nabila makin cantik daripada yang biasanya. Pertama, waktu Nabila lagi serius baca buku. Kedua, waktu rambut Nabila dikuncir. Kayak sekarang, Raka cuma bisa diam di tengah lapangan, ketika melihat Nabila jalan beriringan bersama Lalisa. Sambil jalan, Nabila juga sambil nguncir rambut panjangnya, makanya Raka nggak bergeming sama sekali selain lihatin Nabila. Wajah Raka sontak memerah, ketika secara tak sengaja Nabila juga melihat kearahnya sambil tersenyum kecil, s****n, kenapa gadis itu bisa diciptakan dengan sebegitu indahnya sih?! Raka mengalihkan pandangannya cepat, mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangan. Nabila datang kearahnya lalu menyapanya, seperti terkena serangan listrik dadakan, Raka langsung tersentak kaget dan menoleh cepat kearah Nabila. Raka mengamati wajah Nabila lamat-lamat, lalu bertanya. "Nana, ini udah pagi, kan? Malem udah lewat, kan?" Dengan bingung Nabila tetap mengangguk. "Pagi kok, emang kenapa, Ka?" Raka menggeleng kecil, "kirain Jihun lagi mimpi." Dia tertawa. "Mimpi?" "Iya. Abisnya, Raka kira, Raka lagi mimpi karena ngeliat bidadari pagi-pagi." Tangan laki-laki itu terulur untuk mengacak pelan rambut Nabila. "Taunya, bidadarinya itu Nana." Raka langsung tersenyum lebar. Nabila menghembuskan napas pelan seraya menggeleng kecil, dia sudah biasa menghadapi Raka yang seperti ini, dan Nabila tidak pernah serius menanggapinya. "Raka? Kennie udah digombalin belum pagi ini?" Kennie, siswi dari kelas XI IPS 2 yang sedang menjalin hubungan dengan Raka. Itu kabar terakhir yang Nabila dapat sebelum pergi ke Semarang. Raka tertawa. "Nana cemburu, ya?" Godanya sambil menaik-turunkan alisnya. Lalu dengan entengnya Raka kembali bicara, "udah putus kok, Na. Cuma tiga hari. Sebelum Raka samperin Nana ke ruang serbaguna kemarin, Raka putusin Kennie dulu." "Jadi, lo pacaran sama Kennie waktu gue lagi di Semarang doang, ya?" "Kata Papa Raka, selingkuh sebentar waktu pacar lagi pergi itu nggak apa-apa. Asalkan, kalo pacarnya udah pulang, harus udah diputusin," ujar Raka santai. Namun sedetik setelahnya, seperti mengingat sesuatu laki-laki itu memekik kembali, "Nana! Kok masih pake lo-gue sih ke Raka? Kan Nana nggak mau panggil aku-kamu, yaudah Raka kasih keringanan aja buat panggil nama masing-masing. Nana mah ngenyel, ih!" lanjutnya kesal. "Oke, oke." Putus Nabila, sebelum Raka menjadi lebih cerewet lagi daripada sekarang. "Tapi, Nabila mau perjelas sedikit. Kita nggak pacaran Raka, jadi Raka juga nggak boleh sembarangan mainin hati cewe kayak gitu." "Raka nggak mainin perasaan cewe, kok." Raka membela dengan raut meyakinkan. "Yang kayak tadi itu mainin namanya," ujar Nabila lagi. "Lagian, kalo sekarang Raka bisa asal jadian terus putus sama cewe mana aja, berarti nggak menutup kemungkinan kan, kalo seandainya Raka pacaran sama Nabila, Raka bakal putusin Nabila juga kayak cewe-cewe itu?" "Itumah beda, Nana!" Raka memekik kesal, "Nana mah─” "NABILA! PAK AZIZ UDAH DATENG, SINI BURUAN!" Raka menatap sinis kearah Lalisa yang sekarang sedang menjulurkan lidah kearahnya. Gadis itu memang kerap kali mengganggu setiap Raka sedang berdua bersama Nabila. Sifatnya tentu mengingatkan Raka pada adik kembarnya, yang suka berisik dan mengganggu tentunya. Raka menoleh ketika Nabila sudah menggenggam tangannya dan menariknya menuju anak-anak yang lain. "Jangan kesel ya sama Lalisa," kata Nabila pelan disertai senyuman. Memang selalu seperti ini, setiap Lalisa menganggu Raka, Raka tidak akan pernah bisa marah kepadanya. Karena tiap kali mereka adu mulut, Nabila akan selalu ada ditengah, membela Lalisa lalu mengatakan hal seperti tadi kepadanya. Raka mana bisa nolak permintaan Nabila. Pak Aziz─sang guru olahraga─datang dari kantor guru, dia tidak membawa peralatan apapun selain peluit bertali yang dikalungkan dilehernya dan papan ujian dengan kertas-kertas absen diatasnya. XI IPA 1 yang melihat hal itu langsung memekik girang, mereka pasti akan ambil nilai lari hari ini, dan Pak Aziz itu tipe guru yang enggak pelit nilai terus suka kasih keringanan buat siswa-siswinya. "Selamat pagi." Sapa guru itu dengan suara berat khasnya. "kalian tau kan, kita mau ngapain sekarang?" "Ambil nilai lari, Pak!" ucap semuanya bersamaan. "Oke, untuk siswa, lima belas putaran dapat A, sepuluh putaran B, sisanya C. Untuk siswi, tiga belas putaran A, delapan putaran B, sisanya C." "YAH PAK! KURANGIN DONG!!" teriak semuanya bersamaan. "Saya bercanda tadi," Pak Aziz tertawa, "saya sudah tahu kalau kalian bakal adain tawar-menawar sama saya." Bayangin aja, sekolah mereka itu luas banget, punya lapangan basket dan lapangan futsal sendiri, mana ukurannya nggak main-main. Mereka bukan sekedar mutarin lapangan futsal aja buat ngambi nilai, tapi mereka harus mutarin sekolah lewat jalur luar, keluar dari gerbang belakang dan kembali masuk ke gerbang depan, Pak Aziz akan menunggu mereka di tengah lapangan, lalu mereka harus menyebutkan nomor absen mereka tiap kali melewati Pak Aziz. Tentu saja, Pak Aziz nggak setega itu buat biarin anak didiknya kecapean karna lari-larian, jadi dengan senang hati dia akan mengurangi target putaran dari yang sebelumnya. "Untuk semuanya, tujuh putaran A, lima putaran B, sisanya C. Tiga puluh menit dimulai dari sekarang." Baik siswa maupun siswi langsung memekik senang dan mulai berlari keluar dari pekarangan sekolah, bisa dipastikan, jika mereka kuat pasti mereka akan mendapatkan tujuh kali putaran dalam waktu dua puluh menit. Sepuluh menit kemudian.. Baik Nabila maupun Lalisa sudah mendapatkan empat putaran, mereka hanya berlari kecil karena takut lelah duluan kalau berlari cepat. Sudah ada beberapa siswi yang berhenti karena merasa tak kuat, sebenarnya Lalisa juga merasa demikian, bahkan gadis itu bilang dia kan berhenti di putaran kelima. Beda Lalisa, beda juga Nabila. Gadis ini adalah salah satu gadis tangguh di kelas XI IPA 2, bahkan semua teman-temannya merasa heran, Nabila memiliki kepintaran yang luar biasa baik dalam menghitung ataupun menghapal, gadis itu juga pintar mengarang, jadi bisa dibilang Nabila pintar dalam semua pelajaran. Tapi membayangkan seorang gadis memiliki fisik yang kuat tentulah menjadi hal kesekian yang akan difikirkan oleh kaum laki-laki, tapi setelah melihat Nabila, mereka merasa yakin bahwa wanita memang diciptakan setara dengan laki-laki. Ini sudah menjadi putaran ke enam dan Nabila masih berlari dengan Raka disampingnya, Lalisa benar-benar tumbang di putaran kelima, dan sekarang Nabila menjadi gadis satu-satunya yang masih berlari. Beberapa teman laki-lakinya terus memberi semangat ketika melewati Nabila, membuat Raka yang berada disamping gadis itu terus-terusan berdecak kesal. "Nana, berhenti aja deh, muka Nana udah merah." "Tanggung, Ka. Satu putaran lagi." "Nana nanti pingsan loh." Nabila terkekeh seraya meneliti wajah Raka yang juga ikut memerah. "Kayaknya lo deh yang bakal pingsan." Goda Nabila, wajah Raka memang lebih merah daripada wajahnya. Raka yang diledeki seperti itu langsung berdecak, "walaupun berat badan Raka lumayan, tapi Raka kuat kalo disuruh lari." "Tapi ini udah kecapean ‘kan?" "Lari ngejar Nana aja Raka kuat, apalagi cuma lari kayak gini doang, kecil." Raka memainkan ibu jari dan jari tengahnya, bermaksud menyombongkan diri. "Sampe!" Nabila berteriak senang ketika melihat sosok Pak Aziz yang tidak jauh darinya, mengabaikan kalimat Raka tadi, Nabila langsung menambah laju larinya. "Tujuh belas, Pak!" seru Nabila menyebutkan nomor absennya. Raka yang menyusul dibelakangnya ikut berucap, "Dua tiga, Pak!" Nabila mengedarkan pandangannya, mencari Lalisa yang kenyataannya sudah tidak ada disana, pasti sahabatnya itu sudah lebih dulu pergi ke kantin, kebiasaan banget kalo haus suka lupa temen. Masih sibuk mengatur napasnya, Nabila akhirnya memilih untuk duduk di pinggir lapangan. Dia mendongak ketika melihat Raka berjalan kearahnya. "Nana, nggak mau ke kantin?" tanya Raka. Nabila menggeleng. "Cape, Ka. Lo duluan aja deh," tolaknya halus, mengabaikan rasa hausnya, Nabila lebih memilih untuk menormalkan napasnya terlebih dahulu. Raka yang mendengar itu hanya bisa tersenyum kecil, "yaudah, Nana tunggu sini ya. Jihun yang beliin minum, jangan kemana-mana," kata Raka sebelum melesat pergi meninggalkan Nabila. Nabila menarik napas pelan, lalu menghembuskannya lagi. Kedua tangannya tidak berhenti mengipas-ngipaskan wajahnya yang terasa terbakar, lalu tangannya terulur kebelakang untuk membenarkan letak kunciran yang dirasa menurun. Nabila menggigit kecil ikat rambutnya lalu menunduk sedikit untuk mengumpulkan rambutnya. Sebuah botol aqua tersodor dihadapannya secara tiba-tiba. "Bentar, Ka." Nabila mulai menguncir rambut panjangnya menjadi satu, "Kok cepet banget? Kayaknya tadi lo baru aja pergi." Nabila mendongak dan mengambil aqua itu, namun dirinya langsung terkejut ketika melihat bukan Raka yang ada didepannya, melainkan Aksa yang sedang berjongkok dihadapannya. "Eh, Sa." Nabila tersenyum, keterkejutannya yang masih jelas terlihat membuat Aksa tertawa geli. "Minum dulu, Nabil." Suruhnya, yang dituruti langsung oleh Nabila. "Kok bisa disini?" Nabila bertanya setelah selesai menghabiskan setengah dari isi aqua pemberian Aksa. "Tadi nggak sengaja lewat, terus liat Nabil disini. Kebetulan tadi Aksa lagi pegang minum, jadi sekalian aja deh ngasih ke Nabil," jelasnya dengan lancar. Tapi tentu saja itu semua bohong. Aksa jelas tahu bahwa hari ini Nabila ada kelas olahraga, jadi waktu pelajaran kimia di kelasnya sedang berlangsung, Aksa izin untuk ke kamar mandi. Padahal dia langsung melesat cepat ke kantin untuk membeli air putih, lalu menyembunyikan dirinya disalah satu pilar dekat lapangan, menunggu Nabila. Dan Nabila juga tahu bahwa yang dikatakan Aksa tadi adalah kebohongan, jadi Nabila hanya tersenyum kecil menanggapinya. "Nggak balik ke kelas?" tanya Nabila. Bukan berniat mengusir, hanya saja Nabila tidak suka melihat laki-laki ini bolos pelajaran hanya untuk dirinya. Aksa mengambil alih tugas tangan Nabila tadi, yaitu mengipas-ngipaskan wajah Nabila, lalu dia tersenyum kecil. "Nan─” "WOY BOCAH! NGAPAIN LO DISINI?!" “─ti." Aksa membuang napas kasar lalu beralih pada Raka yang sudah berada di belakangnya. Telinganya terasa pengang karena teriakan Raka tadi, Kakaknya ini memang benar-benar s****n. "BOLOS PELAJARAN KAN LO?!" Masih dengan tidak santainya Raka kembali berucap, benar kan katanya tadi, Lalisa dan Aksa itu memang sama, sama-sama suka ganggu kalo dia lagi deket sama Nabila. Nabila yang sedari tadi hanya menyimak kini ikut berdiri untuk melerai. "Udah, udah." Fokusnya teralih pada Baejin. "Sa, balik ke kelas aja, ya? Ini juga masih jam pelajaran," pintanya halus. Aksa yang memang pada dasarnya lemah sama Nabila hanya bisa mengangguk, dia menyempatkan untuk mengusap pelan kepala gadis itu sebelum pergi dengan injakan keras di kaki Raka. "ARGH!" Raka memekik memegangi ibu jari kakinya yang terasa sakit. Menatap horor ke arah Aksa yang sudah berlari menjauh. "Sakit, Ka?!" Nabila bertanya panik dan langsung menarik Raka untuk duduk, tangannya bergerak refleks untuk membuka sepatu Raka bahkan sampai ke kaus kakinya. Nabila meringis saat melihat ibu jari kaki Raka yang terluka. Sekuat itukah Aksa menginjak Raka? "Sakit, ya?" dia bertanya lagi, meneliti wajah Raka yang sibuk meringis. Raka mengangguk disertai wajah sedihnya, "sakit, Nana," ucapnya memelas. "Ke UKS aja, ya? Gue bantu." Nabila kembali membantu memakaikan sepatu Raka. Setelah selesai dia langsung membantu laki-laki itu berdiri, dengan gerakan refleks Nabila menarik lengan Raka untuk dirangkulkan kebahunya, lalu tangannya yang lain ikut melingkar di perut Raka, Nabila membantu Raka berjalan. Raka pura-pura meringis, Nabila yang mendengarnya langsung menoleh kesamping dengan cepat, "Sakit banget tah, Ka?" tanyanya kasihan, Raka langsung mengangguk cepat sambil memasang wajah sedih. Padahal sebenarnya, hatinya sudah berteriak kegirangan karna perhatian Nabila barusan. Alih-alih marah karena injakan Aksa tadi, Raka malah berterima kasih didalam hatinya. Sepertinya, hari jumat memang hari beruntung untuk Raka. Dan karena hal ini, Raka meyakinkan akan memasukkan list baru pada catatan dihatinya, selain s**u Coklat buatan Mama Sera. Nabila dan Hari Jumat, adalah dua hal baru yang menjadi favorite Raka sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD