MARTIN AND BIANCA- FALLING IN LOVE

2241 Words
MARTIN AND BIANCA- FALLING IN LOVE BIANCA menahan napas. Jika Martin menciumnya dan kebetulan Martin adalah orang asing baginya, ini akan menjadi ide paling gila di sepanjang hidupnya. Ciuman. Ya, Bianca telah menawarkan ciuman pertamanya untuk seseorang bernama Martin. Dan mungkin, ia akan menyesalinya nanti. Astaga, apakah dirinya sudah gila? “Bee, apa kau sedang bercanda?” Martin menjauhkan wajahnya. Pria itu tampak benar-benar tidak suka dengan ide gila itu. Hal tersebut sekaligus melukai harga diri Bianca. Apakah dirinya seburuk itu hingga Jullio menolaknya? Hingga Martin, orang asing yang baru saja mengenalnya juga ikut menolak dirinya. Kalau kau cantik, Jullio tidak aka menolakmu, Bee. Begitu kata setan dalam hatinya. Bianca mendesah panjang. Martin tampang, sebelas-dua belas dengan Jullio. Hal itu membuatnya kembali merasa rendah di hadapan seoang pria. Bodohnya Bianca menawarkan dirinya pada laki-laki di hadapannya. Tentu saja Martin akan menolak. Lagipula, tidak ada yang istimewa darinya. “Selamat tinggal.” Demi menutupi rasa malunya, Bianca buru-buru membuka pintu mobil dan berlari keluar. Entah mengapa, air matanya mengalir begitu saja. Bianca terluka, lebih karena ia mendapatkan penolakan dari laki-laki bernama Jullio. Dan sekarang, bahkan Martin juga menolaknya. Gadis itu berlari tak tentu arah. Mengabaikan teriakan Martin di belakangnya. Pandangannya mengabur seiring semakin derasnya aliran air yang mengalir dari pelupuk matanya. Lama Bianca berlari, akhirnya ia berhenti di sebuah tempat yang teramat gelap. Bianca berdiri di sana, sendirian, sesegukan, sesak di dadanya. Bianca tidak tahu apa yang akan dan harus ia lakukan. Sedikit yang ia ketahui, saat ini ia berada di taman. Seharusnya, ada banyak lampu yang menghiasi taman tersebut, tetapi sepertinya malam ini Bianca harus puas dengan kegelapan yang yang membungkus lingkungan di sekitarnya. Dan juga hatinya. Semua ini karena Jullio. Jika ia tidak jatuh cinta dengan Jullio, mungkin Bianca tidak akan merasa sesakit ini. Jika Tuhan tidak pernah mempertemukan dirinya dengan Jullio, mungkin Bianca tidak akan menaruh hati pada pria tersebut. Namun mengapa? Mengapa Tuhan tega melukainya dengan cara mempertemukan dirinya dengan Jullio. Tidak cukupkah ia tersiksa dengan kondisi keluarganya saat ini. Dengan perilaku orangtuanya yang akhirnya berdampak buruk pada kakaknya, Benedict? Bianca terduduk lesu di tanah. Kedua tangannya mencekeram erat rumput taman yang mulai memanjang. Bianca mencabut rumput-rumput itu dari tanah dan melemparnya ke udara. Untuk sesaat, ia merasakan kepuasan dari hal kecil yang ia lakukan itu. Bianca mungkin tidak menyadari betapa dalam luka yang saat ini menggerogoti hatinya. Betapa besar rasa sakit akibat tekanan bertubi-tubi yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya. “Bee!” Martin akhirnya menemukan dirinya. Pria itu berlulut dan langsung memeluk Bianca dari belakang. Jika Bianca bisa melihat dalam gelap, ia pasti sudah menemukan raut kekhawatiran yang terpancar cukup jelas di wajah pria itu. “Astaga! Aku mencarimu kemana-mana! Syukurlah kau di sini. Aku takut kehilangan jejakmu.” Martin mengurai pelukan mereka, pria itu kembali memeluk Bianca dan mencium pucuk kepalanya. Sesaat, keduanya terdiam. Bianca menumpahkan air matanya yang semakin lama semakin tidak terbendung di d**a Martin. Saat ini, hanya Martin lah yang ada di sana untuk memberikan tubuhnya sebagai tempat bersandar. Tidak ada orang lain. Tidak ada sahabat, saudara, atau bahkan keluarga. Bianca hanya memiliki Martin, orang asing yang tadi menolak menciumnya. Bianca tahu ia jelek. Maka dari itu Martin menolaknya mentah-mentah. Ya, memangnya, siapa yang ingin mencium gadis buruk rupa seperti dirinya? Tidak ada. “Ada apa?” Martin kembali mengurai pelukan mereka. Pria itu menangkupkan kedua tangan di wajah Bianca, menatap tepat di manik mata gadis itu. Meski keduanya tidak bisa melihat satu sama lain, Martin tahu Bianca masih menangis. “Apa aku melakukan kesalahan?” tanyanya. Bianca menggeleng. Martin sama sekali tidak bersalah. Justru dirinyalah yang patut dipersalahkan dalam hal ini. “Tidak.” “Kau menangis, Bee. Katakan padaku siapa yang menyakitimu.” Sebisa mungkin, Martin membujuk Bianca untuk mengatakan kepada dirinya apa yang membuat gadis itu begitu terlihat sangat terluka. “Kau menolak untuk menciumku.” Ucap Bianca lemah. “Apa aku sejelek itu di matamu?” “Astaga! Hanya itu?” Martin kembali memeluk Bianca. “Apa yang kau pikirkan. Sudah kubilang kau cantik. Kau sangat cantik, Bee. Kenapa kau berpikir kalau dirimu jelek?” “Karena dia menolakku. Dan sekarang kau juga menolakku.” “Bee…” Martin mengecup bibir Bianca singkat. “Aku bukan menolakmu. Aku hanya takut kau menyesal. Kau menawarkan ciuman kepada orang asing. Kupikir kau sedang bergurau atau… terlalu frustasi hingga memintaku menciummu.” “Memang.” Jawab Bianca jujur. Jika Martin tahu bagaimana perasaannya kali ini, mungkin  pria itu akan menertawakannya. Lagi, Martin mencuri satu kecupan singkat di bibir Bianca. Seandanya saja Bianca tahu, rasanya ia tidak ingin berhenti saat itu juga. Martin ingin memiliki Bianca dalam bentuk yang paling buruk sekali pun. Meskipun rasanya mustahil membayangkan Bianca dalam versi buruk rupa. “Laki-laki yang menolakmu, dia pastilah laki-laki paling bodoh di seluruh dunia.” “Dia sempurna, Martin. Akulah yang bodoh dan jelek.” Martin kembali memagut bibir  Bianca. Meski tidak mendapat respon dari gadis itu, tetapi Martin cukup puas menikmati ciuman singkat bersama Bianca. “Apa dia pernah menciummu seperti ini?” Bianca menggeleng. “Belum. Dia tidak akan mau.” “Kau manis.” Komentar Martin lalu kembali memeluk Bianca. Untuk sekali ini, Martin sangat bersyukur karena laki-laki yang diinginkan Bianca menolak gadis itu. Dengan begini, Martin memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mendekati Bianca. Martin tidak peduli jika ia harus bersaing dan melenyapkan pria itu. Ia tidak ingin Bianca dimiliki oleh laki-laki yang tidak mencintainya. Meskipun dalam kasus ini, dirinya juga tidak mencintai Bianca. Masih masih terbelenggu, dengan seseorang yang baru saja menghianatinya. Perlahan, Martin ikut duduk di sisi Bianca dan bersandar pada sebuah tembok besar yang di sisinya dihiasi oleh bunga-bunga berbentuk hati. Pria itu menarik Bianca hingga gadis itu terduduk di pangkuannya. Martin memeluk Bianca, mengusap punggung gadis itu. Keduanya kembali terdiam. Martin tidak ingin melihat Bianca bersedih, tidak lagi. “Coba ceritakan padaku bagaimana laki-laki yang sudah menolakmu itu. Apa dia setampan aku?” Martin memainkan rambut halus Bianca. Dalam posisi seperti sekarang, seharusnya ia bisa dengan mudahnya menerkam Bianca dan membuat gadis itu tidak berdaya berada di bawahnya. Namun, Martin tidak mau melakukanya. Ia tidak mau masuk ke dalam daftar orang yang menyakiti Bianca. “Kurang lebih. Kenapa kau percaya diri sekali?” Bianca mendongak, mencoba menatap wajah Martin. Gelap, itulah yang dilihatnya. Martin terkekeh geli. “Banyak yang memanggilku seperti itu. “ “Oh…” hanya itu yang keluar dari bibir Bianca. Kemudian, gadis itu kembali terdiam. Martin melingkarkan kedua tangannya di perut Bianca dan mengenggenggam tangan gadis manis itu. “Jadi, bagaimana? Apa yang kausuka darinya?” Desahan lembut keluar dari mulut Bianca. “Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Tapi, menurutku dia sempurna.” “Wow… apa semua gadis selalu sepertimu saat jatuh cinta?” Tanpa Martin ketahui, Bianca memutar bola matanya. “Aku tidak tahu, Martin. Aku belum pernah jatuh cinta dengan gadis mana pun. Dan asal kau tahu, aku penyuka lawan jenis. Bukan sesama jenis.” “Kalau begitu kita sama. Maksudku, apa teman-temanmu tidak pernah menceritakan padamu bagaimana mereka jatuh cinta? Mungki kau pernah mendengar dari mereka tentang bagaimana perasaan teman-temanmu. Dan kau bisa menyimpulkan.” Bianca menyandarkan kepala di d**a Martin, jauh merasa lebih baik. “Aku tidak tahu. Sejauh ini, aku tidak memiliki teman baik. Tapi minggu lalu, salah satu temanku bercerita tentang hubungannya dengan laki-laki yang usianya terpaut 31 tahun lebih tua darinya. Seusia ayahku, lalu,” Bianca menghentikan ceritanya cukup lama, membuat Martin semakin penasaran. “Lalu?” Dengan tidak sabar, Martin menuntut Bianca melanjutkan ceritanya. “Terlalu menyakitkan.” Komentar Bianca singkat. “Apanya?” “Ceritanya, Martin.” “Laki-laki itu orang yang kau sukai? Begitu? Kau jatuh cinta dengan-“ Martin terdia, terlalu kecewa jika harus menerima kenyataan Bianca ternyata lebih menyukai laki-laki yang usianya jauh lebih tua darinya. “Martin…” Bianca kembali mendongak. Sejujurnya ia ingin sekali melihat ekspresi Martin setelah pria itu menciumnya. Apakah Martin terlihat biasa saja? Atau ada sesuatu dari dirinya yang menarik perhatian pria itu. Mengingat sejauh ini Jullio sama sekali tidak tertarik padanya, Bianca mulai berpikir ia gagal menjadi seorang perempuan. “Kau berpikir terlalu jauh.” Martin mendongan sambil menyengir. “Makanya, jangan putus-putus kalau bercerita. Ayo, lanjutkan ceritamu. Apa yang terjadi pada temanmu dan kekasihnya yang sudah tua itu.” “Katanya, dia menikmati kebersamaannya bersama kekasihnya di atas ranjang. Pria itu, meski sudah berusia lanjut tetap saja terasa sangat b*******h. Temanku sudah sering tidur dengan laki-laki yang ditemuinya dan dia sering mendapat bayaran dari pelayanannya itu. Tapi, kekasih singkatnya kali ini sangat…” Bianca menjeda ucapannya. “Kata-kataku selanjutnya sedikit vulgar.” “Lanjutkan.” Pinta Martin yang sudah terbiasa dengan kehidupan seksual yang liar. “Temanku menyebutnya hot. Apa kau paham maksudku?” “Sangat.” Jawab Martin cepat. “Baguslah.”  Bianca tersenyum. Senang Martin mau mendengarkan ceritanya. “Temanku mengatakan dia mendapat sebuah mobil sport mahal setelah seminggu mengencani pria yang lebih tua darinya itu. Dia sangat puas dengan kebersamaan mereka di atas ranjang. Dan juga sangat puas dengan bayaran yang dia dapatkan. Jadi, aku tidak tahu definisi jatuh cinta yang saat ini kurasakan sama dengan apa yang temanku rasakan atau tidak.” “Itu berbeda, Bee.” Martin mengeluh dalam, iba melihat pergaulan Bianca yang ternyata cukup menyedihkan. “Kau jatuh cinta. Sedangkan temanmu hanya… aku tidak tahu bagaimana cara menyebutnya.” Ujar Martin jujur. “Aku juga.” Komentar Bianca. “Tapi, apa yang membuatmu merasa kalau hubungan temanmu itu terlalu menyakitkan untuk diceritakan?” “Karena kekasih singkatnya adalah ayahku sendiri.” jawab Bianca mantap. Sontak, saat itu Martin langsung terperanjat. Pria itu melepas pelukannya di perut Bianca, juga genggaman tangannya. Martin menjauhkan Bianca, kedua tangannya mencekeram erat lengan gadis itu. Keduanya sekarang duduk saling berhadapan, dengan Bianca tidak lagi berada di pangkuannya. Jika suasana jauh lebih terang, posisi mereka saat ini bisa diartika Martin sedang menatap Bianca lekat-lekat. Sayang, tidak ada cahaya di sana. “Apa kau sedang bercanda lagi?” “Tidak.” jawab Bianca seraya mengedikkan bahu. Bianca tahu, Martin pasti jijik memiliki teman baru sepertinya. Sejak awal Bianca sudah mendeskripsikan bagaimana hubungan keluarganya, tetapi ia memang belum mengatakannya pada Martin. “Kau terkejut?” “Ya.” jawab Martin jujur. “Astaga.” Martin menunduk. Sama sekali tidak menyangka Bianca memiliki ayah seperti itu. “Lain kali jangan dengarkan ocehan temanmu.” “Kau menyesal punya teman sepertiku?” cicit Bianca. Percuma menghararapkan Martin untuk menjadi temannya. Pria itu tidak akan pernah mau. “Aku tahu. Baiklah, sebaiknya sekarang aku pulang. Keluargamu bisa mencarimu kemana-mana kalau kau pulang larut malam.” “Kau marah?” tanya Martin. Pria itu setengah menduga Bianca lagi-lagi merasa rendah diri seperti sebelumnya. “Tidak.” Bianca hendak bangkit, tetapi Martin menahan tangannya. “Ayo, Martin.” “Bee…” Martin mengeratkan cengkraman tangannya di lengan Bianca. “Aku sama sekali tidak marah atau kecewa memiliki teman sepertimu. Meskipun kita baru saling mengenal, tapi aku peduli padamu. Aku hanya… tidak menyangka lingkungan di sekitarmu ternyata toxic. Aku kasihan padamu-“ “Tapi aku tidak butuh dikasihani. Jangan berteman denganku kalau kau hanya kasihan padaku.” “Tidak,” Martin meralat. “Bukan itu maksudku. Kau tidak seharusnya hidup di lingkungan itu.” “Dan aku memang berkubang di sana.” “Baiklah. Begini, lain kali jangan dengarkan omongan orang-orang seperti itu. Jangan biarkan mereka-“ “Aku melihatnya, Martin.” Keluh Bianca. Lagi-lagi Martin menjadi orang pertama yang bisa menahami bagaimana perasaannya. Meski Bianca sendiri tidak yakin apakah ia mengerti perasannya sendiri atau tidak. “Baiklah…” Martin kembali menarik Bianca ke dalam pelukannya. “Tell me whatever happened to you. Now, I will be where you share the world. Whether your life is good or bad, I will always be a companion for your every adventure. You can think of me as a friend, brother or whatever you like. As long as I am by your side, you will be safe with me. You, your heart and your soul, Bee.” Senyum Bianca mengembang. Martin tidak meninggalkannya setelah tahu bagaimana buruknya kehidupan yang selama ini ia jalani. Setidaknya sekarang, Bianca punya tempat untuk berbagi suka dan duka. Martin adalah tempat baru yang terlalu nyaman dan tiba-tiba saja ia khawatir. Bianca mendongak, “Apa kau punya kekasih?” Martin tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bianca. Hal itu membuat Bianca berpikir kalau pria itu memang sudah memiliki kekasih. “Belum.” Tiba-tiba Martin menjawab dengan suara lirih. “Aku butub kejujuran di sini.” “Kau mendapatkannya. Aku tidak memiliki kekasih jika itu yang kau khawatirkan.” “Aku tidak mau melukai siapa pun, Martin.” Martin terkekeh. “Tenanglah, tidak ada yang terluka di sini. Kecuali jika kau memendang kesedihanmu sendiri, aku akan sangat terluka.” Kini, giliran Bianca yang memeluk Martin dengan sangat erat. Astaga, betapa beruntungnya ia bertemu dengan laki-laki sebaik Martin? “Martin…” Bianca mengurai pelukan mereka. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Ya? Kau khawatir kalau suatu hari nanti ada perempuan yang menghampirimu dan menamparmu? Tenang, itu tidak akan terjadi.” Jelas Martin tanpa perlu diminta oleh Bianca. “Tidak, tidak.” ucap Bianca cepat. “Lalu?” Bianca mendesah pelan. “Apa aku jelek?” “Kau cantik dan manis, Bee.” Martin menarik dagu Bianca dan menyatukan kening mereka. “Kenapa kau bertanya seperti itu.” “Kau menciumku seperti anak-anak.” Keluh Bianca. “Baiklah. Ayo, kita pulang!” Bianca hendak beranjak, tetapi Martin lagi-lagi menarik tangannya. Saat ini, perasaannya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dan setidaknya, Bianca sudah tahu bagaimana rasanya dicium oleh laki-laki dewasa seperti Martin. Dan rasanya… biasa saja ternyata. “Kau tahu kenapa aku melakukannya?” Martin menahan napas, berusaha sekuat tenaga agar ia bisa tetap tenang saat mengucapkannya. Bianca menggeleng. “Aku tidak tahu. Sebaiknya memang aku tidak bertanya, bukan?” Martin kembali mengecup bibir Bianca dengan sangat singkat. Jauh lebih singkat dari sebelumnya. “Karena aku takut aku tidak bisa berhenti, manis.” Bianca tertegun. Mulai menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan oleh laki-laki dewasa seperti Martin. Apakah pria itu tertarik padanya? Apakah setelah sejauh ini ada seseorang yang benar-benar menganggapnya sebagai perempuan yang semestinya? Yang menarik perhatian lawan jenisnya? “Aku…” Bianca menghentikan ucapannya. “Sekali lagi, kau manis dan tidak jelek. Kau cantik, Bee. Percayalah.” “Aku penasaran bagaimana pria sepertimu… tidak bisa berhenti menciumku.” Bianca sudah bersiap jika kali ini Martin menolaknya lagi. Namun pria itu justru menempelkan bibir mereka dan membuka mulutnya. “Kalau begitu, sebaiknya kita hilangkan rasa penasaran itu darimu.”                                     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD