2.Linggrie

1885 Words
Caroline melangkah keluar dari gereja, mengikuti Jonson. Di halaman sudah terparkir sebuah Rolls-Royce hitam mengilap. Supir menunduk hormat, lalu membukakan pintu belakang. “Masuk.” Jonson dingin. Caroline ragu sejenak, lalu duduk di kursi belakang. Jonson menempati kursi depan, di samping supir. Mesin mobil menderu halus. “Ingat baik-baik, Nona. Tugasmu hanya satu—merayu Tuan Muda. Bagaimanapun caranya. Kalau gagal, kau tahu resikonya.” Suara Jonson seperti es. Caroline menunduk, suaranya hampir bergetar. “Baik, Tuan. Saya… saya akan berusaha.” Jonson menoleh setengah. “Berusaha saja tidak cukup. Kau harus berhasil.” Belum sempat Caroline membalas, Jonson mengulurkan sehelai kain hitam. “Gunakan ini. Tutup matamu.” Caroline menatap kain itu ragu. “Kenapa saya harus ditutup mata, Tuan?” “Tidak ada pertanyaan. Lakukan, atau aku yang akan melakukannya dengan paksa.” Dengan tangan gemetar, Caroline menutup matanya sendiri. “Ya Tuhan… semoga aku tidak langsung dibunuh…” batinnya kacau. Sepanjang perjalanan, hanya suara mesin mobil dan desiran ban di aspal basah yang terdengar. Jantung Caroline berdetak kencang, tiap menit terasa seperti jam. Setelah cukup lama, mobil berbelok memasuki jalan berbatu. Jonson berkata dingin, “Kita sudah sampai.” Gerbang besi raksasa terbuka otomatis, suara gesekannya menggaung. Caroline bisa merasakan mobil masuk ke dalam kawasan luas. “Buka penutup matamu.” Pelan-pelan Caroline membuka kain hitam itu. Matanya langsung membelalak. “Astaga…” ia menutup mulutnya. Di hadapannya berdiri sebuah mansion megah ala istana Eropa, dengan halaman luas, air mancur menjulang, dan hutan lebat di sekeliling. “Mari turun. Ikut saya.” Jonson keluar lebih dulu. Caroline turun, masih terpana. “Rumah… atau istana? Besar sekali… mewah sekali… Apa aku baru saja masuk sarang mafia?” batinnya bergetar. Pengawal-pengawal berbadan besar berjajar rapi, menunduk hormat pada Jonson. Pintu utama mansion dibuka. Para maid berbaris rapi di sisi kanan-kiri, berseragam hitam putih, membungkuk serentak. “Selamat datang, Nona. Selamat datang, Tuan Jonson.” suara mereka kompak. Caroline melongo, lalu menoleh pada Jonson. “Mereka… semua ini… untukku?” Jonson mendengus. “Bukan untukmu. Untuk Tuan Muda. Kau hanya ‘tamu sementara’. Jangan terlalu banyak berharap.” Mereka menaiki tangga marmer menuju lantai dua. Caroline merasa setiap tatapan maid maupun pengawal begitu dingin, tanpa ekspresi. “Sungguh… menyeramkan. Apa aku benar-benar di sarang iblis?” Caroline bergumam dalam hati. Sesampainya di depan sebuah kamar besar, Jonson berhenti. “Mandikan dia. Pastikan tidak ada debu dan kuman menempel di tubuhnya.” “Baik, Tuan!” jawab para maid serentak. Caroline langsung panik. “Tunggu, di mandikan? Tidak perlu, saya bisa mandi sendiri!” Jonson menoleh, matanya tajam menusuk. “Tidak ada penolakan. Kecuali kau ingin nyawamu jadi taruhan.” Caroline terdiam, wajahnya pucat. “Baik… saya mengerti…” Para maid mendorong pintu kamar. Caroline melangkah masuk ke dalam kamar mewah, chandelier menggantung, ranjang king-size berhias tirai putih, dan aroma mawar samar memenuhi udara. Seorang maid menunduk hormat. “Nona, air hangat sudah siap.” Caroline menelan ludah. “Oh… iya.” Lima maid mendekat, membuka gaun pengantinnya perlahan. Caroline menahan napas, wajahnya panas karena malu. Dalam sekejap ia sudah tak memakai sehelai kain pun. “Silakan masuk, Nona.” ucap salah satu maid lembut, sambil menuntun Caroline ke bathtub besar berisi air s**u, kelopak mawar terapung, dan aroma melati memenuhi ruangan. Caroline masuk, merasakan kehangatan air. Seorang maid mencuci rambutnya dengan hati-hati, dua lainnya memijat pundaknya. Wajahnya dipoles masker, tubuhnya digosok halus. Caroline memejamkan mata. “Aku seperti boneka. Mereka bahkan tidak tersenyum. Benar-benar aneh.” Setelah selesai, tubuh Caroline dikeringkan, lalu dipakaikan kimono sutra tipis. Ia didudukkan di meja rias. “Nona, mohon duduk tenang.” Mereka mengeringkan rambutnya, mengoleskan skincare, lalu membentuk blow elegan. Tidak ada satu pun yang berbicara selain instruksi singkat. Caroline merasa semakin tidak nyaman. Kemudian, seorang maid membawa tirai gantungan berisi berbagai lingerie tipis dan seksi. “Nona, silakan pilih salah satu.” Caroline menatap lingere itu dengan wajah terkejut. “T-tidak terlalu terbuka kah ini? Saya… saya tidak biasa.” Maid itu tetap datar. “Tidak, Nona. Memang seperti ini model yang diinginkan.” Setelah beberapa kali mencoba, salah satu maid mengangguk puas. “Nah, yang ini sempurna. Sangat cocok untuk menggoda Tuan Muda Alessandro.” Caroline menunduk malu. “Sungguh… apa aku harus benar-benar…” Tidak ada jawaban, hanya tatapan dingin. Mereka lalu mempersilakan Caroline berbaring di ranjang empuk. Jari-jemarinya dirapikan, kukunya dipotong, lalu manicure-pedicure. Bahkan tubuhnya di-wax dengan teliti. Setelah itu, para maid berdiri serentak. “Kami pamit, Nona.” “Baik… terima kasih…” Caroline menjawab canggung. Begitu pintu tertutup, Caroline terdiam, lalu menatap dirinya di cermin besar di depan ranjang. Dengan lingerie tipis, tubuh wangi bunga, wajah full make-up glamor. “Ya Tuhan… jadi begini cara mereka mempersiapkanku.” Ia menggigit jari telunjuknya, lalu mencoba berbaring dengan berbagai pose menggoda. “Aku harus memilih gaya yang paling hot… karena sebentar lagi… dia akan pulang.” Gedung tua itu remang-remang, bau besi berkarat bercampur asap rokok menusuk hidung. Belasan pria berbadan kekar berjaga di setiap sudut, senjata terpasang di pinggang mereka. Alessandro turun dari mobil hitamnya dengan langkah tenang, jas hitamnya rapi, sorot mata dingin penuh ancaman. “Tu.. Tuan Romano sudah datang…” salah satu bawahan berbisik panik. “Diam. Jangan sampai bikin kesalahan di depan dia,” sahut yang lain. Pintu besar terbuka. Alessandro masuk, langkah sepatunya terdengar keras di lantai beton. Para bos kecil yang sudah menunggu langsung berdiri. “Signor Romano,” ucap seorang pria botak dengan aksen berat, “barang sudah siap. Kami hanya ingin memastikan… tidak ada masalah dengan pembayaran.” Alessandro duduk di kursi utama, menyalakan cerutu tanpa menatap siapa pun. Ia menghirup dalam, lalu menghembuskan asap perlahan. “Masalah?” suaranya rendah, tajam. “Kau pikir keluarga Romano pernah main-main dengan pembayaran?” Pria botak itu menelan ludah. “Bukan begitu, hanya—” BRAKK! Alessandro memukul meja dengan tinjunya. Semua pengawal langsung mengarahkan senjata. “Kalau aku mendengar kata ‘hanya’ sekali lagi dari mulutmu, kepalamu akan jadi hiasan di dindingku,” ucap Alessandro dingin. Semua terdiam. Suasana berubah mencekam. Seorang anak buah Alessandro, Giovanni, maju sambil membawa koper. Ia membukanya, penuh dengan uang tunai. “Lima puluh juta Euro. Hitung kalau kau tidak percaya,” katanya datar. Pria botak itu gemetar. “Tidak perlu… aku percaya, Signor Romano.” Alessandro berdiri, mendekat perlahan. Tatapannya menusuk. “Barangnya mana?” Dua pria menyeret sebuah kontainer besi ke tengah ruangan, membukanya. Isinya: senjata otomatis, bahan peledak, dan peti kayu berisi paket putih. “Cocaina dari Kolombia. Murni. Tidak tercampur,” jelas pria botak itu. Alessandro menatap sebentar, lalu menoleh pada Giovanni. “Periksa.” Giovanni mengambil pisau, menusuk salah satu paket, mencicipi sedikit serbuk putih di ujung jarinya. Ia mengangguk. “Murni, Tuan.” Alessandro menepuk bahu pria botak itu dengan senyum dingin. “Kau pintar kali ini. Jangan pernah coba kurangi kualitas, atau keluargamu akan kukirim potong-potong di dalam peti es.” Pria botak langsung menunduk dalam-dalam. “Tentu, Signor… tentu.” Alessandro berjalan keluar, pasukannya mengikutinya. Ia menghembuskan asap cerutu terakhir sebelum masuk ke mobil. “Bereskan semua. Malam ini barang harus sampai di pelabuhan. Siapa pun yang menghalangi… habisi.” “Siap, Tuan!” jawab para pengawal serempak. Mobil hitam itu meluncur meninggalkan gedung tua, meninggalkan jejak ketakutan di mata semua orang yang baru saja menyaksikan dinginnya sosok Alessandro Marco Romano. Di dalam mobil Lexus hitam, Lucas menoleh pada kaca spion. “Tuan… saya mendapat laporan dari pengawal. Tuan Jonson membawa Nona Caroline ke dalam mansion.” Alessandro yang duduk santai di kursi belakang hanya menghela napas panjang. Jemarinya mengetuk pelan sisi kursi kulit. “Hmph… jadi begitu caranya si tua bangka itu.” Ia tersenyum tipis, namun matanya berkilat tajam. “Kalau begitu, mari kita ikuti permainan Massimo.” Mobil melaju menembus jalan gelap hingga akhirnya berhenti di halaman mansion Romano. Lampu taman menyinari air mancur, sementara puluhan pengawal berbadan besar berjaga dengan senjata. Alessandro turun dengan langkah mantap. Udara terasa lebih dingin begitu ia masuk ke dalam mansion. Jonson sudah menunduk menunggu di pintu masuk. “Nona muda ada di kamar utama, Tuan muda,” suara Jonson terdengar gemetar. Alessandro tidak langsung berjalan. Tangannya menyambar kerah Jonson, menariknya kasar hingga wajah pria itu hampir menempel di wajahnya. “Siapa yang memberi perintah membawanya kemari?” suaranya dingin, menusuk. Jonson menelan ludah, keringat dingin mengalir. “T-Tuan besar Massimo, Tuan… saya hanya menjalankan perintah.” Alessandro mendecak. “Cih… dasar pria tua menyebalkan.” Ia mendorong Jonson keras hingga pria itu hampir terhuyung jatuh, lalu naik tangga menuju lantai dua tanpa menoleh. --- Di kamar utama, Caroline duduk di tepi ranjang. TV menayangkan film 365 Days, tapi ia segera mematikannya. Senyum samar terbentuk di bibirnya. Ia berbaring dengan pose sengaja menggoda, tubuh hanya terbalut lingerie tipis. Pintu terbuka keras. Alessandro masuk dengan langkah penuh wibawa, menutup pintu di belakangnya. “Selamat malam, Tuan Alessandro…” Caroline menyapa manja, menggigit ujung jarinya sambil menatap nakal. Alessandro berjalan mendekat, matanya mengamati Caroline dari ujung kaki hingga wajah. Tatapannya dingin, penuh ancaman. Tangannya terulur, mencengkeram dagu Caroline dengan kasar. “Jangan harap bisa hidup dengan damai di mansionku. Kau baru saja melangkah masuk ke neraka, Nona manis.” Bukannya ketakutan, Caroline justru tersenyum berani. “Kalau itu neraka, maka aku rela dipenjara di sini… asalkan bersamamu, Tuan.” Tangannya terangkat, melingkar di leher Alessandro, menariknya lebih dekat. Alessandro menekan tubuhnya ke ranjang, mengungkung Caroline sepenuhnya. Nafas mereka nyaris bertemu. Caroline berbisik dengan suara nakal, “Saya ragu… apakah Anda benar-benar pria normal. Atau… rumor yang orang-orang katakan? Bahwa Tuan muda Romano… sebenarnya gay?” Alessandro menyipitkan mata, suaranya dalam dan mengancam. “Jaga mulutmu, Caroline.” Caroline terkekeh pelan, bibirnya hampir menyentuh telinga Alessandro. “Kalau begitu… mana buktinya? Hm?” Suasana kamar mendadak panas. Alessandro menatapnya tajam, antara amarah dan rasa tertantang, sementara Caroline sama sekali tidak menunduk—ia justru menunggu. Caroline menatap tajam ke arah Alessandro. Senyum tipisnya merekah, seolah sengaja menantang. Dengan perlahan ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh pipi pria itu. Kulit Alessandro terasa dingin, keras, sekeras tatapan matanya. “Wajahmu sama sekali tidak mencerminkan kelembutan,” bisik Caroline, jemarinya turun ke leher lalu meluncur ke d**a bidang Alessandro. “Tapi justru dinginmu membuatku ingin terbakar.” Alessandro menahan napas. Rahangnya mengeras, namun ia tidak menghentikan gerakan Caroline. “Berhenti bermain api, Caroline,” ucapnya dengan suara berat, nyaris serak. “Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan.” Caroline tersenyum makin berani. Tangannya meluncur lebih jauh, menelusuri d**a hingga mendekati celana Alessandro. “Oh, aku tahu betul,” bisiknya penuh tantangan. “Aku sedang bermain dengan iblis Romano… sang penguasa neraka.” Mata Caroline menatapnya lurus, berkilat penuh keberanian. “Bukankah menarik, Tuan, kalau seorang malaikat jatuh ke dalam neraka, hanya untuk Anda?” Refleks Alessandro mencengkeram pergelangan tangannya, menghentikan gerakan itu tepat sebelum melewati batas. Tatapannya tajam, penuh peringatan. “Kau pikir bisa mengendalikan aku dengan tubuhmu?” suaranya rendah namun menggetarkan. Ia mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Caroline. “Kau salah besar. Di sini hanya aku yang berkuasa.” Namun Caroline justru terkeke h pelan. Tawa kecilnya terdengar manis sekaligus berbahaya. “Kalau begitu…” ia merenggut tangannya, lalu menempelkan tubuhnya ke Alessandro dengan berani, “buktikan.” Bisikannya jatuh tepat di telinga pria itu. “Atau… kau memang tidak berani?” Dada Alessandro naik turun. Untuk sesaat, matanya seperti ingin meremukkan Caroline, tapi juga tak mampu berpaling darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD