MARTIN AND BIANCA- MY WORK IS…
BIANCA membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar memaksanya untuk segera kembali ke dunia nyata. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar yang cukup familiar. Tanpa ia sadari, senyumnya mengembang. Bianca bersyukur pagi ini ia bisa kembali membuka mata dan masih berada di kamarnya yang cukup nyaman. Sejak ia terlahir ke dunia, kamar itulah yang selalu ia tempati. Meskipun ia memiliki banyak pilihan kamar, Bianca tidak pernah ingin pindah ke ruangan lain karena di tempat itulah ia memiliki banyak kenangan bersama keluarga kecilnya.
Setelah kesadarannya kembali, Bianca merasakan sesuatu di perutnya. Sesuatu yang lumayan berat dan hangat. Bianca mengerjap, mencoba memahami apa yang saat ini menimpanya. Kepalanya menoleh dan hidungnya mendadak menabrak sepasang benda kenyal yang tak lain adalah bibir milik…
Bianca terduduk sembari memandangi sesosok laki-laki yang kini berbaring di ranjangnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, seolah tidak tempat tidur Bianca adalah miliknya. “Selamat pagi, Bee.” Sapanya.
“Martin…” Bianca menyilangkan kedua tangan di d**a. “Apa yang kaulakukan di sini?”
Martin beranjak untuk duduk dan mengulurkan tangan untuk membelai wajah Bianca. “Semalam kau tidur di taman. Aku mengantarmu pulang dan kau tidak mau melepasku. Aku tidak punya pilihan selain memelukmu sepanjang malam, Bee.”
“Bagaimana kau bisa masuk?” tanya Bianca sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Ben.” Jawab Martin tanpa ragu. Semalam, setelah Bianca tertidur di pangkuannya, Martin langsung menghubungi Benedict dan mengatakan posisi mereka. Pria itu langsung mengirim alamat rumahnya dan mengatakan kepada satpam agar mengijinkan Martin dan Bianca masuk.
“Ben…” gumam Bianca lebih kepada diri sendiri. Sejujurnya ia tidak yakin malam ini ia bisa tertidur begitu lelapnya di dalam pelukan Martin. Meski rasanya mengejutkan ada pria yang tidur satu ranjang dengannya, tetapi di sisi lainnya Bianca tidak merasa terusik sama sekali.
Kembali Bianca merebahkan tubuhnya di atas kasur, yang langsung diikuti oleh Martin. Pria itu memeluknya dari samping, seolah mereka sudah sangat lama saling kenal. Hari ini adalah hari baru, perasaan Bianca jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun sampai sata ini ia belum bisa melupakan Jullio. Bianca masih saja berharap pada laki-laki itu. Menyebalkan sekali.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Martin dari sisinya.
“Jauh lebih baik.” Jawab Bianca apa adanya. Bianca merasa ia tidak perlu menyembunyikan apa pun dari Martin. Sekarang, mereka berteman. Sekilas terlintas di benaknya mengenai apa status hubungannya dengan Martin. Disebut kekasih, mereka bukan kekasih. Kakak yang bertemu saat mereka besar juga tidak mungkin. Yang paling logis adalah teman. Tapi teman tidak berciuman bukan? Hmbb… membingungkan sekali. “Martin…”
“Ya?” Martin mendongak, melirik Bianca dari balik bulumata lentiknya. “Ada apa?”
Bianca menghela napas. Jika ia bertanya kepada Martin mengenai hubungan mereka, kitra-kira apa yang akan pria itu katakan? Dan apakah Bianca sudah cukup siap mendengar jawabannya. Ia merasa aman dan nyaman saat bersama Martin. Sejauh ini tidak ada yang membuatnya merasa seperti itu kecuali kakaknya.
“Bee, apa yang kaupikirkan?” Martin membalikkan tubuhnya hingga terngkurap di kasur. Ia menggunakan kedua tangan untuk bertumpu dan kembali memandangi wajah Bianca. Gadis itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali memejamkan mata.
“Apa yang kaulakukan di sini? Kenapa kau tidak pulang?”
“Aku ingin menemanimu.”
“Apa kau tidak punya pekerjaan? Atau pendidikan yang harus kau selesaikan?” tanya Bianca. Kembali membuka matanya.
“Tidak.” Martin mengulas senyum. Pandangannya tidak beralih dari Bianca sama sekali. “Oh, aku punya pekerjaan baru sekarang.”
“Apa?” Bianca langsung tertarik. “Kau punya pekerjaan setelah aku bertanya padamu? Dasar laki-laki aneh.”
“Pekerjaanku adalah…” Martin menjeda ucapannya, menunggu reaksi Bianca.
Bianca memutar bola matanya. Martin benar-benar pria yang sangat menyebalkan. “Martin, jangan menggodaku!”
“Tidak.” kata Martin seraya nyengir lebar. “Katakan apa pekerjaanmu.”
“Mulai hari ini, pekerjaanku adalah menjaga dan melayanimu, Queen Bee.”
Mendengar hal itu, Bianca mau tidak mau tertawa keras. Baru kali ini ia bertemu dengan laki-laki seperti Martin. Pria tidak tahu malu, humoris sekaligus menyebalkan. Tiba-tiba Bianca tidak ingin Martin pergi dari hidupnya. Martin bisa menjadi penghibur saat ia sedang sedih atau kesepian. “Astaga, Martin. Kau konyol sekali. Aku bertanya serius padamu. Kenapa kau malah menjawab dengan candaan?”
“Aku tidak sedang bercanda, Bee. Aku memang sudah memutuskan itu pekerjaan baruku.”
“Tidak mau.” Bianca ikut beranjak sehingga mau tidak mau Martin menyingkir dari posisinya. Gadis itu duduk dengan menyilangkan kaki-kaki panjangnya. “Aku tidak mau membayarmu, Martin. Aku masih sekolah dan aku bisa mengurus diriku sendiri.”
“Mungkin kau butuh supir atau sejenisnya.”
“Aku bisa menyetir. Jangan menyelepekanku.” Bianca melihat Martin tersenyum lebar. Pria ini sepertinya memiliki mood yang selalu bagus. Kecuali kemarin. “Jangan tersenyum seperti itu. Kau terlihat seperti orang gila.”
Martin mendengus. “Aku gila karenamu.”
“Sekarang aku benar-benar menganggapmu gila.”
“Terima kasih.” Martin duduk untuk mensejajari wajah Bianca. “Ngomong-ngomong, kau tidak sekolah? Kupikir kau masih pelajar.”
“Astaga!” Bianca menjerit keras. “Jam berapa sekarang?” gadis itu berlari menuju kamar mandi sebelum melihat jam dinding. Sesampainya di dalam kamar mandi ia bergegas melepas seluruh pakaiannya yang ternyata sudah berganti piyama. Bianca lupa kapan ia mengganti bajunya dengan piyama. Sejauh yang ia ingat, Bianca semalam masih memakai baju yang ia pakai saat pergi dengan Benedict.
Butuh waktu cukup lama bagi Bianca untuk mencuci rambut dan menggosok seluruh tubuhnya dengan shower. Jika biasanya ia tidak pernah terlambat masuk sekolah, hari ini ia juga tidak ingin melakukan kesalahan tersebut. Dengan tergesa, Bianca menggosok gigi dan buru-buru berkumur. Usai melakukan ritual mandi yang cukup cepat, Bianca berjalan menuju tempat biasa ia meletakkan handuk atau bathrobe. Sesampainya di sana, gadis itu tertegun tidak mendapati apa yang dicarinya. Dalam hati ia mengumpat, Bianca lupa membawa handuk.
Berpikir sejenak, Bianca berdiri di depan pintu. Tidak ada handuk dan bathrobe itu berarti ia harus keluar dari kamar mandi dalam keadaan nude. Tidak, ada Martin di luar dan Bianca tidak mau terlihat memalukan dengan tu. Tubuh polos seperti saat ini. Bianca menghela napas, ia tidak punya pilihan lain selain meminta bantuan Martin. Bianca juga tidak mungkin berdiri di depan pintu dan menunggu Martin pulang dengan sendirinya. Rasanya mustahil.
“Martin!” akhirnya ia berteriak sekeras mungkin. Tidak ada jawaban dari luar, Bianca menduga pria itu sudah pulang saat ia mandi. Lagipul, Martin tidak punya urusan dengannya. Jadi tidak ada alasan baginya untuk tinggal di sana.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Bianca memberanikan diri keluar dari kamar mandi. Mulanya, ia mengeluarkan kepalanya terlebih dahulu untuk melihat ke sekeliling. Setelah di rasa aman, barulah ia mengeluarkan separuh tubuhnya dan siap-siap berlari menuju walk in closet.
Namun, sebelum ia benar-benar keluar, Bianca melihat Martin berjalan dari pintu kamar, menuju ranjang. Bianca berhenti, tepat saat separuh tubuh bagian atasnya berada di ambang pintu. Manik matanya bertemu tatapan lembut Martin. Gadis itu membeku di tempat. Malu terlihat seperti itu dihadapan Martin.
“Bee?”
“Martin?”
Ucap mereka bersamaan. Untungnya Bianca tersadar dari keterkejutannya. Gadis itu kembali ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan sangat keras. Bianca menyadari saat ini pasti pipinya memerah seperti tomat. Ia masih tidak habis pikir Martin ada di sana, di kamarnya. Pria itu melihatnya… setengah telanjang.
“Bee?” suara Martin terdengar dari balik pintu. Bianca memegangi dadanya, merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari yang diinginkannya. “Bee, apa kau baik-baik saja?”
Bianca mencebik, seharunya Martin tahu kalau saat ini ia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin seorang gadis terlihat tidak berpakaian di depan laki-laki yang baru dikenalnya kemarin? Martin benar-benar bodoh.
“Bee, tolong jawab aku!” jerit Martin keras.
Ingin sekali saat itu Bianca mengumpat kepada Martin, tetapi rasanya tidak tepat saat marah pada seseroang yang bahkan tidak mengetahui kesalahannya. Bianca memutuskan menjawab Martin sebelum pria itu mendobrak pintu. “Aku baik-baik saja, Martin. Bisakah kau membantuku?”
“Apa?” sahut Martin dengan sangat cepat.
Bianca berdiri tegak, berusaha untuk lebih rileks. “Aku melupakan handukku. Bisakah kau mengambilnya untukku?”
Terdengar kekehan kecil dari balik pintu. “Tunggu sebentar.” Ucap Martin.
Bianca mendengar suara derap kaki menjauh. Untuk sekian menit yang terasa sangat lama, ia menunggu dengan perasaan harao-harap cemas. Bianca takut Martin menertawakannya. Meskipun ia sering mengenakan pakaian terbuka, tetap saja rasanya menyesakkan mendapati dirinya berpenampila seperti itu di hadapan laki-laki yang bahkan baru dikenalnya. Bianca mendengus, sekolah. Hari ini Bianca pasti akan menjadi murid yang datang terlambat.
“Bee,” Martin mengetuk pintu kamar mandi.
“Ya?”
“Buka pintunya, aku membawakan handuk untukmu.”
Dengan perasaan super tenang, Bianca membuka sedikit pintu dan membiarkan Martin menyelinapkan satu tangannya yang kini membawa handuk. Bianca meraih benda tersebut dan bergegas menutup kembali pintunya. “Terima kasih.” Katanya.
Setelah mengenakan handuknya, Bianca kembali membuka pintu. Kali ini ia melihat Martin berdiri di balkon seraya menyesap kopi. Bianca melongo, pria itu sepertinya telah menganggap rumah ini miliknya. Padahal ia belum pernah sekali pun mengucapkan, “Anggap saja rumah sendiri.”
Astaga, Martin memang benar-benar luar biasa… menyebalkan.
“Sampai kapan kau akan berdiri di sana, Bee?” lamunan Bianca terpecah karena mendengar ucapan sarkastik dari Martin. Gadis itu melihat Martin melempar seringai, cukup tampan untuk menggoda remaja seusianya. Tapi, Bianca tidak tergoda. Tidak saat hatinya sudah dimiliki Jullio.
Mengabaikan Martin, Bianca berjalan menuju walk in closet dan segera mencari pakaian dalam serta seragamnya. Untungnya ia tidak lupa hari ini hari apa, jadi dia memilih seragam apa yang harus ia kenakan.
Bianca selesai memakai pakaian dalam. Saat ia hendak memasukkan baju sekolahnya melewati lengan, tiba-tiba ia kembali mendengar jeritan Martin yang cukup memekakkan telinganya. “Bee, sudah jam sepuluh pagi. Kau sudah terlambat pergi ke sekolah.”
Mengerjapkan mata, Bianca segera menoleh ke dinding tempat di mana sebuah jam raksasa tertempel di sana. Martin benar, sudah jam sepuluh dan tidak ada waktu untuk pergi ke sekolah. Kalau pun ia pergi, yang ada hanya masalah yang mungkin menghampirinya. “Sial!” umpatnya pada diri sendiri.
Sembari membanting pakaiannya, Bianca mengambil sebuah kaos dan celana jeans panjang. Gadis itu memakainya dengan cepat kemudian berjalan keluar dari walk in closet untuk menemui Martin. “Kenapa kau tidak mengatakannya padaku kalau aku sudah terlambat?”
“Aku sudah mengatakannya, Bee.”
“Hish!” Bianca kembali mencebik. Melihat wajah tak berdosa Martin, membuatnya berpikir percuma saja marah dengan orang seperti Martin. “Kau tidak mengatakannya saat aku buru-buru mandi tadi.”
“Kau tidak bertanya.” Ujar Martin ringan. Martin berjalan menghampiri Bianca dan menyodorkan cangkir kopinya pada gadis itu. “Minumlah! Kau butuh sesuatu untuk menenangkanmu.”
Dengan hati dongkol, Bianca menerima minuman dari tangan Martin. Gadis itu menyesap kopi yang tinggal separuh dan meminumnya hingga tandas. Untuk sekali ini, Bianca ingin pergi ke sekolah agar ia bisa bertemu dengan beberapa orang yang peduli dengannya dan melakukan aktifitas seperti siswa sekolah pada umumnya. Bianca ingin melupakan sejenak semua beban di punggungnya. “Aku ada ujian.” Ucap Bianca lirih. Kemarin ia sudah meninggalkan ujian matematika. Hari ini Bianca harus rela kehilangan kesempatan untuk mengikuti ujian lain. Jika terus seperti ini, Bianca tidak akan punya waktu untuk bersantai lagi.
“Kau bisa ikut ujian susulan besok.”
“Kuharap begitu.” Bianca mengembalikan gelas kosong pada Martin. Ia lalu berjalan menuju meja rias, mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambutnya.
“Biar kubantu.” Martin mengambil benda tersebut dari tangan Bianca. Ia lalu membantu Bianca mengeringkan rambutnya. Martin melakukannya dengan perlahan agar tidak menyakiti kulit kepala gadis itu. Bagaimana pun, ia pernah tahu bagaimana rasanya saat rambutnya dikeringkan dengan hair dryer. “Apa yang membuatmu kesal? Apa kau memikirkan laki-laki itu lagi?”
“Tidak.” jawab Bianca singkat. Bianca melihat bagaimana Martin menggunakan hair dryer dengan sangat cekatan. “Apa kau pernah melakukan ini sebelumnya?”
Martin terhenti sejenak. Tidak lagi menatap Bianca. Untuk sesaat yang cukup menguras emosi, Martin tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pria itu lalu mengoperasikan hair dryer lagi setelah terdiam cukup lama. Dari tatapan matanya, Bianca tahu. Martin kembali teringat dengan masa lalunya.
“Maaf.” Ucap Bianca pada akhirnya. Ia mengambil hair dryer dari tangan Martin, tetapi Martin tidak memberikan benda itu padanya.
“Kau tidak perlu minta maaf. Kurasa, sudah saatnya.” Martin kembali sibuk dengan rambut Bianca, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
“Saatnya untuk?” salah satu alis Bianca terangkat. Masih tidak memahami jalan pikiran Martin.
“Lupakan.” Martin tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan Bianca.
“Kau bisa menceritakan masalahmu padaku. Aku akan menjadi… pendengar yang baik untukmu.”
“Apa kau memaksa?” Martin meletakkan hair dryer, menunduk untuk mengecup pipi Bianca.
“Ya.” Bianca menoleh sehingga bibirnya dengan bibir Martin tidak sengaja bersentuhan. Martin menggunakan kesempatan itu untuk mencium Bianca. Mulanya, ia hanya ingin merasakan bibir itu di dalam mulutnya. Namun, setelah sepersekian menit yang cukup menguras emosi, Martin rasanya tidak ingin berhenti. Sama seperti sebelumnya, Bianca semanis madu. Madu dari bunga liar hutan sss. Sebuah bunga yang nyaris tidak pernah disentuh oleh orang lain. Dan hanya Martin yang pernah menyentuh dan mencicipi madunya. Martin seorang.
Bianca mendorong d**a Martin saat gadis itu kehabisan napas. “Kau mencuri ciuman dariku.”
Dengan ekspresi pura-pura bodohnya, Martin mengerjap beberapa kali. “Kupikir kau dulu yang menciumku.” Pria itu lalu menegakkan punggung, mengambil sisir dan mulai menyisir raambut panjang Bianca.
“Ckk! Tidak!” bantah Bianca.
Martin terkekeh. “Baiklah, aku mengakui kalau aku mencurinya. Sudah kubilang, aku tidak bisa berhenti sejak pertama kali mencurinya darimu.”
“Hmbbb…”
“Kau marah?”
“---“
“Bee?” Martin menyisir rambut Bianca. Gadis itu hanya menatapnya lewat pantulan kaca. “Aku minta maaf.” Katanya penuh sesal.
Kali ini giliran Bianca yang tertawa. Ia begitu puas melihat ekspresi Martin yang tampak lucu di depan cermin. “Kena kau, Martin!”
“s**t! Kau menggodaku!” umpat Martin lirih.
“Sekarang ceritakan padaku bagaimana kau bisa begitu handal dalam memainkan hair dryer.”
Martin telah selesai menyisir rambut Bianca. Ia lalu meletakkan sisir tersebut di meja dan menyentuh bahu Bianca. “Aku pernah memiliki seorang kekasih. Kami menghabiskan waktu cukup lama. Dan akhirnya dia menghianatiku. Aku sering membantunya mengeringkan rambut, menyisir rambutnya, menyiapkan baju-bajunya, memasak untuknya dan masih banyak lagi. Tapi, semua sudah berakhir. Dan aku tidak akan mengingatnya lagi.”u.
“Kalian tinggal bersama?”
“Ya.” Martin tersenyum, kembali teringat dengan wanita yang pernah mempermainkannya. “Di sebuah rumah yang aku beli untuk tempat tinggal kami. Sekarang rumah itu sudah kujual.”
Bianca tersenyum, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bagaimana pun, Martin laki-laki dewasa yang memiliki pernah memiliki kehidupan layaknya pria dewasa pada umumnya. Sedangkan dirinya? Bianca masih terlalu muda untuk berpikir sejauh itu. Usianya bahkan belum genap delapan belas tahun. Bianca masih kanak-kanak. Itulah yang selalu orang-orang katakan padanya.
“Terima kasih sudah menyadarkanku betapa berharganya hidupku tanpanya. Berkatmu aku sadar, bahwa tidak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita. Sekarang, aku tahu mana yang terbaik untukku dan apa yang kubutuhkan.”
Kening Bianca terlipat mendengar pernyataan Martin. “Kau sudah menemukan pengganti mantan kekasihmu?”
“Ya. Dia jauh lebih berharga di banding wanita yang sudah meninggalkanku.”
“Baguslah.” Bianca berdiri dan berbalik untuk memeluk Martin. “Selamat datang kembali ke dunia, Martin. Semoga kehidupan barumu jauh lebih baik dari sebelumnya.”
“Amiin.” Martin membalas pelukan Bianca. Dalam hati ia berdoa, God, let me have this girl. I don't want her but I need her in my life and death. Thanks.
HALLO.... UNTUK LANJUTAN CERITA INI, KALIAN BISA BACA DI CERITAKU YANG BERJUDUL JULLIO AND HILLARY.
KARENA CERITA INI BERKAITAN... AKU MEMUTUSKAN UNTUK MENJADIKAN SATU DI WORK JULLIO AND HILLARY.
JIKA KALIAN BERTANYA-TANYA KENAPA, ALASANNYA TAK LAIN ADALAH KARENA PROSES SIGNED STORY YANG MEMAKAN WAKTU CUKUP LAMA SEHINGGA JIKA CERITA INI DISELESAIKAN DI WORK INI AKAN MEMAKAN WAKTU SATU TAHUN MUNGKIN LEBIH. JADI, MOHON PENGERTIANNYA.
TERIMA KASIH :)
SEHAT SELALU DAN BAHAGIA TEMAN-TEMAN....