8. Perjanjian yang belum terbaca

1368 Words
Pengantin baru itu kembali ke tanah air, setelah dua hari berada di Jepang. Waktu yang sangat singkat, untuk acara pernikahan yang juga dilakukan dengan sangat sederhana. Isyana dan Albi bergandengan, penampilan keduanya sangat mencolok, mengenakan pakaian dengan warna senada, lengkap dengan kacamata hitam menutupi wajah keduanya. Sempat menjadi pusat perhatian, bahkan mereka mengambil gambar, memanfaatkan situasi yang bisa dijadikan bahan berita atau hanya sekedar ingin menyebarluaskan lagi. “Senyum, mereka masih merhatiin kita.” Albi mengusap pipi Isyana dengan lembut, menunggu mobil jemputan tiba. “Diam, nikmati dan ikuti permainannya.” Albi mendekatkan wajahnya, mencium pipi Isyana dengan lembut. Sejujurnya ia tidak terbiasa dengan sentuhan seperti itu, tapi untuk menyempurnakan perannya sebagai seorang istri, tentu saja Isyana harus terlihat menyukai sentuhan Albi. Kecupan lembut mendarat singkat di wajahnya, dilanjutkan dengan usapan lembut dan tatapan penuh cinta. Albi terlihat begitu profesional menjalankan perannya sebagai sosok suami bucin akut. Tapi perlakuan manis itu berhenti setelah keduanya masuk ke dalam mobil. Albi melepaskan genggaman tangannya, duduk berjauhan seolah memberi jarak untuk keduanya. Isyana harus mulai membiasakan diri dengan segala bentuk perubahan sikap Albi dalam waktu singkat. Bisa saja lelaki itu bersikap sangat manis, tapi detik berikutnya lelaki itu kembali bersikap dingin. Bukankah seperti itu konsep pernikahan yang sudah mereka sepakati? “Aku mau pulang ke apartemenku.” Isyana perlu waktu sendiri, setidaknya untuk kembali menyusun hidupnya mulai hari ini. “Kenapa?” “Apa aku harus bilang alasannya?” “Tentu. Kamu istriku.” “Ayolah Albi, aku butuh waktu sendiri. Aku harus memikirkan bagaimana nasib hidupku setelah ini, masih banyak masalah yang harus diselesaikan.” Memang tidak semua brand memutuskan kontrak, bahkan ada beberapa produk yang memintanya untuk menyelesaikan kontrak yang sudah terlanjur disepakati sejak awal. “Berapa lama?” “Aku tidak bisa memastikannya, tapi aku akan pindah ke rumahmu setelah semuanya selesai.” “Jangan terlalu lama, kita belum melakukannya.” “Melakukan apa?!” Isyana tidak ingat ada hal lain yang harus mereka lakukan setelah sepakat menikah. “Tentu saja tidur bersama.” “Apa?!” Seketika wajah Isyana terasa panas. “Aku tidak menjanjikan itu sebelumnya,” “Kamu istriku Isyana, sudah sewajibnya kamu melakukan itu untukku.” “Tapi kita hanya menikah,” Isyana belum sempat menuntaskan ucapannya, Albi sudah terlebih dulu menyela. “Aku sudah menulisnya di surat perjanjian, apa kamu tidak membacanya?” “Apa?! Kamu menulisnya di sana?” Albi menganggukkan kepalanya. “Kamu sudah menandatangani, artinya kamu setuju.” Isyana memang tidak membaca ulang isi perjanjian surat kontrak pernikahan mereka, ia pun tidak menyadari di dalamnya terdapat kesepakatan yang mengharuskan ia melayani semua keinginan Albi, termasuk tidur bersama. “Jangan lama-lama sayang, aku ingin segera menikmatinya.” Albi mengusap wajah Isyana dengan lembut. “Lembut dan manis.” Isyana menjauhkan tangan lelaki itu dari wajahnya. “Kamu sudah merencanakan semua ini?!” “Tidak.” Albi menggelengkan kepalanya, “Aku hanya mengambil sedikit keuntungan darimu, sementara aku sudah melakukan banyak hal untukmu. coba lihat apa yang sudah kulakukan untuk menyelamatkanmu.” Isyana menatap tajam ke arah Albi. “Sebenarnya apa yang kamu rencanakan, nggak mungkin hanya sebatas membantuku keluar dari permasalahan ini saja.” “Kalau aku jawab, aku ingin tidur denganmu tanpa harus terlibat skandal apa kamu percaya? Orang-orang tidak akan mempermasalahkannya, karena tahu kamu milikku dan aku pun bisa memintanya kapanpun aku mau. Benar bukan?” Albi tersenyum penuh kemsnangan, saat melihat tatapan Isyana yang menyiratkan kekesalan. “Pulanglah, persiapan dirimu karena setelah ini aku akan membuatmu tidak bisa kemana-mana lagi.” Apakah keputusannya menikah dengan lelaki itu sudah tepat? Isyana mulai meragukannya padahal usia pernikahan yang baru memasuki hari ke tiga. Tapi Isyana mulai merasakan gelagat aneh dan berbahaya. Di dalam apartemennya, Isyana mendapati kondisi yang sangat mengenaskan. Berantakan dengan berbagai macam barang tergeletak di lantai. Isyana tidak perlu mencari siapa pelakunya, yang memiliki kunci apartemen hanya dirinya dan Mika. Wanita itu pasti sudah menggeledah rumahnya, mencari berbagai macam barang yang bisa dijual. “Pencuri!” Umpatnya. Isyana pun mendapati brankasnya sudah tidak dalam posisi sebelumnya, tapi benda hitam berbentuk kotak itu masih dalam keadaan tertutup. Mika tidak mengetahui password untuk membukanya. Beruntung Isyana tidak memberitahu Mika pada waktu itu, hingga ia bisa menyelamatkan beberapa barang berharga lainnya. Tapi jam tangan, sepatu dan tas branded yang harganya tidak murah raib dicuri Mika. Kondisi rumah yang tidak jauh berbeda dengan kondisi hatinya, sama-sama berantakan. Isyana meraih foto ibunya yang sudah tergeletak di lantai, bingkai berwarna gold itu hancur. Mika pasti membantingnya dengan sengaja, tahu jika benda tersebut adalah salah satu benda kesayangan Isyana. Mika mengambilnya, merapikan kembali foto yang hanya tinggal satu-satunya kenangan bersama sang ibu. Ia akan merapikannya kembali, setelah situasi membaik. Untuk saat ini Isyana akan menaruhnya di tempat yang aman, yakni di dalam brankas. Seseorang bisa membencinya dalam waktu singkat, bahkan meninggalkannya dalam keadaan terpuruk. Tanpa menoleh, tanpa memikirkan bagaimana keadaan Isyana saat ini, Mika pergi begitu saja. Pengkhianatan yang begitu menyakitkan, segala kebaikan yang dilakukannya seolah tidak ada artinya lagi. Butuh waktu berjam-jam untuk merapikan rumah, memang tidak akan kembali pada keadaan semula tapi setidaknya masih nyaman untuk ditempati. Untuk sementara waktu saja, sebab Isyana tidak bisa berlama-lama berada di rumah itu, ia harus segera pindah dan tinggal bersama sosok yang kini sudah menjadi suaminya. “Na, Lo udah balik?” Febi kembali menghubungi, setelah kasus yang menimpa Isyana akhir-akhir ini, Febi adalah salah satu orang yang terlihat begitu peduli padanya. “Udah. Main sini, bawa makanan yang banyak, gue laper.” “Lo dimana emang? Di apartemen atau di rumah laki Lo?” “Di rumah, lagi beres-beres. Buruan datang, gue laper!” Isyana segera mematikan sambungan secara sepihak, tapi ia yakin Febi akan datang dan membawa makanan seperti ucapannya. Satu jam berlalu sampai akhirnya Febi datang. Wanita itu membawa dua kantong besar berisi makanan dan minuman. “Pesanan untuk nona cantik.” Nona cantik adalah sebutan fans untuk Isyana, yang dulu menjadi kebanggaannya. Tapi sekarang julukan itu tidak lagi tertuju untuknya, beberapa orang justru memiliki julukan batu untuknya, yakni si pura-pura polos. “Gue bukan Nona cantik lagi, gue si pura-pura polos.” “Lo baca komen?” Isyana mengangguk. “Ngapain dibaca sih, komen sampah kayak gitu?!” “Penasaran aja sih, sejauh mana mereka membenci gue. Padahal dulu begitu memuja gue.” Isyana meraih botol soda lantas meminumnya. “Jangan dibaca! Abaikan aja!” Isyana sudah terlanjur membacanya, bahkan sudah menjadi kebiasaannya setiap malam, yang akhirnya membuat Isyana tidak bisa tidur dengan tenang. Sumpah serapah yang ditunjukkan untuknya seperti mimpi buruk yang merenggut ketenangan tidurnya. “Rumah ini,” Febi menatap ke seluruh penjuru ruangan. “Berantakan banget,” Isyana sudah berusaha merapikannya, tapi kekacauan terlalu banyak, hingga tidak bisa kembali rapi dalam waktu singkat. “Mika ngasih kerjaan terakhir sebelum pamit ninggalin gue.” Isyana tersenyum samar. “Dia juga bawa tas, jam, sepatu dan nggak tahu apa lagi. Katanya minta kenang-kenangan dari gue.” Febi menatapnya dengan tatapan iba. “Lo bisa laporin, Na. Jangan diem aja.” Isyana menggeleng. “Nggak. Masalah gue udah banyak banget, Feb. Laporin Mika sama aja nambah masalah baru. Biarin aja, yang penting gue masih hidup sampai hari ini, gue bisa kerja lagi buat beli tas dan barang mahal lainnya.” “Lo bisa porotin suami Lo, dia kaya raya, tajir melintir, nggak bakal miskin tujuh turunan.” “Emang iya?” “Lo nggak tahu latar belakang suami Lo sendiri?! Lo asal comot suami atau gimana sih? Yang jelas dia jauh lebih kaya dari mantan Lo si Arik.” “Masa sih?!” Isyana memang tidak begitu tahu latar belakang keluarga Albi, yang diketahuinya hanya sebatas lelaki itu seorang pengusaha kaya. Tapi mendengar nama Arik, ingatannya kembali akan kejadian beberapa waktu lalu. Bagaimana nasib lelaki itu saat ini? Apakah Arik dan Nadia sudah menikah? Atau batal karena ulahnya? “Lo tahu bagaimana kabar Arik sekarang?” Febi pasti tahu, circle pertemananya cukup luas, hingga ia kerap mendapatkan banyak berita dari berbagai kalangan. Termasuk kalangan pengusaha seperti Arik. “Katanya sih batal, nggak tahu alasannya apa tapi pihak keluarga membatalkan acara pernikahan itu.” “Apa?!” Bulu kuduk Isyana meremang. Bagaimana jika Arik menuntut balas, tidak hanya Della yang akan menjadi ancamannya tapi juga Arik. Lelaki itu nyaris saja membunuhnya malam itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD