MARTIN AND BIANCA- SHOOTING STAR.
MARTIN lega akhirnya ia bisa menemukan Bianca. Semula, pria itu sempat berpikir kalau ia kehilangan jejak Bianca. Lama ia mencari dalam kegelapan malam. Meski tidak seharusnya lampu taman dimatikan. Oh, ia sama sekali tidak tahu siapa yang memadamkan lampu tersebut. Rasanya semua itu teramat sangat kebetulan.
Pertama, Martin tidak sengaja menepikan mobilnya di sisi taman, tempat di mana ia dan Bianca bertemu siang ini. Kedua, entah karena apa Bianca tiba-tiba tersinggung dengan ucapannya. Martin menduga semua itu karena ia menolak mencium Bianca, tetapi ia melakukan semua itu karena tidak mau nantinya Bianca menyesal karena permintaan kecil itu. Dan yang ketiga adalah lampu taman dipadamkan, hingga membuat Martin harus rela mencari Bianca di dalam kegelapan malam.
Lama ia mencari dalam gelap, Martin sengaja tidak memanggil nama Bianca. Semua itu ia lakukan agar Bianca tidak bersembunyi atau darinya. Hingga sesaat kemudian, Martin mendengar suara isakan di sudut taman. Tepatnya di balik sebuah tembok, ia berjalan mendekati tembok tersebut dan mendapati Bianca tengah meringkuk di sana sambil menangis pilu.
Rasanya, Martin tidak tega mendengar isakan tersebut. Ia bergegas berlari menghampiri Bianca dan memeluk gadis itu. Martin ingin menjadi penenang bagi gadis cantik yang kini tengah mencabuti rumput di taman tersebut. Ketika Bianca menerima semua kata-kata yang terucap dari bibirnya dan tidak melepas pelukannya, saat itulah Martin merasa ia telah menjadi bagian terkecil dari gadis lebah yang kini mengisi hidupnya.
“Aku penasaran bagaimana pria sepertimu… tidak bisa berhenti menciumku.” Kata-kata itu seperti tantangan bagi Martin. Sejujurnya, ia tidak tahu apa yang saat ini dipikirkan oleh Bianca. Sejauh ini Bianca tampak… tidak terlalu percaya diri.
“Kalau begitu, sebaiknya kita hilangkan rasa penasaran itu darimu.” Martin kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Bianca. Satu tangannya berada di tengkuk gadis itu sementara tangan lainnya membelai lembut bibirnya. Napas mereka beradu. Sejauh ini, setelah seorang wanita menghianatinmya berbulan-bulan yang lalu, Martin hampir tidak pernah melakukan ciuman dengan siapa pun. Dan Bianca akan menjadi yang pertama.
Perlahan, Martin menempelkan bibirnya ke bibir Bianca, hanya menempel. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Bianca terhadap gerakan itu. “Seperti ini?” tanyanya perlahan.
“Martin…” Bianca bergumam lirih. Bibirnya bergetar seiring keluarnya setiap huruf dari mulutnya. Martin mulai berfantasi, menganggap ucapan itu laksana desahan di tengah gelombang kenikmatan yang mungkin saja ia arungi bersama Bianca. Atau bisa saja ia memikirkan tentang wanita lain… “Hanya itu?” Bianca berkata lagi. Kali ini jauh lebih jelas.
Tidak bisa berkata-kata lagi, Martin ingin menganggap Bianca sebagai wanita sialan itu, tetapi ia tidak bisa melakukannya. Bianca terlalu nyata untuk dianggap sebagai seorang pengganti. Gadis itu, bahkan dari suaranya saja Martin yakin ia tidak bisa beralih dari sana. Lelah berpikir, akhirnya ia berkata. “Ladies first.”
Bianca menggeleng cepat, benar-benar sesuai dengan tebakan Martin. “No.” ucapnya tegas. Sekali lagi, bibir mereka bersentuhan.
“Kenapa?” Martin mendorong tengkuk Bianca, membuat gadis itu semakin dekat dengannya.
“Ayo, pulang.” Bianca memalingkan wajah. Jika Martin bisa melihatnya, gadis itu kini tengah tersipu malu. Bukan karena ia tertarik dengan Martin, melainkah karena Bianca tidak terbiasa berada sedekat ini dengan laki-laki kecuali dalam hal pekerjaan.
Bukannya beranjak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Bianca, Martin justru bersandar di tembok dan merapatkan kedua kakinya. Ia lalu mengangkat Bianca, meletakkan gadis itu tepat di atas tubuh sensitifnya dan mulai menciumnya perlahan. Bukan ciuman penuh gairah seperti yang biasa ia lakukan. Melainkan ciuman penuh perasaan. Entah perasaan apa, tidak ada yang tahu. “Bagaimana kalau kita menginap di sini semalaman?”
“Besok aku harus sekolah, Martin.” Keluh Bianca. “Lupakan permintaanku dan kita bisa pulang sekarang.”
“Tidak.” Martin tersenyum, kembali menerka-nerka bagaimana ekspresi Bianca saat ini. “Kita akan melakukannya perlahan, agar kau bisa menikmati dan menilainya sendiri.”
“Kau tidak menikmatinya juga? Itu sama saja bohong.” Bianca kebingungan, Martin tahu itu.
Dengan hati-hati, Martin membawa kedua tangan Bianca untuk melingkar di tengkuknya. “Begini lebih baik.” Katanya sembari menghidu aroma gadis itu. “Kita akan menikmatinya. Kau dan aku, Bee.”
“Hmbbb…”
“Baiklah, kita mulai perlahan. Kau tahu caranya, bukan?”
Bianca mencebik, “Tentu saja. Kau menghinaku?”
“Bagus. Tunggu apa lagi. Peluk dan cium aku, Bee.” Pinta Martin dengan suara serak khas pria yang tengah haus belaian.
Bianca lalu mengeratkan pelukannya dan mulai mencium Martin. Mulanya, gadis itu hanya mencium permukaan bibir Martin, kemudian mulai berani menyesapnya persis sepertinya yang Martin lakukan padanya. Bianca menggigit kecil bibir bawah pria itu lalu melepasnya saat tidak juga mendapat respon dari Martin.
“Sudah?” tanya Martin saat Bianca menenggelamkan wajah di tengkuknya.
Bianca mengangguk lembut. Gadis itu malu bukan main dengan tingkah lakunya sendiri.
“Bagaimana rasanya?” tanya Martin.
“Martin, kau mempermainkanku!” Bianca mencoba melepaskan diri dari Martin, tetapi pria itu justru memeluknya semakin erat.
“Kau semanis madu, Bee. Bagaimana ada laki-laki di luar sana yang berani menolakmu?”
“Kau hanya menghiburku.” Gerutu Bianca. Meski kesal dengan Martin, Bianca tidak bisa lama-lama marah dengan pria itu. Bahkan saat ini, ia telah kembali memeluk Martin.
Martin mengangkat wajah Bianca. Di dalam kegelapan malam, Martin menduga saat ini gadis itu sedang sangat malu sekaligus sedih. Bianca pasti sedang memikirkan pria yang menolaknya. “Kali ini aku serius. Kita akan melakukannya dengan benar.” Martin menyatukan bibir mereka. Pria itu mendesakkan lidah ke mulut Bianca, memaksa Bianca membalas ciumannya. Perlahan, ia menggigit bibir bawah Bianca, menyesapnya dengan rakus, lidahnya terus bermain di dalam mulut Bianca, mencari lidah gadis itu dan menyatukannya. “Astaga! Kau manis sekali!” Martin berhenti sejenak untuk mengucapkannya kemudian memulai lagi.
Dalam permainan kali ini, Martin lebih mendominasi. Sedangkan Bianca lebih banyak diam dan menerima semua yang Martin berikan padanya. Gadis itu kesulitan bernapas dan berpikir. Ia tidak tahu kalau ternyata ciuman akan berdampak begitu besar pada seluruh bagian tubuhnya. Juga… hatinya. Bianca merasakan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Semua anggota tubuhnya bahkan ikut bergetar hebat. Bianca tidak tahu apa persisnya yang saat ini ia rasakan. Tapi ia ingin terus menikmati semua ini bersama… Martin. Dan tanpa ia sadari, Jullio telah lenyap dari benaknya.
Lama mereka terdiam setelah ciuman yang cukup berat dan memabukkan itu. Martin melingkarkan kedua tangannya di punggung Bianca. Begitu sebaliknya. Keduanya mengambil menetralkan napas masing-masing. Debar jantung mereka bak irama musik yang terdengar begitu merdu di telinga keduanya. Bianca mengulas senyum. Ciuman pertama yang sangat menyenangkan dan mustahil dilupakan.
Malam semakin larut, baik Martin maupun Bianca sama-sama belum ingin beranjak dari posisi itu. Martin menikmati Bianca berada di dalam pelukannya. Ia merasa sebagai laki-laki sejati yang berhasil menyelamatkan seorang peri yang baru saja kehilangan salah satu sayapnya yang patah karena diterjang badai. Mulai saat itu Martin menganggap Bianca bukan hanya ratu lebah yang memilik sayap indah. Baginya, Bianca adalah peri yang kehilangan sayap indahnya kemudian berubah menjadi manusia yang dikirim Tuhan untuk digenggap dan dilindunginya.
“Terima kasih.” Gumam Bianca di d**a Martin. Bianca masih melingkarkan kedua tangannya di punggung Martin, ia tidak ingin melepasnya. Tidak sampai Martin menyuruhnya pergi.
“Untuk?” Martin mengurai pelukan mereka.
“Ciuman yang indah.” Ucap Bianca sambil menyatukan kening mereka. “This is a first for me.”
“First?” ulang Martin tidak percaya.
“Ya.” Bianca terkekeh di depan wajah Martin. Hangat napasnya menyapu seluruh bagian wajah pria itu. “Dan kau membuatnya terlalu indah kurasa. Aku menyimpan ciuman ini untuk laki-laki itu. Sekarang aku memberikannya padamu. Pada orang asing yang terlaihat kacau.”
“Kau sekacau diriku.” Komentar Martin lalu kembali mencium Bianca.
Kali ini ciuman itu tidak hanya didominasi oleh Martin. Bianca mulai belajar dan tahu bagaimana cara melakukannya. Perlahan Martin mengajarinya untuk menikmati semua itu. Ajaibnya Bianca belajar dengan sangat cepat dan berhasil memahami bagaimana sepasang lidah bisa saling bertautan sementara bibir bisa saling menyesap satu sama lain.
“Kau melakukannya dengan sangat baik.” Komentar Martin setelah melepas bibir Bianca.
“Kau guru yang baik. Harus kuakui itu.”
“Terima kasih, Bee.” Martin mengecup bibir Bianca singkat. Senyumnya mengembang.
“Apa aku berat?” Bianca menggeser duduknya. Terlalu lama duduk di pangkuan Martin membuat pantatnya ngilu. Untuk waktu yang cukup singkat, mungkin posisi itu menyenangkan. Tapi jika mereka lama melakukannya, Martin tidak akan bisa bangun lagi.
Bianca turun dari pangkuan Martin dan duduk di sisi pria itu. Kedua tangannya dengan cepat digenggam oleh Martin. “Martin, kenapa kau menarik tanganku?”
“Aku takut kau kabur.” Jawab Martin jujur.
“Astaga. Kau berlebihan.”
“Tidak.” Martin mendengus. “Kau baru saja kabur dariku kalau kau tidak lupa.”
“Aku tidak akan melupakannya, Martin sayang.”
“Bee…” Martin kembali menyandarkan punggungnya di tembok. “Jangan memanggilku sayang lagi.”
“Kenapa?”
Kau membuatku merasa berarti. Gerutu Martin dalam hati. “Aku bisa besar kepala!”
Jawaban itu memunculkan tawa membahana dari Bianca. Gadis itu benar-benar melepas cengkeraman dari Martin dan langsung ditarik oleh pria itu. “Kau lucu sekali.”
“Aku tidak lucu.” Bantah Martin. “Aku hanya takut kau pergi dariku.” Ucapnya jujur. “Jangan pergi kemana-mana. Aku akan mengambil ponsel di sakuku dan menyalakan senter.”
“Ah…” Bianca merentangkan kedua tangannya ke udara, menikmati kebebasan yang bisa ia dapatkan setelah Martin membelenggunya cukup lama. Mereka memang kacau. Sangat kacau. Tapi, dari kekacauan itulah akan tercipta kisa sempurna yang bisa kita nikmati bersama.
“Ide bagus.” Komentar Bianca. “Ngomong-ngomong, siapa yang memadamkan lampu di sini?”
“Entah.” Martin akhirnya bisa melihat wajah Bianca dengan jelas. Mata gadis itu sembab, tetapi kondisinya jauh lebih baik. Bianca tampak rileks. Tidak seperti sebelumnya. “Kau mau pulang sekarang?”
Bianca menggeleng. “Aku justru mengkhawatirkanmu. Tidak ada yang menungguku di rumah.”
“Siapa yang ada di rumahmu? Apa kakakmu tidak pulang?”
“Ben akan pulang besok pagi bersama para pelacur.”
“Bee, jangan gunakan kata-kata vulgar seperti itu.” tegur Martin.
“Ibuku yang mengajariku.”
“Ibumu?” tanya Martin dengan kening mengkerut. Martin melihat Bianca memijit lehernya sendiri.
“Ya.” jawab gadis itu cepat. “Sejak usiaku delapan tahun, ibuku selalu berteriak pada ayahku dan mengatakan “Bawa p*****r itu pergi dari rumah ini, b******k!” begitu kira-kira.” Katanya polos.
Martin tertegun, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Selama ini Bianca memang berkubang dengan lingkungan yang benar-benar buruk. “Kemana ayah dan ibumu saat malam? Mereka tidak mencarimu kalau kau tidak pulang?”
“Mereka tidur dengan kekasih mereka masing-masing. Ibuku mengencani teman sekolahku. Begitu juga dengan ayahku.”
“Kau melihatnya?”
“Ya.” Bianca tersenyum miring. “Aku bahkan melihat kekasih orangtuaku di sekolah, mereka tampak malu saat melihatku.” Kali ini tawanya meledak.
“Astaga.” Martin kembali memeluk Bianca. Ia tidak percaya kalau gadis yang saat ini berada di hadapannya ternyata gadis yang tumbuh di lingkungan menjijikkan. Meski begitu, Martin cukup bangga karena Bianca berhasil menjaga dirinya dengan sangat baik.
“Jangan mengasihaniku, Martin.” Bianca mengurai pelukan mereka.
“Aku tidak melakukannya.” Bantah Martin cepat. Tatapannya terpusat pada manik mata Bianca. Sejak saat itu, ia tahu. Bianca bukan gadis lemah seperti gadis lain pada umumnya. Dia kuat. “Kemarilah.” Martin menepuk pahanya, meminta Bianca berbaring di atas pahanya.
“Kau yakin?” Bianca tidak menolak permintaan itu. Ia merebahkan tubuh dan menggunakan paha Martin sebagai bantal. Rasanya menyenangkan punya tempat berbagi. “Kakimu bisa patah lama-lama.”
“Mustahil.” Martin mengusap rambut Bianca yang tergerai di pahanya. Ada rasa nyaman saat mendapati Bianca bersandar pada dirinya. Rasa yang tidak bisa dijelaskan oleh logikanya. Aneh. “Kecuali kau memotong kakiku, barulah kakiku akan putus.”
“Kau yakin aku bisa melakukannya?” Bianca memusatkan pandangannya pada Martin. Kali ini ia bisa melihat wajah Martin meski dari penerangan yang cukup minim. Senyumnya mengembang.
“Aku percaya kau tidak akan tega melakukannya.” Martin mencubit hidung Bianca karena gemas. “Aku juga sangat yakin kau tidak tega membunuh seekor nyamuk yang baru saja menghisap darahmu.”
“Lagi-lagi kau berlebihan, Martin.”
“Tidak.” elak Martin cepat. Bianca telah kehilangan sepasang sayapnya. Maka dari itu, Martin bersumpah akan menjadi sayap bagi gadis itu. Mereka akan terbang bersama. Menikmati indahnya dunia dan mengarungi semua suka-duka berdua. Martin tidak sadar kalau ia telah melupakan wanita yang menghianatinya sejak ia bertemu dengan Bianca. Hal itu membuat genggaman di tangan Bianca semakin menguat.
Mereka terluka. Dan pertemuan keduanya menyembuhkan luka satu sama lain. Bianca adalah obat untuk luka di hati Martin sedangkan Martin menjadi panawar untuk racun yang terlanjur menggerogoti seluruh saraf di tubuh Bianca. Impas. Tuhan menciptakan sesuatu bukan tanpa alasan. Kini, Martin tahu alasan ia dipertemukan dengan gadis yang memberinya es krim beberapa jam yang lalu.
“Martin lihat!” Bianca menunjuk ke langit yang dipenuhi bintang-bintang dan bulan purnama yang bersinar elok.
“Ada apa? Kau mengejutkanku.” Gerutu pria itu.
“Ada bintang jatuh!” seru Bianca tertahan.
Martin menggeleng. Ia pikir Bianca kembali teringat dengan laki-laki yang menolaknya. Ternyata ia salah. “Kupikir ada apa.”
“Ayo, kita buat permintaan.”
“Ha?” Martin tampak bingung. Tatapannya tertuju pada benda langit yang bersinar dan meluncur ke bawah. Entah kemana.
“Buat permintaan saat ada bintang jatuh. Apa kau tidak tahu?” Bianca terlihat kesal.
“Oh, ayo!” ucap Martin pura-pura antusias. Semua itu ia lakukan untuk membuat Bianca tersenyum.
Setelah beberapa detik yang terasa cukup lama. Martin terus memandangi Bianca yang memejamkan mata dan masih berbaring di pahanya. Gadis itu jauh terlihat lebih cantik di bawah cahaya temaran senter yang keluar dari ponselnya. Martin mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini. Ia mulai bertanya-tanya, bagaimana tangan Tuhan bekerja dengan baik saat membuat Bianca?
“Apa yang kauminta?” pertanyaan Bianca menyadarkan Martin dari renungannya. Gadis itu kini menatapnya lekat-lekat.
“Kau dulu.” Martin nyengir, tidak tahu bagaimana ia harus menjawab karena ia tidak meminta apa pun. Martin terlalu sibuk memandangi Bianca.
“Aku ingin bahagia.” Jawab Bianca jujur.
“Aku ingin kau bahagia.”
“Kau menggunakan permintaanku untukku?”
“Ya. Kau… Bee.” Katanya sambil mengulas senyum.
Bianca tersenyum. Satu tangannya meraih wajah Martin, mengusapnya lembut di sana. “Kau menakjubkan.” Ucapan itu keluar tanpa pernah ia sadari. Dan ujung jarinya, kini menyentuh bibir bawah Martin.
Martin merasakan dorongan yang cukup kuat untuk kembali mencium Bianca. Pria itu menunduk untuk menyatukan kembali bibir mereka. Ciuman yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. Baik Martin maupun Bianca sama-sama berhentinsaat mereka kehabisan napas. “Boleh aku bernyanyi untukmu?” tanya Martin masih dalam posisi menunduk, hidung mereka bersentuhan.
“Sure. Terima kasih sudah menggunaakan permintaanmu untukku.”
“Hiduplah bahagia selamanya, Bee. Karena kau berhak mendapatkannya.” Martin menegakkan pungunggnya, bersiap untuk mendendangkan sebuah lagu untuk Martin.
“Then, help me make it happen.”
“Of course.”
I wonder if I'm being real
Do I speak my truth or do I filter how I feel?
I wonder, wouldn't it be nice
To live inside a world that isn't black and white?
I wonder what it's like to be my friends
Hope that they don't think I forget about them
I wonder, I wonder
Right before I close my eyes
The only thing that's on my mind
Been dreaming that you feel it, too
I wonder what it's like to be loved by you, yeah
I wonder what it's like
I wonder what it's like to be loved by
I wonder why I'm so afraid
Of saying something wrong, I never said I was a saint
I wonder, when I cry into my hands
I'm conditioned to feel like it makes me less of a man
And I wonder if some day you'll be by my side
And tell me that the world will end up alright
I wonder, I wonder
Right before I close my eyes
The only thing that's on my mind
Been dreaming that you feel it, too
I wonder what it's like to be loved by you, yeah
I wonder what it's like
I wonder what it's like to be loved by you
I wonder what it's like to be loved by you, yeah
I wonder what it's like to be loved by you
I wonder what it's like to be loved by
Right before I close my eyes
The only thing that's on my mind
Been dreaming that you feel it too
I wonder what it's like to be loved by you
Wonder by Shawn Mendes.
Martin melihat Bianca menutup matanya rapat-rapat, terlelap di dalam pangkuannya. Rasanya menakjubkan kembali menjadi seseorang yang berguna untuk orang lain. Apalagi dengan suaranya. Tiba-tiba, ia merindukan sesuatu. Sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan. Sesuatu yang sengaja ia sembunyikan dari lingkungan barunya. Dan akan terus ia sembunyikan dari Bianca. Tidak peduli bagaimana hubungan mereka nantinya. Martin tidak ingin kembali ke titik itu meski bagian dari dirinya yang lain sangat menginginkannya. Martin tidak ingin terluka. Tidak lagi.